Jakarta (ANTARA) - Sejarawan senior Anhar Gonggong tidak sepakat terhadap sejumlah pihak yang saat ini berpandangan generasi muda kurang, bahkan tidak memahami nilai-nilai sejarah, termasuk tentang kepahlawanan karena faktor mereka sendiri.
"Kenapa? Sebab kebijakan pemerintah sendiri sudah salah," kata dia saat menjadi pembicara pada kegiatan webinar Hari Pahlawan yang dipantau di Jakarta, Senin.
Sebagai contoh kesalahan kebijakan tersebut terletak dari kekeliruan pemerintah dalam memberikan mata pelajaran sejarah bagi anak didik.
Saat ini, ujar Anhar, mata pelajaran sejarah tidak lagi berdiri sendiri, seperti sebelumnya, melainkan tergabung dengan mata pelajaran lain yang menjadi satu kesatuan.
"Keliru jika terjadi sesuatu lalu anak muda yang disalahkan, saya tidak sepakat dengan itu," kata dia.
Contoh lainnya, kata dia, yakni setiap terjadi tawuran antarpelajar di Tanah Air, maka anak muda lah yang selalu disalahkan. Dalam hal ini, peneliti Pusat Penelitian Sejarah dan Antropologi Yogyakarta periode 1970- 1976 tersebut berpandangan yang salah atau paling bertanggung jawab ialah kepala sekolah.
Tawuran antarpelajar tersebut, ujarnya, bisa terjadi karena adanya faktor yang membuat mereka tidak tenang di sekolah sehingga keluar dan berkelahi dengan pelajar lain.
Bahkan, sejarawan yang selamat dari tragedi pembantaian Westerling tersebut menyandingkan praktik korupsi di Tanah Air yang dilakukan oleh para pejabat, namun tidak pernah dicap tidak nasionalis atau tidak mengamalkan nilai-nilai sejarah.
"Yang korupsi itu orang tua, bukan anak muda," katanya.
Selain itu, menurut dia, minimnya pengetahuan anak muda saat ini tentang sejarah juga terjadi karena terbatas atau bahkan tidak diberikannya pelajaran tentang sejarah itu sendiri. Hal itu bisa dibandingkan antara materi pelajaran sejarah yang diperoleh generasi terdahulu dengan generasi saat kini.
Terakhir, lulusan Universitas Leiden, Belanda, tersebut mengatakan jika setiap individu ingin mengenal Indonesia lebih luas, maka ada tiga hal yang harus dipahami dengan baik.
Pertama, geografis. Seseorang tidak akan pernah mengenal Indonesia secara menyeluruh apabila tidak mengetahui geografisnya yang begitu luas. Kedua, yakni pengetahuan antropologis.
"Terakhir, Anda tidak akan memahami Indonesia apabila tidak mempelajari sejarah," ujar sejarawan kelahiran 14 Agustus 1943 tersebut.
Baca juga: Catatan sejarah bisa jadi inspirasi untuk membangun daerah pada masa kini
Baca juga: Agustina Wilujeng sebut sejarah harus tetap jadi mata pelajaran wajib
"Kenapa? Sebab kebijakan pemerintah sendiri sudah salah," kata dia saat menjadi pembicara pada kegiatan webinar Hari Pahlawan yang dipantau di Jakarta, Senin.
Sebagai contoh kesalahan kebijakan tersebut terletak dari kekeliruan pemerintah dalam memberikan mata pelajaran sejarah bagi anak didik.
Saat ini, ujar Anhar, mata pelajaran sejarah tidak lagi berdiri sendiri, seperti sebelumnya, melainkan tergabung dengan mata pelajaran lain yang menjadi satu kesatuan.
"Keliru jika terjadi sesuatu lalu anak muda yang disalahkan, saya tidak sepakat dengan itu," kata dia.
Contoh lainnya, kata dia, yakni setiap terjadi tawuran antarpelajar di Tanah Air, maka anak muda lah yang selalu disalahkan. Dalam hal ini, peneliti Pusat Penelitian Sejarah dan Antropologi Yogyakarta periode 1970- 1976 tersebut berpandangan yang salah atau paling bertanggung jawab ialah kepala sekolah.
Tawuran antarpelajar tersebut, ujarnya, bisa terjadi karena adanya faktor yang membuat mereka tidak tenang di sekolah sehingga keluar dan berkelahi dengan pelajar lain.
Bahkan, sejarawan yang selamat dari tragedi pembantaian Westerling tersebut menyandingkan praktik korupsi di Tanah Air yang dilakukan oleh para pejabat, namun tidak pernah dicap tidak nasionalis atau tidak mengamalkan nilai-nilai sejarah.
"Yang korupsi itu orang tua, bukan anak muda," katanya.
Selain itu, menurut dia, minimnya pengetahuan anak muda saat ini tentang sejarah juga terjadi karena terbatas atau bahkan tidak diberikannya pelajaran tentang sejarah itu sendiri. Hal itu bisa dibandingkan antara materi pelajaran sejarah yang diperoleh generasi terdahulu dengan generasi saat kini.
Terakhir, lulusan Universitas Leiden, Belanda, tersebut mengatakan jika setiap individu ingin mengenal Indonesia lebih luas, maka ada tiga hal yang harus dipahami dengan baik.
Pertama, geografis. Seseorang tidak akan pernah mengenal Indonesia secara menyeluruh apabila tidak mengetahui geografisnya yang begitu luas. Kedua, yakni pengetahuan antropologis.
"Terakhir, Anda tidak akan memahami Indonesia apabila tidak mempelajari sejarah," ujar sejarawan kelahiran 14 Agustus 1943 tersebut.
Baca juga: Catatan sejarah bisa jadi inspirasi untuk membangun daerah pada masa kini
Baca juga: Agustina Wilujeng sebut sejarah harus tetap jadi mata pelajaran wajib