Semarang (ANTARA) - Wabah COVID-19 hingga kini belum tampak menunjukkan gejala penurunan, terlebih selesai secara tuntas, termasuk di Indonesia.
Meski di beberapa negara penurunan telah ada yang mulai tampak, sementara di Indonesia jumlah yang terpapar masih meningkat. Setidaknya hal yang menggembirakan bahwa jumlah yang sembuh 1.151 telah melebihi jumlah yang meninggal 765 (data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, 27 April 2020 pukul 12.00).
Meski data yang sembuh sudah lebih banyak daripada yang meninggal, data masih bertambahnya yang positif terpapar 241 (data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, 27 April 2020 pukul 12.00) dalam sehari terakhir cukup memprihatinkan.
Baca juga: Telaah - Perang Dunia III melawan pandemi virus corona
Menurut Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Achmad Yulianto, masih terus bertambahnya orang yang positif terpapar tersebut karena masih adanya kekurangdisiplinan masyarakat.
Mereka belum secara tertib menjalankan standard operational procedure (SOP) yang sudah disosialisasikan pemerintah melalui berbagai media, bahkan didukung oleh satuan-satuan tugas yang ada di daerah hingga di tingkat paling bawah.
SOP yang paling mudah, yakni menggunakan masker, menjaga jarak, serta mencuci tangan pun tampak di lapangan belum sepenuhnya dipatuhi masyarakat. Bahkan, yang terakhir kewajiban menggunakan masker ketika keluar rumah pun masih tampak diabaikan. Padahal, di wilayahnya sudah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) maupun pembatasan masyarakat non-PSBB (PM non-PSBB) seperti yang diberlakukan di Semarang, sejak 27 April 2020.
Pertanyaannya, mengapa sebagian masyarakat masih abai sehingga penambahan mereka yang positif terpapar, khususnya yang terindikasi terinfeksi dari tengah masyarakat (kerumunan) masih terjadi? Apa yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah dengan aparat yang ditugasi, serta oleh masyarakat itu sendiri?
Fokus vs Kesimpangsiuran
Tampaknya ada sejumlah hal yang menyebabkan masyarakat kurang disiplin, antara lain kesimpangsiuran informasi serta opini yang berasal dari berbagai media. Media sosial (medsos), utamanya, yang secara teknologi serta era kebebasan, ditambah kurang meleknya masyarakat terhadap informasi, komunikasi, dan teknologi, menyebabkan membanjirnya informasi serta opini kepada publik sehingga masyarakat menjadi bingung.
Di sisi lain, beragamnya program penanganan yang tersosialisasikan kepada masyarakat yang tidak jarang sepintas tampak tumpang-tindih. Contoh konkretnya kebijakan terhadap gojek yang di satu sisi hanya boleh mengantarkan pesanan dan tidak boleh mengangkut penumpang. Namun, Permenhub Nomor PM 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) terkesan membolehkannya.
Kebijakan yang tampaknya melihat dari dua sisi yang berbeda tersebut (kesehatan versus ekonomi), akhirnya membingungkan dan menjadikan masyarakat kurang disiplin. Demikian pula dengan kebijakan PM non-PSBB di Kota Semarang, misalnya, yang secara detail serta perinci perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat.
Akhirnya, karena pada dasarnya orang itu enggan untuk diajak berpikir yang berat-berat, seperti yang dikatakan oleh Petty dan Caciopo, sebaiknya yang disosialisasikan itu adalah informasi yang paling mudah dicerna serta dipahami.
Oleh karena itu, sebaiknya yang disosialisasikan adalah kewajiban gunakan masker, jaga jarak dan hindari kerumunan, serta jaga kebersihan dengan rajin mencuci tangan dengan sabun dengan metodenya yang sesederhana mungkin sehingga mudah dicerna serta dipahami masyarakat, khususnya akar rumput.
Dari sisi komunikasi pembangunan, biasanya orang akan berpartisipasi aktif manakala mereka cukup informasi (well informed) sehingga mereka akan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya pembangunan kesehatan terkait dengan penanggulangan wabah COVID-19. Kecukupan informasi tersebut sebaiknya hingga sampai pada pengertian apa yang akan mereka peroleh andaikata mereka aktif berpartisipasi.
Sejalan dengan itu maka prinsip kegotongroyongan yang pada dasarnya ada pada masyakakat Indonesia yang saat ini getol disosialisasikan kembali, cocok dengan prinsip saling menjaga sebagai alasan utama menggunakan masker, jaga jarak dan menghindari kerumunan, serta rajin cuci tangan untuk menjaga kebersihan.
Tiga hal sederhana tersebut perlu dijelaskan demi kepentingan bersama dan saling menjaga (simbiosis mutualistis), dan bukanlah karena sikap egoistis dan individual yang sering juga ditiupkan, mungkin dengan tujuan penyesatan, atau mungkin pula karena ketidakpahaman si penyebar pesan.
Memotivasi masyarakat dengan cara menjelaskan pentingnya menjalankan tiga kegiatan sederhana tersebut demi kepentingan bersama dan tujuan akhirnya menghilangkan COVID-19, tentu akan menarik minat masyarakat berpartisipasi aktif manakala mereka memahami betul manfaatnya, baik bagi kepentingan orang per orang, lingkungan keluarga masing-masing, maupun pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Persuasif Empatik
Penyampaian informasi kewajiban mengenakan masker dan yang dua lainnya tersebut secara persuasif (dikaitkan dengan kepentingan/kebutuhan) mereka untuk membujuknya tanpa terasa secara teoretis akan lebih mudah mencapai sasaran.
Selanjutnya bila komunikasi persuasif tersebut dibarengi dengan komunikasi empatik dengan cara sederhana mengandaikan lawan bicaranya adalah komunikator sendiri, bahasa yang dipergunakannya pun tentu adalah bahasa yang sederhana, sopan, serta membuat lawan bicaranya simpatik dan akhirnya mengikutinya.
Meskipun menyampaikan informasi yang bisa membuat masyarakat khawatir pun juga merupakan metode persuasif, dalam situasi wabah COVID-19 seperti saat ini kurang tepat bila digunakan. Yang lebih tepat adalah menyajikan informasi yang menunjukkan adanya ganjaran, utamanya ganjaran bersama, sehingga bila hal tersebut terjadi, pada akhirnya masyarakat bisa hidup normal seperti sediakala. Segala dampak yang mereka rasakan berat saat ini, pelan-pelan akan menjadi pulih kembali.
Akhirnya harapan terakhir kita tujukan kepada media massa, utamanya media arus utama, agar dalam menyampaikan informasi serta opini dipilih yang sejalan dengan tertanggulanginya COVID-19. Terkait dengan ini kita tentu ingat pada apa yang dikatakan Westersthall bahwa berita objektif itu selain didukung fakta, juga harus relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat, netral (tidak beropini) , serta berimbang dalam penyajiannya.
Prinsip bahwa berita adalah fakta. Namun, tidak semua fakta itu layak diberitakan, juga akan melengkapinya dengan menyajikan data yang layak ekspos (fit to expose) sesuai dengan etika jurnalistik yang berlaku.
Dengan demikian, harapannya masyarakat akan paham mengapa mereka wajib memakai masker, jaga jarak dan menhindari kerumunan, serta menjaga kebersihan setidaknya dengan rajin cuci tangan dengan sabun demi kepentingan bersama. Bahkan, hal ini juga pernah terjadi pada tahun 1918 di Nusantara, tatkala wabah flu Spanyol yang membawa korban jiwa yang besar pula.
*) Dosen dan Ketua STIKOM Semarang.
Baca juga: Telaah - COVID-19, China, dan raksasa ekonomi dunia
Baca juga: Telaah - Ketika virus corona menyentuh empat kebenaran
Meski di beberapa negara penurunan telah ada yang mulai tampak, sementara di Indonesia jumlah yang terpapar masih meningkat. Setidaknya hal yang menggembirakan bahwa jumlah yang sembuh 1.151 telah melebihi jumlah yang meninggal 765 (data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, 27 April 2020 pukul 12.00).
Meski data yang sembuh sudah lebih banyak daripada yang meninggal, data masih bertambahnya yang positif terpapar 241 (data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, 27 April 2020 pukul 12.00) dalam sehari terakhir cukup memprihatinkan.
Baca juga: Telaah - Perang Dunia III melawan pandemi virus corona
Menurut Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Achmad Yulianto, masih terus bertambahnya orang yang positif terpapar tersebut karena masih adanya kekurangdisiplinan masyarakat.
Mereka belum secara tertib menjalankan standard operational procedure (SOP) yang sudah disosialisasikan pemerintah melalui berbagai media, bahkan didukung oleh satuan-satuan tugas yang ada di daerah hingga di tingkat paling bawah.
SOP yang paling mudah, yakni menggunakan masker, menjaga jarak, serta mencuci tangan pun tampak di lapangan belum sepenuhnya dipatuhi masyarakat. Bahkan, yang terakhir kewajiban menggunakan masker ketika keluar rumah pun masih tampak diabaikan. Padahal, di wilayahnya sudah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) maupun pembatasan masyarakat non-PSBB (PM non-PSBB) seperti yang diberlakukan di Semarang, sejak 27 April 2020.
Pertanyaannya, mengapa sebagian masyarakat masih abai sehingga penambahan mereka yang positif terpapar, khususnya yang terindikasi terinfeksi dari tengah masyarakat (kerumunan) masih terjadi? Apa yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah dengan aparat yang ditugasi, serta oleh masyarakat itu sendiri?
Fokus vs Kesimpangsiuran
Tampaknya ada sejumlah hal yang menyebabkan masyarakat kurang disiplin, antara lain kesimpangsiuran informasi serta opini yang berasal dari berbagai media. Media sosial (medsos), utamanya, yang secara teknologi serta era kebebasan, ditambah kurang meleknya masyarakat terhadap informasi, komunikasi, dan teknologi, menyebabkan membanjirnya informasi serta opini kepada publik sehingga masyarakat menjadi bingung.
Di sisi lain, beragamnya program penanganan yang tersosialisasikan kepada masyarakat yang tidak jarang sepintas tampak tumpang-tindih. Contoh konkretnya kebijakan terhadap gojek yang di satu sisi hanya boleh mengantarkan pesanan dan tidak boleh mengangkut penumpang. Namun, Permenhub Nomor PM 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) terkesan membolehkannya.
Kebijakan yang tampaknya melihat dari dua sisi yang berbeda tersebut (kesehatan versus ekonomi), akhirnya membingungkan dan menjadikan masyarakat kurang disiplin. Demikian pula dengan kebijakan PM non-PSBB di Kota Semarang, misalnya, yang secara detail serta perinci perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat.
Akhirnya, karena pada dasarnya orang itu enggan untuk diajak berpikir yang berat-berat, seperti yang dikatakan oleh Petty dan Caciopo, sebaiknya yang disosialisasikan itu adalah informasi yang paling mudah dicerna serta dipahami.
Oleh karena itu, sebaiknya yang disosialisasikan adalah kewajiban gunakan masker, jaga jarak dan hindari kerumunan, serta jaga kebersihan dengan rajin mencuci tangan dengan sabun dengan metodenya yang sesederhana mungkin sehingga mudah dicerna serta dipahami masyarakat, khususnya akar rumput.
Dari sisi komunikasi pembangunan, biasanya orang akan berpartisipasi aktif manakala mereka cukup informasi (well informed) sehingga mereka akan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya pembangunan kesehatan terkait dengan penanggulangan wabah COVID-19. Kecukupan informasi tersebut sebaiknya hingga sampai pada pengertian apa yang akan mereka peroleh andaikata mereka aktif berpartisipasi.
Sejalan dengan itu maka prinsip kegotongroyongan yang pada dasarnya ada pada masyakakat Indonesia yang saat ini getol disosialisasikan kembali, cocok dengan prinsip saling menjaga sebagai alasan utama menggunakan masker, jaga jarak dan menghindari kerumunan, serta rajin cuci tangan untuk menjaga kebersihan.
Tiga hal sederhana tersebut perlu dijelaskan demi kepentingan bersama dan saling menjaga (simbiosis mutualistis), dan bukanlah karena sikap egoistis dan individual yang sering juga ditiupkan, mungkin dengan tujuan penyesatan, atau mungkin pula karena ketidakpahaman si penyebar pesan.
Memotivasi masyarakat dengan cara menjelaskan pentingnya menjalankan tiga kegiatan sederhana tersebut demi kepentingan bersama dan tujuan akhirnya menghilangkan COVID-19, tentu akan menarik minat masyarakat berpartisipasi aktif manakala mereka memahami betul manfaatnya, baik bagi kepentingan orang per orang, lingkungan keluarga masing-masing, maupun pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Persuasif Empatik
Penyampaian informasi kewajiban mengenakan masker dan yang dua lainnya tersebut secara persuasif (dikaitkan dengan kepentingan/kebutuhan) mereka untuk membujuknya tanpa terasa secara teoretis akan lebih mudah mencapai sasaran.
Selanjutnya bila komunikasi persuasif tersebut dibarengi dengan komunikasi empatik dengan cara sederhana mengandaikan lawan bicaranya adalah komunikator sendiri, bahasa yang dipergunakannya pun tentu adalah bahasa yang sederhana, sopan, serta membuat lawan bicaranya simpatik dan akhirnya mengikutinya.
Meskipun menyampaikan informasi yang bisa membuat masyarakat khawatir pun juga merupakan metode persuasif, dalam situasi wabah COVID-19 seperti saat ini kurang tepat bila digunakan. Yang lebih tepat adalah menyajikan informasi yang menunjukkan adanya ganjaran, utamanya ganjaran bersama, sehingga bila hal tersebut terjadi, pada akhirnya masyarakat bisa hidup normal seperti sediakala. Segala dampak yang mereka rasakan berat saat ini, pelan-pelan akan menjadi pulih kembali.
Akhirnya harapan terakhir kita tujukan kepada media massa, utamanya media arus utama, agar dalam menyampaikan informasi serta opini dipilih yang sejalan dengan tertanggulanginya COVID-19. Terkait dengan ini kita tentu ingat pada apa yang dikatakan Westersthall bahwa berita objektif itu selain didukung fakta, juga harus relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat, netral (tidak beropini) , serta berimbang dalam penyajiannya.
Prinsip bahwa berita adalah fakta. Namun, tidak semua fakta itu layak diberitakan, juga akan melengkapinya dengan menyajikan data yang layak ekspos (fit to expose) sesuai dengan etika jurnalistik yang berlaku.
Dengan demikian, harapannya masyarakat akan paham mengapa mereka wajib memakai masker, jaga jarak dan menhindari kerumunan, serta menjaga kebersihan setidaknya dengan rajin cuci tangan dengan sabun demi kepentingan bersama. Bahkan, hal ini juga pernah terjadi pada tahun 1918 di Nusantara, tatkala wabah flu Spanyol yang membawa korban jiwa yang besar pula.
*) Dosen dan Ketua STIKOM Semarang.
Baca juga: Telaah - COVID-19, China, dan raksasa ekonomi dunia
Baca juga: Telaah - Ketika virus corona menyentuh empat kebenaran