Semarang (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan bahwa sistem insentif dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) harus dirancang pemerintah secara holistik.

Tujuannya agar insentif itu mampu mendorong
sejumlah sektor potensial seperti pertanian, UMKM, serta startup lokal sehingga  Indonesia mampu bertahan dan keluar dari krisis yang disebabkan pandemi COVID-19, kata Lestari Moerdijat dalam diskusi daring bertema "Mempersiapkan Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Pandemi COVID-19", Rabu (10/6).

"Dampak pandemi ini harus bisa diatasi apa pun tantangannya. Karena itu saya sangat berharap insentif yang diberikan dialokasikan dengan tepat pada sektor yang mampu menggerakkan ekonomi," katanya.

Diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar12 bersama DPP Partai NasDem bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis itu dimoderatori Staf Ahli Wakil Ketua MPR RI, Bidang Penyerapan Asiprasi Masyarakat, Luthfi Assyaukanie, PhD.

Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut Enggartiasto Lukita ( Menteri Perdagangan RI, Kabinet Kerja 2016-2019), Rosan Roeslani (Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia), Shaanti Shamdasani (Presiden & CEO S. ASEAN International Advocacy & Consultancy, dan Ketua DPP Partai NasDem, Bidang Ekonomi).

Sedangkan, Martin Manurung (Wakil Ketua Komisi VI DPR RI) dan Suryopratomo (Wartawan Senior, Dewan Redaksi Media Group) hadir sebagai panelis.

Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, agar kita bisa keluar dari hantaman dampak pandemi COVID-19 secara ekonomi kita harus bangkit.

Rerie menegaskan, agar kita bisa memanfaatkan peluang sekecil apa pun untuk maju dan mengatasi tantangan.

Menyikapi hal itu, Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan Kabinet Kerja 2016-2019 mempertanyakan, apakah Indonesia siap mengejar ketertinggalan dari negara tetangga di sisi ekspor.

Ketergantungan industri kita pada bahan baku sumber daya alam yang diimpor dari negara lain, menurut Enggartiasto, masih jadi kendala dalam bersaing dengan negara lain.

Selain itu, tambah dia, ekspor Indonesia masih didominasi sumber daya alam seperti minyak kelapa sawit dan batu bara. Produk pertanian Indonesia seperti buah-buahan, jelasnya, berpotensi jadi penggerak perekonomian. 

"Dengan catatan ada penataan kembali izin impor buah-buahan yang berlaku selama ini. Buah-buahan yang bisa diproduksi di dalam negeri, semestinya tidak perlu lagi dibuka impornya," jelas Enggartiasto.

Menurut dia, kita bisa memanfaatkan peluang konsumsi domestik untuk menyerap berbagai produk dalam negeri untuk menggerakkan roda ekonomi. Salah satu solusi agar industri dalam negeri survive, menurut Enggartiasto, menunggu Omnibus Law bidang ekonomi selesai dibahas dan bisa diaplikasikan.

Pada kesempatan yang sama Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Roslan P Roeslani mengungkapkan, dampak wabah COVID-19 di tanah air terhadap dunia usaha sangat besar.

Hitungan dari para anggota Kadin, menurut Rosan, saat ini sekitar 6,4 juta orang dirumahkan dan PHK. "Komposisinya 90% dirumahkan dan 10 persen terkena PHK," katanya.

Meski begitu, Rosan mengaku mendapat informasi bahwa hingga 2 Juni 2020 Otoritas Jasa Keuangan sudah selesai merestrukturisasi kredit perbankan senilai  Rp609 triliun.
"Ini angka yang besar dan bisa berdampak besar untuk dunia usaha," ujarnya.

Rosan berharap pemerintah dan swasta bisa merespon dampak pandemi COVID-19 di tanah air dengan kebijakan dan langkah yang sinergis agar bisa melalui krisis dengan selamat.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Martin Manurung sependapat dengan Enggartiasto agar pemerintah tidak mudah dikendalikan pasar dengan menata kembali sejumlah kebijakan. 

Menurut Martin, wabah COVID-19 ini membuka mata kita bahwa kita rapuh di sektor kesehatan, pangan dan energi. 

"Untuk tiga sektor kebutuhan dasar itu kita tidak bisa bergantung semata pada mekanisme pasar. Harus ada kebijakan tepat agar masyarakat terpenuhi kebutuhan kesehatan, pangan dan energi dengan baik," katanya.

Presiden & CEO S. ASEAN International Advocacy & Consultancy, Shaanti Shamdasani, mengungkapkan posisi Indonesia saat ini ada di tengah-tengah berdasarkan perkiraan sejumlah lembaga keuangan dunia melihat pertumbuhan ekonomi sejumlah negara.

"Berdasarkan perkiraan sejumlah lembaga keuangan dunia Indonesia masih punya potensi rebound ekonominya," jelas Shaanti.

Sejumlah proyek padat karya, potensi sektor pertanian dan produksi sejumlah kebutuhan rumah tangga, menurut Shaanti, bisa jadi sektor dikembangkan dan berpotensi menggerakkan ekonomi nasional.

Kendala yang dihadapi untuk merealisasikan peluang di sejumlah sektor itu, menurut Shaanti, merupakan kendala klasik yang belum diatasi secara tuntas oleh pemerintah.

"Me-reform regulasi dan meningkatkan daya saing sumber daya manusia salah satu pekerjaan rumah bangsa ini yang belum tuntas," ujarnya.

Menanggapi sejumlah pendapat narasumber, Dewan Redaksi Media Group Suryopratomo menilai proporsi insentif yang dikucurkan pemerintah terhadap dunia usaha untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 dinilai terlalu kecil jika dibandingkan dengan negara lain. "Dan kita juga tidak bisa berharap insentif itu bisa mengubah kondisi ekonomi kita bisa rebound seperti kurva V. Jangan-jangan malah mengikuti kurva huruf L, yang tidak tau ujungnya," ujar Suryopratomo.

Sementara itu wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat insentif yang dialokasikan pemerintah seharusnya lebih banyak dialokasikan sebagai dana talangan untuk usaha-usaha kecil yang sangat terdampak wabah COVID-19.

Dengan aliran dana talangan ke usaha kecil seperti tukang cukur, salon dan sejumlah usaha lainnya, jelas Saur, efeknya langsung mengena ke masyarakat.

"Ini bisa menenangkan masyarakat di tengah pandemi yang belum jelas ujungnya," katanya.

Karena, jelas Saur, bila usaha kecil itu beroperasi kembali, tambahnya, artinya ada serapan tenaga kerja dan bila itu terjadi pada ribuan atau puluhan ribu usaha kecil tentu dampaknya juga besar.***

Pewarta : Zaenal
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024