Solo (ANTARA) - Pengamat Politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Agus Riwanto menyatakan lawan kotak kosong bukan hal yang mudah bagi peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), salah satunya dari sisi undang-undang.
"Memang pemilu dengan tanpa lawan tanding atau calon tunggal itu lebih berat untuk menang karena secara undang-undang calon tersebut paling tidak harus menang dengan angka 50 persen plus satu dihitung berdasarkan jumlah surat suara yang sah," tutur dia di Solo, Jateng, Kamis.
Ia mengatakan hal tersebut bisa membahayakan bagi peserta mengingat yang dihadapi bukan organisasi dalam hal ini partai politik maupun perseorangan tetapi kelompok masyarakat yang merasa tidak memiliki pilihan lain.
"Apalagi dari aspek rakyat, yang kampanye memilih kotak kosong itu kan tidak ada sanksi-nya. Mereka bukan organisasi jadi tidak bisa diberi sanksi. Artinya dari aspek calon kan punya lawan yang berbahaya yaitu lawan politik yang tidak jelas lawan politiknya ini siapa," ujar-nya.
Ia mengatakan salah satu kasus peserta pilkada kalah dari kotak kosong adalah saat pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar. Ia mengatakan pasangan tunggal dalam pilkada tersebut hanya memperoleh angka 36 persen.
"Dalam hal ini kotak kosong menang karena lawan politik yang kecewa tidak dapat tiket. Mereka memainkan pemilih dalam kampanye agar masyarakat memilih kotak kosong. Di sisi lain ini tidak bisa ditindak karena bukan merupakan organisasi yang terdaftar di KPU, dan tidak ada larangannya pihak tertentu melakukan sosialiasi atau mengajak orang memilih kotak kosong. Itu yang terjadi di Kota Makassar," ucap dia.
Sementara itu, menurut dia, dalam kontestasi pilkada merupakan hal yang tidak sehat apabila satu pasangan calon melawan kotak kosong.
"Yang namanya kontestasi, masa tidak ada lawannya. Dalam hal ini kotak kosong ini mengakomodasi masyarakat yang tidak memilih calon yang ada. Kalau sehat-nya memang pemilu harus ada lawan, ada dua model yaitu perorangan dan partai politik. Seperti di Boyolali itu kan partai politik tidak ada karena sudah diborong semua, perorangan tidak ada, bisa jadi tidak lolos," katanya.
Ia mengatakan partai politik yang tidak memiliki calon sendiri sehingga lebih memilih untuk berkoalisi dengan partai penguasa merupakan langkah pragmatis.
"Dia sudah kalah sebelum bertanding, lebih memilih untuk berkoalisi dengan calon yang kuat. Partai politik ini justru tidak menggunakan haknya mencari kader terbaiknya sebagai calon. Bisa jadi juga dari sisi kaderisasi partai lemah," tukas dia.
"Memang pemilu dengan tanpa lawan tanding atau calon tunggal itu lebih berat untuk menang karena secara undang-undang calon tersebut paling tidak harus menang dengan angka 50 persen plus satu dihitung berdasarkan jumlah surat suara yang sah," tutur dia di Solo, Jateng, Kamis.
Ia mengatakan hal tersebut bisa membahayakan bagi peserta mengingat yang dihadapi bukan organisasi dalam hal ini partai politik maupun perseorangan tetapi kelompok masyarakat yang merasa tidak memiliki pilihan lain.
"Apalagi dari aspek rakyat, yang kampanye memilih kotak kosong itu kan tidak ada sanksi-nya. Mereka bukan organisasi jadi tidak bisa diberi sanksi. Artinya dari aspek calon kan punya lawan yang berbahaya yaitu lawan politik yang tidak jelas lawan politiknya ini siapa," ujar-nya.
Ia mengatakan salah satu kasus peserta pilkada kalah dari kotak kosong adalah saat pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar. Ia mengatakan pasangan tunggal dalam pilkada tersebut hanya memperoleh angka 36 persen.
"Dalam hal ini kotak kosong menang karena lawan politik yang kecewa tidak dapat tiket. Mereka memainkan pemilih dalam kampanye agar masyarakat memilih kotak kosong. Di sisi lain ini tidak bisa ditindak karena bukan merupakan organisasi yang terdaftar di KPU, dan tidak ada larangannya pihak tertentu melakukan sosialiasi atau mengajak orang memilih kotak kosong. Itu yang terjadi di Kota Makassar," ucap dia.
Sementara itu, menurut dia, dalam kontestasi pilkada merupakan hal yang tidak sehat apabila satu pasangan calon melawan kotak kosong.
"Yang namanya kontestasi, masa tidak ada lawannya. Dalam hal ini kotak kosong ini mengakomodasi masyarakat yang tidak memilih calon yang ada. Kalau sehat-nya memang pemilu harus ada lawan, ada dua model yaitu perorangan dan partai politik. Seperti di Boyolali itu kan partai politik tidak ada karena sudah diborong semua, perorangan tidak ada, bisa jadi tidak lolos," katanya.
Ia mengatakan partai politik yang tidak memiliki calon sendiri sehingga lebih memilih untuk berkoalisi dengan partai penguasa merupakan langkah pragmatis.
"Dia sudah kalah sebelum bertanding, lebih memilih untuk berkoalisi dengan calon yang kuat. Partai politik ini justru tidak menggunakan haknya mencari kader terbaiknya sebagai calon. Bisa jadi juga dari sisi kaderisasi partai lemah," tukas dia.