Semarang (ANTARA) - Film nasional diharapkan mampu menjadi sarana menanamkan nilai-nilai kebangsaan untuk menjawab tantangan bangsa saat ini dan masa datang, kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat.
"Tantangan yang dihadapi saat ini adalah adanya pergeseran nilai-nilai yang dipahami masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Saya berharap film mampu menyuarakan nilai-nilai ideologi bangsa untuk menjawab pergeseran nilai itu," katanya.
Ia menyampaikan hal itu saat membuka Focus Group Discussion (FGD) Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bekerja sama dengan Perum Produksi Film Negara (PFN) bertema Peran Produksi Film dan Konten oleh Negara dalam Rangka Pembentukan Karakter Bangsa untuk Menwujudkan Ketahanan Negara, Kamis (10/12).
Diskusi yang dimoderatori presenter Metro TV, Fifi Aleyda Yahya itu menghadirkan Muhammad Farhan (Anggota DPR RI Periode 2019-2024), Dr Rima Agristina (Deputi Pengendalian dan Evaluasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP), Drs. Purwadi Sutanto, M.Si. (Direktur Sekolah Menengah Atas Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan), sebagai narasumber.
Diskusi yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 itu juga menghadirkan Judith J. Dipodiputro
(Direktur Utama PFN) untuk menyampaikan pengantar diskusi dan sejumlah narasumber para pemangku kepentingan di bidang perfilman.
Menurut Lestari dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, penyampaian pesan yang sarat nilai-nilai kebangsaan lewat film kepada generasi muda sangat strategis.
Karena, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, film termasuk medium yang luwes dan cair sehingga mudah dipahami masyarakat.
Apalagi, jelas Rerie, film saat ini menjadi salah satu bahasa anak muda dalam menyampaikan ide dan pendapatnya lewat kecanggihan gadget yang dimilikinya.
Pada kesempatan yang sama, legislator Partai NasDem itu, mengapresiasi para konten kreator yang di masa pandemi ini mampu memproduksi konten yang kreatif dalam bentuk film pendek.
Rerie berharap, PFN bisa berperan sebagai konten kreator yang sarat dengan penyampaian nilai-nilai kebangsaan, untuk mengantisipasi tantangan bangsa di masa datang.
Deputi Pengendalian dan Evaluasi BPIP, Rima Agristina sependapat bila film dimanfaatkan sebagai medium untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Penyampaiannya, jelas Rima, jangan bersifat doktrinasi.
Dengan gaya penyampaian yang user friendly, ujar Rima, kita bisa menanamkan nilai-nilai revolusi mental yang terdiri dari integritas, etos kerja dan gotong-royong.
Direktur Sekolah Menengah Atas Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Purwadi Sutanto mengungkapkan, pihaknya berupaya membangun SDM unggul lewat visi pendidikan yang dijalankan.
Dengan konsep Merdeka Belajar yang dilakukan saat ini, jelas Purwadi, diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai kebangsaan itu dari sisi proses belajar. Pemanfaatan medium video dan film merupakan salah satu cara yang dilakukan.
Direktur Utama PFN, Judith J Dipodiputro mengungkapkan, untuk memproduksi film dengan muatan nilai-nilai kebangsaan sebenarnya sejumlah faktor pendukung sudah ada, baik dukungan secara hukum, konten yang memadai seperti empat konsesus kebangsaan, tentang kesetaraan gender, narasi terkait SDGs serta tentang visi pendidikan 2045.
Yang harus dipastikan saat ini, menurut Judith, bagaimana komitmen dari para pemangku kepentingan di sektor perfilman nasional itu bisa direalisasikan.
Diakui Judith, PFN saat ini sedang bertransformasi dan perlu dukungan nyata dari para pemangku kepentingan.
Dia menegaskan, industri kreatif bisa menjadi alat ekonomi yang sangat dahsyat. Karena di Indonesia saat ini, jelasnya, industri kreatif mampu menyerap 4 persen angkatan kerja nasional, yang pada 2025 diproyeksikan menjadi 8 persen.
Dengan peluang tersebut, tegas Judith, seharusnya kita berupaya mempercepat pembangunan industri film nasional.
Duta besar RI untuk Korea Selatan, Umar Hadi, yang bergabung secara daring, mengungkapkan fenomena demam drama Korea dan K-pop bukan merupakan hal yang kebetulan.
Mendunianya drama Korea dan K-pop, jelas Umar, adalah hasil dari reformasi kebudayaan yang didesain oleh Korea Selatan. Langkah offensif itu, ujarnya, diawali lewat penguatan di sektor pendidikan yang mengedepankan peningkatan skill di bidang seni, teknologi dan media.
Selain itu, tambah Umar, juga dibutuhkan regulasi penyiaran yang mampu menyebarluaskan produksi film agar mampu dinikmati masyarakat luas.
Jurnalis senior Saur Hutabarat menilai untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan karakter bangsa harus mengubah posisi berpikir dari defensif menjadi ofensif, seperti yang dilakukan Kore Selatan dalam menebar budaya Korea di dunia.
Bila Indonesia tetap defensif dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan, tegas Saur, tinggal menunggu kebobolan dengan nilai-nilai dari luar.
Dan untuk melakukan langkah ofensif dalam membentuk karakter bangsa, Saur berharap, peran negara harus mengemuka. Tentu saja, tambahnya, tidak dengan cara-cara doktrinasi.***
"Tantangan yang dihadapi saat ini adalah adanya pergeseran nilai-nilai yang dipahami masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Saya berharap film mampu menyuarakan nilai-nilai ideologi bangsa untuk menjawab pergeseran nilai itu," katanya.
Ia menyampaikan hal itu saat membuka Focus Group Discussion (FGD) Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bekerja sama dengan Perum Produksi Film Negara (PFN) bertema Peran Produksi Film dan Konten oleh Negara dalam Rangka Pembentukan Karakter Bangsa untuk Menwujudkan Ketahanan Negara, Kamis (10/12).
Diskusi yang dimoderatori presenter Metro TV, Fifi Aleyda Yahya itu menghadirkan Muhammad Farhan (Anggota DPR RI Periode 2019-2024), Dr Rima Agristina (Deputi Pengendalian dan Evaluasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP), Drs. Purwadi Sutanto, M.Si. (Direktur Sekolah Menengah Atas Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan), sebagai narasumber.
Diskusi yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 itu juga menghadirkan Judith J. Dipodiputro
(Direktur Utama PFN) untuk menyampaikan pengantar diskusi dan sejumlah narasumber para pemangku kepentingan di bidang perfilman.
Menurut Lestari dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, penyampaian pesan yang sarat nilai-nilai kebangsaan lewat film kepada generasi muda sangat strategis.
Karena, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, film termasuk medium yang luwes dan cair sehingga mudah dipahami masyarakat.
Apalagi, jelas Rerie, film saat ini menjadi salah satu bahasa anak muda dalam menyampaikan ide dan pendapatnya lewat kecanggihan gadget yang dimilikinya.
Pada kesempatan yang sama, legislator Partai NasDem itu, mengapresiasi para konten kreator yang di masa pandemi ini mampu memproduksi konten yang kreatif dalam bentuk film pendek.
Rerie berharap, PFN bisa berperan sebagai konten kreator yang sarat dengan penyampaian nilai-nilai kebangsaan, untuk mengantisipasi tantangan bangsa di masa datang.
Deputi Pengendalian dan Evaluasi BPIP, Rima Agristina sependapat bila film dimanfaatkan sebagai medium untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Penyampaiannya, jelas Rima, jangan bersifat doktrinasi.
Dengan gaya penyampaian yang user friendly, ujar Rima, kita bisa menanamkan nilai-nilai revolusi mental yang terdiri dari integritas, etos kerja dan gotong-royong.
Direktur Sekolah Menengah Atas Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Purwadi Sutanto mengungkapkan, pihaknya berupaya membangun SDM unggul lewat visi pendidikan yang dijalankan.
Dengan konsep Merdeka Belajar yang dilakukan saat ini, jelas Purwadi, diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai kebangsaan itu dari sisi proses belajar. Pemanfaatan medium video dan film merupakan salah satu cara yang dilakukan.
Direktur Utama PFN, Judith J Dipodiputro mengungkapkan, untuk memproduksi film dengan muatan nilai-nilai kebangsaan sebenarnya sejumlah faktor pendukung sudah ada, baik dukungan secara hukum, konten yang memadai seperti empat konsesus kebangsaan, tentang kesetaraan gender, narasi terkait SDGs serta tentang visi pendidikan 2045.
Yang harus dipastikan saat ini, menurut Judith, bagaimana komitmen dari para pemangku kepentingan di sektor perfilman nasional itu bisa direalisasikan.
Diakui Judith, PFN saat ini sedang bertransformasi dan perlu dukungan nyata dari para pemangku kepentingan.
Dia menegaskan, industri kreatif bisa menjadi alat ekonomi yang sangat dahsyat. Karena di Indonesia saat ini, jelasnya, industri kreatif mampu menyerap 4 persen angkatan kerja nasional, yang pada 2025 diproyeksikan menjadi 8 persen.
Dengan peluang tersebut, tegas Judith, seharusnya kita berupaya mempercepat pembangunan industri film nasional.
Duta besar RI untuk Korea Selatan, Umar Hadi, yang bergabung secara daring, mengungkapkan fenomena demam drama Korea dan K-pop bukan merupakan hal yang kebetulan.
Mendunianya drama Korea dan K-pop, jelas Umar, adalah hasil dari reformasi kebudayaan yang didesain oleh Korea Selatan. Langkah offensif itu, ujarnya, diawali lewat penguatan di sektor pendidikan yang mengedepankan peningkatan skill di bidang seni, teknologi dan media.
Selain itu, tambah Umar, juga dibutuhkan regulasi penyiaran yang mampu menyebarluaskan produksi film agar mampu dinikmati masyarakat luas.
Jurnalis senior Saur Hutabarat menilai untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan karakter bangsa harus mengubah posisi berpikir dari defensif menjadi ofensif, seperti yang dilakukan Kore Selatan dalam menebar budaya Korea di dunia.
Bila Indonesia tetap defensif dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan, tegas Saur, tinggal menunggu kebobolan dengan nilai-nilai dari luar.
Dan untuk melakukan langkah ofensif dalam membentuk karakter bangsa, Saur berharap, peran negara harus mengemuka. Tentu saja, tambahnya, tidak dengan cara-cara doktrinasi.***