Kudus (ANTARA) - Sejumlah pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang berada di kawasan objek wisata di Kabupaten Kudus bertahan di tengah pandemi COVID-19 dengan memanfaatkan media sosial maupun perdagangan elektronik (electronic commerce/e-commerce).
Bahkan, ada pelaku usaha yang justru diuntungkan dengan pandemi penyakit virus corona (COVID-19) karena transaksi penjualannya meningkat berkat penetrasi pasar yang dilakukan melalui media sosial maupun e-commerce.
"Selama pandemi COVID-19, penjualan sirup parijoto memang mengalami peningkatan karena dari sebelumnya hanya memproduksi 2 kuintal sirup per pekan, kemudian melonjak hingga 7 kuintal sirup," kata salah satu pemilik merek sirup parijoto Alammu Triyanto R. Soetardjo di Kudus, Selasa.
Ia mengaku sempat khawatir dengan dampak pandemi COVID-19 karena masih memiliki tanggungan pelunasan utang untuk modal usaha dua lembaga pembiayaan, mengingat wisatawan yang biasanya berkunjung ke kawasan Wisata Colo, Kecamatan Dawe, Kudus sejak pandemi ditutup.
Hal itu, kata dia, sangat berpengaruh dengan penjualan di sekitar kawasan wisata karena banyak toko yang ikut menjajakan sirup parijoto tutup sehingga tidak ada pesanan lagi.
Beruntung, lanjut dia, pemasaran melalui media sosial maupun lewat situs belanja daring atau e-commerce dengan melibatkan banyak reseller atau agen penjual membuahkan hasil sehingga produksinya mengalami penaikan.
Baca juga: Purbalingga fasilitasi pemasaran produk UMKM
Baca juga: UMKM terdampak COVID-19 perlu dibantu permodalan
Baca juga: Normal baru jadi peluang UMKM untuk "go digital"
Kenaikan tersebut akhirnya berdampak pada cicilan utang tetap terbayar dengan lancar meskipun di tengah pandemi COVID-19.
"Secara tidak langsung, petani parijoto di beberapa daerah juga tertolong karena selama masa pandemi merupakan masa panen komoditas tersebut," ujarnya.
Sebelum dikembangkan menjadi sirup maupun produk lainnya, petani lebih banyak mengandalkan pembelian dari wisatawan dalam bentuk buah parijoto yang belum diolah.
Produk sirup parijoto yang dijual meliputi sirup berukuran 250 mililiter, 500 mililiter, dan 630 mililiter dengan harga bervariasi.
Sofil, pemilik merek Kopi Muria Wilhelmina mengakui selama pademi COVID-19 memang tertolong penjualan produk kopinya lewat situs belanja daring maupun media sosial, mengingat penjualannya selama ini memang mengandalkan penjualan konvensional melalui toko-toko yang berada di kawasan objek wisata Sunan Muria.
Meskipun tidak banyak pesanan, kata dia, hampir setiap hari ada pesanan kopi untuk dikirim ke berbagai daerah.
Sementara itu, penjualan dengan mengandalkan wisatawan, kata dia, sejak Maret 2020 tutup sementara dan baru buka bulan ini sehingga penjualannya juga belum normal.
"Jika sebelumnya bisa menjual hingga 500 cup kopi siap seduh maupun ratusan kemasan kopi, langsung turun drastis menjadi 200 cup kopi per bulan. Itu pun bukan di kawasan wisata, melainkan di tempat lain yang memang menjadi sasaran penjualan," ujarnya.
Kondisi demikian, kata dia, memang berdampak pada kemampuan mengangsur utang di perbankan sehingga harus meminta restrukturisasi utang.
Untuk saat ini, lanjut dia, pembayarannya mulai lancar dan seiring dibukanya kembali objek wisata Makam Sunan Muria, menjadi penyemangat untuk memasarkan produk kopinya agar tetap laku di pasaran.
Sulyati, pemilik warung makan yang menyediakan menu khas Kudus, yakni pecel pakis selama pandemi juga merasakan dampaknya, namun pesanan dari para pelanggan tetap mengalir walaupun selama dua bulan lebih tutup karena Makam Sunan Muria juga tutup.
Bahkan, ada pelaku usaha yang justru diuntungkan dengan pandemi penyakit virus corona (COVID-19) karena transaksi penjualannya meningkat berkat penetrasi pasar yang dilakukan melalui media sosial maupun e-commerce.
"Selama pandemi COVID-19, penjualan sirup parijoto memang mengalami peningkatan karena dari sebelumnya hanya memproduksi 2 kuintal sirup per pekan, kemudian melonjak hingga 7 kuintal sirup," kata salah satu pemilik merek sirup parijoto Alammu Triyanto R. Soetardjo di Kudus, Selasa.
Ia mengaku sempat khawatir dengan dampak pandemi COVID-19 karena masih memiliki tanggungan pelunasan utang untuk modal usaha dua lembaga pembiayaan, mengingat wisatawan yang biasanya berkunjung ke kawasan Wisata Colo, Kecamatan Dawe, Kudus sejak pandemi ditutup.
Hal itu, kata dia, sangat berpengaruh dengan penjualan di sekitar kawasan wisata karena banyak toko yang ikut menjajakan sirup parijoto tutup sehingga tidak ada pesanan lagi.
Beruntung, lanjut dia, pemasaran melalui media sosial maupun lewat situs belanja daring atau e-commerce dengan melibatkan banyak reseller atau agen penjual membuahkan hasil sehingga produksinya mengalami penaikan.
Baca juga: Purbalingga fasilitasi pemasaran produk UMKM
Baca juga: UMKM terdampak COVID-19 perlu dibantu permodalan
Baca juga: Normal baru jadi peluang UMKM untuk "go digital"
Kenaikan tersebut akhirnya berdampak pada cicilan utang tetap terbayar dengan lancar meskipun di tengah pandemi COVID-19.
"Secara tidak langsung, petani parijoto di beberapa daerah juga tertolong karena selama masa pandemi merupakan masa panen komoditas tersebut," ujarnya.
Sebelum dikembangkan menjadi sirup maupun produk lainnya, petani lebih banyak mengandalkan pembelian dari wisatawan dalam bentuk buah parijoto yang belum diolah.
Produk sirup parijoto yang dijual meliputi sirup berukuran 250 mililiter, 500 mililiter, dan 630 mililiter dengan harga bervariasi.
Meskipun tidak banyak pesanan, kata dia, hampir setiap hari ada pesanan kopi untuk dikirim ke berbagai daerah.
Sementara itu, penjualan dengan mengandalkan wisatawan, kata dia, sejak Maret 2020 tutup sementara dan baru buka bulan ini sehingga penjualannya juga belum normal.
"Jika sebelumnya bisa menjual hingga 500 cup kopi siap seduh maupun ratusan kemasan kopi, langsung turun drastis menjadi 200 cup kopi per bulan. Itu pun bukan di kawasan wisata, melainkan di tempat lain yang memang menjadi sasaran penjualan," ujarnya.
Kondisi demikian, kata dia, memang berdampak pada kemampuan mengangsur utang di perbankan sehingga harus meminta restrukturisasi utang.
Untuk saat ini, lanjut dia, pembayarannya mulai lancar dan seiring dibukanya kembali objek wisata Makam Sunan Muria, menjadi penyemangat untuk memasarkan produk kopinya agar tetap laku di pasaran.
Sulyati, pemilik warung makan yang menyediakan menu khas Kudus, yakni pecel pakis selama pandemi juga merasakan dampaknya, namun pesanan dari para pelanggan tetap mengalir walaupun selama dua bulan lebih tutup karena Makam Sunan Muria juga tutup.