Semarang (ANTARA) - Beberapa hari belakangan ini perhatian masyarakat tertuju pada kasus yang menjerat anggota KPU RI Wahyu Setiawan.
Wahyu Setiawan terkena OTT oleh KPK dalam kasus suap Rp600 juta untuk pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dengan tersangka Harun Masiku dari PDI Perjuangan yang hingga saat ini masih dinyatakan buron. Kendati demikian, proses PAW untuk menjadikan Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin Kiemas di parlemen melalui mekanisme pergantian antarwaktu gagal total, bahkan menyeret para pelaku (penyuap dan yang disuap) menjadi tersangka.
Persoalan PAW Harun mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dugaan suap yang dilakukan anggota KPU Wahyu Setiawan. Dia diduga meminta uang sebesar Rp900 juta kepada Harun sebagai biaya operasional untuk memudahkan proses PAW tersebut.
Baca juga: Ini penjelasan Wahyu Setiawan tentang ujaran "siap mainkan"
Baca juga: KPK: Harun Masiku ada di luar negeri
Politikus PDI Perjuangan itu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap yang juga menjerat anggota KPU RI Wahyu Setiawan. Oleh KPK, Harun diduga menjadi pihak yang memberikan uang kepada Wahyu Setiawan agar membantunya menjadi anggota legislatif melalui mekanisme PAW. Bahkan, kasus ini tidak menutup kemungkinan akan menyeret pihak lain menjadi tersangka.
Kasus suap yang menjerat anggota KPU Wahyu Setiawan telah mencoreng wajah penyelenggara pemilu itu. Peristiwa yang menimpa salah satu anggota KPU menjadi tregedi memalukan karena bisa merusak kredibilitas seluruh penyelenggara pemilu, bahkan berdampak pada buruknya citra KPU, baik di pusat maupun di daerah.
Persoalan ini bermula ketika calon anggota DPR RI dari PDI Perjungan Nazarudin Kiemas yang juga merupakan adik dari almarhum suami Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Taufik Kiemas, meninggal dunia 2 pekan sebelum pencoblosan, 17 April 2019.
Ketatnya waktu yang tersisa membuat KPU tidak bisa melakukan pencetakan ulang kertas suara yang akan dicoblos masyarakat sehingga foto dan nama Nazarudin yang tercetak di kertas suara justru menjadi caleg dengan perolehan suara terbanyak.
Sesuai dengan mekanisme, posisi Nazarudin seharusnya digantikan oleh pemilik suara terbanyak kedua, yaitu Riezky Aprilia. Namun, DPP PDI Perjuangan justru mengajukan gugatan atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara kepada Mahkamah Agung (MA). MA pun mengabulkan gugatan itu sehingga memutuskan bahwa PAW terhadap calon yang meninggal dunia menjadi wewenang parpol.
Namun, KPU tetap berpegangan pada aturan. Ketika rapat pleno dilaksanakan, KPU tetap menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin. Akan tetapi, PDI Perjuangan tetap berupaya masuk melalui cara yang tidak dibenarkan, yaitu lewat anggota KPU Wahyu Setiawan. Dalam kasus politikus PDI Perjuangan ini, KPU tetap bersikukuh mempertahankan keputusannya hingga akhirnya kasus ini terendus KPK.
Kasus Mulan Jameela
Pada kasus PAW Mulan Jameela, Gerindra beberapa kali berupaya mengubah putusan KPU melalui hasil sidang atas gugatan yang dilayangkan sembilan caleg Gerindra ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mulan yang maju dari Dapil Jawa Barat XI, hanya mampu meraup 24.192 suara.
Perolehan suara yang diperoleh itu tidak mampu memboyongnya lolos ke kursi Senayan. Namun, dia kemudian menggugat Partai Gerindra ke PN Jaksel agar DPP Partai Gerindra memiliki hak untuk menetapkan para penggugat sebagai anggota legislatif terpilih karena suara pemilih partai yang lebih besar daripada pemilih caleg langsung.
Hasilnya, majelis hakim PN Jaksel mengabulkan gugatan tersebut. KPU sebenarnya sempat bersikukuh atas keputusannya. Namun, belakangan sikap KPU berubah melalui Surat Keputusan Nomor 1341/PL/01.9-Kpt/06/KPU/IX/2019 tentang Perubahan atas Keputusan KPU Nomor 1318/PL/01.9-Kpt/06/KPU/IX/2019 tentang Penetapan Calon Terpilih Anggota DPR dalam Pemilu 2019.
Mulan akhirnya melenggang ke Senayan melalui mekanisme PAW menggantikan dua rekannya sesama partai, Ervin Luthfi yang memperoleh suara ketiga terbanyak dan Fahrul Rozi yang memperoleh suara terbanyak keempat.
Oligarki Harus Dihentikan
Apa yang dilakukan Gerindra maupun PDI Perjuangan sama-sama telah merusak sistem demokrasi yang telah berjalan. Sejatinya, parpol selama ini kerap mengajak agar masyarakat berpartisipasi dalam pemilu untuk mendukung kandidat sesuai dengan keinginan dan harapan mereka.
Skema Harun dalam PAW yang terjadi di PDI Perjuangan, KPU telah menolak rekomendasi dari DPP, yang meminta KPU untuk mengganti nama Riezky Aprilia yang meraih suara terbanyak kedua di Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I dengan Harun yang justru hanya memperoleh suara terbanyak kelima. Pertanyaan selanjutnya apakah Rizkie bisa dihentikan meski telah terpilih di DPR? Dia lalu diganti yang baru dengan cara menyogok?
Ketika kandidat itu terpilih dan tidak sesuai dengan harapan parpol, parpol dengan kewenangan yang dimiliki justru bersikap sewenang-wenang untuk menggantinya. Pertanyaannya adalah buat apa rakyat diajak untuk memilih tetapi parpol bisa mengubah seenaknya, bahkan berupaya melalui pengadilan?
Baik PDI Perjuangan maupun Gerindra, sama-sama keliru dalam menerapkan sistem demokrasi dalam pemilihan. Pasalnya, partai politik berupaya memaksakan kehendak kepada KPU agar caleg tertentu dapat ditetapkan sebagai kandidat terpilih meski perolehan suaranya kalah dari caleg lain. Hal ini sebagai bentuk pengkhianatan kesewenang-wenangan parpol terhadap proses demokrasi yang sedang berjalan.
Pengkhianatan dan kesewenang-wenangan terhadap demokrasi itu menunjukkan parpol bersikap oligarki dan tidak memahami makna demokrasi itu sendiri. Partai menjadi sangat otoriter, oligarki, mengatur pemberhentian dan/atau pengangkatan caleg sesuai dengan kemauan sendiri. Padahal pemberhentian itu harus memiliki alasan yang kuat, misalnya, meninggal dunia atau melakukan pelanggaran hukum dan lain-lain.
KPU juga harus dilindungi dari berbagai bentuk tekanan yang berasal dari parpol demi mempertahankan sistem demokrasi yang telah terbangun. Di lain pihak, KPU juga harus berani bersikap tegas untuk melindungi hak caleg yang telah terpilih.
Dalam sistem demokrasi tidak langsung seperti diterapkan di Indonesia, partai politik merupakan elemen penting, strategis sekaligus vital, yakni menjadi pihak yang diberikan kepercayaan politik oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan di parlemen. Dalam alur yang linier, partai politik tepat berada di tengah antara warganegara sebagai konstituen dan negara sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan.
Partai politik, menjadi satu-satunya institusi yang berwenang menjaring wakil-wakilnya untuk dipilih oleh rakyat yang akan duduk di parlemen. Tugas ini pula yang kemudian mensyaratkan partai politik melakukan kaderisasi politik; menjaring individu-individu terbaik yang representatif untuk ditawarkan kepada publik dalam pemilu.
Dalam cakupan yang lebih luas, partai politik juga dibebani tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Sebagai subjek demokrasi, masyarakat dituntut memiliki pengetahuan politik. Tanpa pengetahuan politik, demokrasi hanya akan berjalan secara prosedural dan lupa pada esensinya.
Namun, dalam kenyataannya, praktik ideal partai politik tersebut lebih sering tidak terlaksana. Secara internal, partai politik bahkan kerap kali gagal mempraktikkan mekanisme demokrasi dan terjebak dalam budaya oligarki. Dalam konteks politik nasional, hal itu tampak jelas dalam mekanisme PAW yang baru saja dilakukan oleh parpol besar, seperti PDIP dan Gerindra.
Kasus tersebut sangat mencederai agenda demokrasi karena cengkeraman oligarki yang terus bertahan. Hal ini juga menandakan betapa lemahnya kredibilitas lembaga pemilu (KPU) dan sekaligus para elite parpol yang dengan mudah melakukan persekongkolan jahat demi memuluskan syahwat politiknya. Adalah naif belaka untuk mengharapkan pemerintahaan yang kredibel manakala kita masih terus dipertontonkan praktik-praktik yang masih menunjukkan kekuatan oligarki.
Momentum untuk melakukan evaluasi, pembenahan, dan menata sistem sehingga di satu sisi akan terjadi perbaikan, sementara di sisi lain akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan publik pada KPU sekaligus memiliki legitimasi politik yang kuat sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen dan profesional.
Selain itu yang tidak kalah penting adalah pembenahan terhadap parpol juga mesti dilakukan oleh para elite partai untuk mendapat kepercayaan publik. Dengan demikian, legitimasi hasil pemilu kembali menguat dan dipercaya publik.
Baca juga: KPK gandeng Ditjen Imigrasi buru kader PDIP Harun Masiku terkait kasus PAW
Baca juga: Telaah - Istilah pasca-OTT takselaras UU Pemilu
*) Penulis adalah staf pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.
Wahyu Setiawan terkena OTT oleh KPK dalam kasus suap Rp600 juta untuk pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dengan tersangka Harun Masiku dari PDI Perjuangan yang hingga saat ini masih dinyatakan buron. Kendati demikian, proses PAW untuk menjadikan Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin Kiemas di parlemen melalui mekanisme pergantian antarwaktu gagal total, bahkan menyeret para pelaku (penyuap dan yang disuap) menjadi tersangka.
Persoalan PAW Harun mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dugaan suap yang dilakukan anggota KPU Wahyu Setiawan. Dia diduga meminta uang sebesar Rp900 juta kepada Harun sebagai biaya operasional untuk memudahkan proses PAW tersebut.
Baca juga: Ini penjelasan Wahyu Setiawan tentang ujaran "siap mainkan"
Baca juga: KPK: Harun Masiku ada di luar negeri
Politikus PDI Perjuangan itu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap yang juga menjerat anggota KPU RI Wahyu Setiawan. Oleh KPK, Harun diduga menjadi pihak yang memberikan uang kepada Wahyu Setiawan agar membantunya menjadi anggota legislatif melalui mekanisme PAW. Bahkan, kasus ini tidak menutup kemungkinan akan menyeret pihak lain menjadi tersangka.
Kasus suap yang menjerat anggota KPU Wahyu Setiawan telah mencoreng wajah penyelenggara pemilu itu. Peristiwa yang menimpa salah satu anggota KPU menjadi tregedi memalukan karena bisa merusak kredibilitas seluruh penyelenggara pemilu, bahkan berdampak pada buruknya citra KPU, baik di pusat maupun di daerah.
Persoalan ini bermula ketika calon anggota DPR RI dari PDI Perjungan Nazarudin Kiemas yang juga merupakan adik dari almarhum suami Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Taufik Kiemas, meninggal dunia 2 pekan sebelum pencoblosan, 17 April 2019.
Ketatnya waktu yang tersisa membuat KPU tidak bisa melakukan pencetakan ulang kertas suara yang akan dicoblos masyarakat sehingga foto dan nama Nazarudin yang tercetak di kertas suara justru menjadi caleg dengan perolehan suara terbanyak.
Sesuai dengan mekanisme, posisi Nazarudin seharusnya digantikan oleh pemilik suara terbanyak kedua, yaitu Riezky Aprilia. Namun, DPP PDI Perjuangan justru mengajukan gugatan atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara kepada Mahkamah Agung (MA). MA pun mengabulkan gugatan itu sehingga memutuskan bahwa PAW terhadap calon yang meninggal dunia menjadi wewenang parpol.
Namun, KPU tetap berpegangan pada aturan. Ketika rapat pleno dilaksanakan, KPU tetap menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin. Akan tetapi, PDI Perjuangan tetap berupaya masuk melalui cara yang tidak dibenarkan, yaitu lewat anggota KPU Wahyu Setiawan. Dalam kasus politikus PDI Perjuangan ini, KPU tetap bersikukuh mempertahankan keputusannya hingga akhirnya kasus ini terendus KPK.
Kasus Mulan Jameela
Pada kasus PAW Mulan Jameela, Gerindra beberapa kali berupaya mengubah putusan KPU melalui hasil sidang atas gugatan yang dilayangkan sembilan caleg Gerindra ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mulan yang maju dari Dapil Jawa Barat XI, hanya mampu meraup 24.192 suara.
Perolehan suara yang diperoleh itu tidak mampu memboyongnya lolos ke kursi Senayan. Namun, dia kemudian menggugat Partai Gerindra ke PN Jaksel agar DPP Partai Gerindra memiliki hak untuk menetapkan para penggugat sebagai anggota legislatif terpilih karena suara pemilih partai yang lebih besar daripada pemilih caleg langsung.
Hasilnya, majelis hakim PN Jaksel mengabulkan gugatan tersebut. KPU sebenarnya sempat bersikukuh atas keputusannya. Namun, belakangan sikap KPU berubah melalui Surat Keputusan Nomor 1341/PL/01.9-Kpt/06/KPU/IX/2019 tentang Perubahan atas Keputusan KPU Nomor 1318/PL/01.9-Kpt/06/KPU/IX/2019 tentang Penetapan Calon Terpilih Anggota DPR dalam Pemilu 2019.
Mulan akhirnya melenggang ke Senayan melalui mekanisme PAW menggantikan dua rekannya sesama partai, Ervin Luthfi yang memperoleh suara ketiga terbanyak dan Fahrul Rozi yang memperoleh suara terbanyak keempat.
Oligarki Harus Dihentikan
Apa yang dilakukan Gerindra maupun PDI Perjuangan sama-sama telah merusak sistem demokrasi yang telah berjalan. Sejatinya, parpol selama ini kerap mengajak agar masyarakat berpartisipasi dalam pemilu untuk mendukung kandidat sesuai dengan keinginan dan harapan mereka.
Skema Harun dalam PAW yang terjadi di PDI Perjuangan, KPU telah menolak rekomendasi dari DPP, yang meminta KPU untuk mengganti nama Riezky Aprilia yang meraih suara terbanyak kedua di Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I dengan Harun yang justru hanya memperoleh suara terbanyak kelima. Pertanyaan selanjutnya apakah Rizkie bisa dihentikan meski telah terpilih di DPR? Dia lalu diganti yang baru dengan cara menyogok?
Ketika kandidat itu terpilih dan tidak sesuai dengan harapan parpol, parpol dengan kewenangan yang dimiliki justru bersikap sewenang-wenang untuk menggantinya. Pertanyaannya adalah buat apa rakyat diajak untuk memilih tetapi parpol bisa mengubah seenaknya, bahkan berupaya melalui pengadilan?
Baik PDI Perjuangan maupun Gerindra, sama-sama keliru dalam menerapkan sistem demokrasi dalam pemilihan. Pasalnya, partai politik berupaya memaksakan kehendak kepada KPU agar caleg tertentu dapat ditetapkan sebagai kandidat terpilih meski perolehan suaranya kalah dari caleg lain. Hal ini sebagai bentuk pengkhianatan kesewenang-wenangan parpol terhadap proses demokrasi yang sedang berjalan.
Pengkhianatan dan kesewenang-wenangan terhadap demokrasi itu menunjukkan parpol bersikap oligarki dan tidak memahami makna demokrasi itu sendiri. Partai menjadi sangat otoriter, oligarki, mengatur pemberhentian dan/atau pengangkatan caleg sesuai dengan kemauan sendiri. Padahal pemberhentian itu harus memiliki alasan yang kuat, misalnya, meninggal dunia atau melakukan pelanggaran hukum dan lain-lain.
KPU juga harus dilindungi dari berbagai bentuk tekanan yang berasal dari parpol demi mempertahankan sistem demokrasi yang telah terbangun. Di lain pihak, KPU juga harus berani bersikap tegas untuk melindungi hak caleg yang telah terpilih.
Dalam sistem demokrasi tidak langsung seperti diterapkan di Indonesia, partai politik merupakan elemen penting, strategis sekaligus vital, yakni menjadi pihak yang diberikan kepercayaan politik oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan di parlemen. Dalam alur yang linier, partai politik tepat berada di tengah antara warganegara sebagai konstituen dan negara sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan.
Partai politik, menjadi satu-satunya institusi yang berwenang menjaring wakil-wakilnya untuk dipilih oleh rakyat yang akan duduk di parlemen. Tugas ini pula yang kemudian mensyaratkan partai politik melakukan kaderisasi politik; menjaring individu-individu terbaik yang representatif untuk ditawarkan kepada publik dalam pemilu.
Dalam cakupan yang lebih luas, partai politik juga dibebani tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Sebagai subjek demokrasi, masyarakat dituntut memiliki pengetahuan politik. Tanpa pengetahuan politik, demokrasi hanya akan berjalan secara prosedural dan lupa pada esensinya.
Namun, dalam kenyataannya, praktik ideal partai politik tersebut lebih sering tidak terlaksana. Secara internal, partai politik bahkan kerap kali gagal mempraktikkan mekanisme demokrasi dan terjebak dalam budaya oligarki. Dalam konteks politik nasional, hal itu tampak jelas dalam mekanisme PAW yang baru saja dilakukan oleh parpol besar, seperti PDIP dan Gerindra.
Kasus tersebut sangat mencederai agenda demokrasi karena cengkeraman oligarki yang terus bertahan. Hal ini juga menandakan betapa lemahnya kredibilitas lembaga pemilu (KPU) dan sekaligus para elite parpol yang dengan mudah melakukan persekongkolan jahat demi memuluskan syahwat politiknya. Adalah naif belaka untuk mengharapkan pemerintahaan yang kredibel manakala kita masih terus dipertontonkan praktik-praktik yang masih menunjukkan kekuatan oligarki.
Momentum untuk melakukan evaluasi, pembenahan, dan menata sistem sehingga di satu sisi akan terjadi perbaikan, sementara di sisi lain akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan publik pada KPU sekaligus memiliki legitimasi politik yang kuat sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen dan profesional.
Selain itu yang tidak kalah penting adalah pembenahan terhadap parpol juga mesti dilakukan oleh para elite partai untuk mendapat kepercayaan publik. Dengan demikian, legitimasi hasil pemilu kembali menguat dan dipercaya publik.
Baca juga: KPK gandeng Ditjen Imigrasi buru kader PDIP Harun Masiku terkait kasus PAW
Baca juga: Telaah - Istilah pasca-OTT takselaras UU Pemilu
*) Penulis adalah staf pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.