Jakarta (ANTARA) - Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengatakan jika Pemerintah Pusat tidak melarang kegiatan mudik Lebaran 2020, besar kemungkinan Indonesia akan melejit masuk ke dalam lima besar negara yang paling terpapar virus corona atau COVID-19.
"Saat ini lima negara yang paling terpapar virus corona atau COVID-19 yakni, Amerika Serikat urutan pertama sebanyak 245.380 kasus, kedua Spanyol (117.710 kasus), ketiga Italia (115.242 kasus), keempat Jerman (85.263 kasus), dan kelima China (81.620 kasus)," kata Denny JA dalam siaran persnya di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Pemerintah tidak larang mudik, tapi warga diimbau tak pulang kampung
Denny mensimulasikan hitung-hitungannya sangat sederhana, yakni pemudik pada tahun 2019, dari wilayah Jabodetabek saja, jumlahnya mencapai 14,9 juta jiwa penduduk. Angka itu membengkak jika ditambah pemudik dari kota besar lain.
"Katakanlah Indonesia tetap mengasumsikan mudik tahun 2020 pada angka 14,9 juta jiwa se-Tanah Air. Di kampung halaman, para pemudik akan berinteraksi dalam kultur komunal. Mereka berjumpa keluarga besar, tetangga, sahabat," katanya.
Baca juga: Ajang penyebaran COVID-19, PSI: Mudik harus dilarang
Denny mengatakan, jika rata-rata satu orang yang mudik berinteraksi dengan tiga orang lainnya, maka pemudik akan berinteraksi dengan sekitar 45 juta jiwa penduduk Indonesia.
Dia memberikan contoh, jika satu persen saja dari jumlah populasi pascamudik itu terpapar COVID-19, artinya setelah mudik akan ada 450 ribu jiwa penduduk Indonesia menjadi korban COVID-19.
"Angka 450 ribu korban COVID-19 pascamudik ini sudah melampaui populasi korban di Amerika Serikat (245.380 kasus) yang kini berada di puncak negara paling terpapar virus corona," katanya.
Baca juga: Legislator: Larangan mudik harus disertai sanksi
Menurut Denny, pemerintah tidak cukup lagi hanya mengimbau. Misalnya, mereka yang mudik diimbau karantina 14 hari atau yang pergi atau pulang mudik statusnya menjadi ODP (orang dalam pemantauan) atau PDP (pasien dalam pengawasan).
"Dilihat jumlah pemudik sebanyak 14,9 juta jiwa itu. Apakah pemudik akan dapat diisolasi dengan ketersediaan rumah sakit atau infrastruktur saat ini?," katanya.
Denny menambahkan, jumlah COVID-19 di 32 provinsi pada 3 April 2020 sebanyak 1.986 orang, jumlah yang meninggal 181 orang, dan jumlah yang sembuh 134 orang. Kondisi itu menyebabkan banyak rumah sakit dan tenaga medis kekurangan fasilitas.
Baca juga: Pemerintah siapkan bantuan sosial bagi masyarakat yang tidak mudik
Ia menyarankan, Pemerintah Pusat perlu mempertimbangkan dua hal. Pertama, melarang mudik, yang diikuti kontrol ketat pihak keamanan di semua jalur mudik. Kedua, mencarikan solusi untuk mereka yang ingin pulang kampung karena kesulitan ekonomi untuk tetap tinggal di kota saat ini.
"Ini memang situasi tidak normal. Mudik biasanya begitu hangat dan menggembirakan. Kini mudik justru menakutkan. Namun, Pemerintah Pusat berada dalam posisi menentukan bagaimana mudik 2020 akhirnya dikenang," kata Denny JA.
"Saat ini lima negara yang paling terpapar virus corona atau COVID-19 yakni, Amerika Serikat urutan pertama sebanyak 245.380 kasus, kedua Spanyol (117.710 kasus), ketiga Italia (115.242 kasus), keempat Jerman (85.263 kasus), dan kelima China (81.620 kasus)," kata Denny JA dalam siaran persnya di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Pemerintah tidak larang mudik, tapi warga diimbau tak pulang kampung
Denny mensimulasikan hitung-hitungannya sangat sederhana, yakni pemudik pada tahun 2019, dari wilayah Jabodetabek saja, jumlahnya mencapai 14,9 juta jiwa penduduk. Angka itu membengkak jika ditambah pemudik dari kota besar lain.
"Katakanlah Indonesia tetap mengasumsikan mudik tahun 2020 pada angka 14,9 juta jiwa se-Tanah Air. Di kampung halaman, para pemudik akan berinteraksi dalam kultur komunal. Mereka berjumpa keluarga besar, tetangga, sahabat," katanya.
Baca juga: Ajang penyebaran COVID-19, PSI: Mudik harus dilarang
Denny mengatakan, jika rata-rata satu orang yang mudik berinteraksi dengan tiga orang lainnya, maka pemudik akan berinteraksi dengan sekitar 45 juta jiwa penduduk Indonesia.
Dia memberikan contoh, jika satu persen saja dari jumlah populasi pascamudik itu terpapar COVID-19, artinya setelah mudik akan ada 450 ribu jiwa penduduk Indonesia menjadi korban COVID-19.
"Angka 450 ribu korban COVID-19 pascamudik ini sudah melampaui populasi korban di Amerika Serikat (245.380 kasus) yang kini berada di puncak negara paling terpapar virus corona," katanya.
Baca juga: Legislator: Larangan mudik harus disertai sanksi
Menurut Denny, pemerintah tidak cukup lagi hanya mengimbau. Misalnya, mereka yang mudik diimbau karantina 14 hari atau yang pergi atau pulang mudik statusnya menjadi ODP (orang dalam pemantauan) atau PDP (pasien dalam pengawasan).
"Dilihat jumlah pemudik sebanyak 14,9 juta jiwa itu. Apakah pemudik akan dapat diisolasi dengan ketersediaan rumah sakit atau infrastruktur saat ini?," katanya.
Denny menambahkan, jumlah COVID-19 di 32 provinsi pada 3 April 2020 sebanyak 1.986 orang, jumlah yang meninggal 181 orang, dan jumlah yang sembuh 134 orang. Kondisi itu menyebabkan banyak rumah sakit dan tenaga medis kekurangan fasilitas.
Baca juga: Pemerintah siapkan bantuan sosial bagi masyarakat yang tidak mudik
Ia menyarankan, Pemerintah Pusat perlu mempertimbangkan dua hal. Pertama, melarang mudik, yang diikuti kontrol ketat pihak keamanan di semua jalur mudik. Kedua, mencarikan solusi untuk mereka yang ingin pulang kampung karena kesulitan ekonomi untuk tetap tinggal di kota saat ini.
"Ini memang situasi tidak normal. Mudik biasanya begitu hangat dan menggembirakan. Kini mudik justru menakutkan. Namun, Pemerintah Pusat berada dalam posisi menentukan bagaimana mudik 2020 akhirnya dikenang," kata Denny JA.