Semarang (ANTARA) - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo diminta tidak meneruskan kebijakan berupa penenggelaman kapal pencuri ikan dengan cara diledakkan di tengah laut karena dinilai berdampak negatif terhadap lingkungan.
Menurut praktisi dan pemerhati sektor transportasi logistik, Bambang Haryo Soekartono, peledakan kapal pada masa Menteri Susi Pujiastuti itu melanggar banyak regulasi dan menyebabkan kerugian besar dari sisi lingkungan hidup dan ekonomi.
"Dampak negatifnya (peledakan kapal, red) lebih besar. Akibat tindakan itu, terjadi pencemaran laut sebab banyak unsur anorganik dari serpihan dan bangkai kapal yang menjadi limbah, seperti cat, oli, bahan bakar, plastik dan sebagainya," katanya.
Anggota DPR RI periode 2014-2019 ini menjelaskamn bahwa peledakan yang menyebabkan serpihan kapal menjadi sampah yang berserakan di laut melanggar aturan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang melarang bahan anorganik dibuang ke laut.
Selain itu, peledakan kapal juga melanggar konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) dari International Maritime Organization (IMO) dan Undang-Undang No. 17/2015 tentang Pelayaran.
Dalam UU Pelayaran yang merupakan ratifikasi regulasi IMO, kapal yang tenggelam wajib diangkat atau diapungkan, apalagi jika mengganggu alur pelayaran.
"Kapal yang tenggelam titik koordinatnya pun harus diketahui dan dilindungi dengan 'oil boom' supaya tidak mencemari laut. Kapal bisa saja ditenggelamkan tetapi pada kedalaman di atas 1.000 meter dan tidak mengganggu pelayaran, serta harus dipastikan bebas limbah," ujarnya.
Baca juga: Kebijakan keliru, pengamat sebut Indonesia tak nikmati potensi poros maritim dunia
Bambang Haryo juga mengkritisi peledakan kapal saat itu justru dilakukan di pesisir sehingga berpotensi mengganggu pelayaran dan merusak lingkungan.
Padahal, lanjut dia, Pasal 229 UU Pelayaran jelas menyatakan setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah, air balas kotoran, sampah serta bahan kimia beracun ke perairan.
Sanksi pelanggaran aturan tersebut diatur dalam Pasal 325 yaitu hukuman pidana penjara dua tahun dan denda Rp300 juta.
Bambang Haryo menilai, pencemaran dari peledakan kapal jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan, setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan penjara 1-3 tahun dan denda Rp1 miliar-Rp3 miliar.
Dirinya mendukung pandangan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo untuk menghentikan peledakan kapal dan mencari cara lain yang berorientasi kepada kesejahteraan nelayan.
"Saya yakin Pak Edy tidak akan melanjutkan kebijakan peledakan kapal karena dampak negatifnya lebih besar daripada keuntungan ekonominya," ujarnya.
Jika kebijakan itu dilanjutkan, Bambang Haryo khawatir kepercayaan investor dan pembeli produk perikanan Indonesia di luar negeri akan hilang sebab ikan dari Indonesia tercemar.
"Kepercayaan dunia pelayaran juga akan merosot karena mereka khawatir alur pelayaran terganggu akibat banyaknya kapal tenggelam di perairan Indonesia," katanya.
Baca juga: Kebijakan keliru, pengamat sebut Indonesia tak nikmati potensi poros maritim dunia
Menurut praktisi dan pemerhati sektor transportasi logistik, Bambang Haryo Soekartono, peledakan kapal pada masa Menteri Susi Pujiastuti itu melanggar banyak regulasi dan menyebabkan kerugian besar dari sisi lingkungan hidup dan ekonomi.
"Dampak negatifnya (peledakan kapal, red) lebih besar. Akibat tindakan itu, terjadi pencemaran laut sebab banyak unsur anorganik dari serpihan dan bangkai kapal yang menjadi limbah, seperti cat, oli, bahan bakar, plastik dan sebagainya," katanya.
Anggota DPR RI periode 2014-2019 ini menjelaskamn bahwa peledakan yang menyebabkan serpihan kapal menjadi sampah yang berserakan di laut melanggar aturan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang melarang bahan anorganik dibuang ke laut.
Selain itu, peledakan kapal juga melanggar konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) dari International Maritime Organization (IMO) dan Undang-Undang No. 17/2015 tentang Pelayaran.
Dalam UU Pelayaran yang merupakan ratifikasi regulasi IMO, kapal yang tenggelam wajib diangkat atau diapungkan, apalagi jika mengganggu alur pelayaran.
"Kapal yang tenggelam titik koordinatnya pun harus diketahui dan dilindungi dengan 'oil boom' supaya tidak mencemari laut. Kapal bisa saja ditenggelamkan tetapi pada kedalaman di atas 1.000 meter dan tidak mengganggu pelayaran, serta harus dipastikan bebas limbah," ujarnya.
Baca juga: Kebijakan keliru, pengamat sebut Indonesia tak nikmati potensi poros maritim dunia
Bambang Haryo juga mengkritisi peledakan kapal saat itu justru dilakukan di pesisir sehingga berpotensi mengganggu pelayaran dan merusak lingkungan.
Padahal, lanjut dia, Pasal 229 UU Pelayaran jelas menyatakan setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah, air balas kotoran, sampah serta bahan kimia beracun ke perairan.
Sanksi pelanggaran aturan tersebut diatur dalam Pasal 325 yaitu hukuman pidana penjara dua tahun dan denda Rp300 juta.
Ia mencontohkan, limbah Kapal MV Viking berukuran 1.322 GT yang ditenggelamkan dengan cara diledakkan di dekat Pantai Pasir Putih Pangandaran, Jawa Barat, sempat bocor sehingga mencemari air laut dan pantai di sekitarnya.
Bambang Haryo menilai, pencemaran dari peledakan kapal jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan, setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan penjara 1-3 tahun dan denda Rp1 miliar-Rp3 miliar.
Dirinya mendukung pandangan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo untuk menghentikan peledakan kapal dan mencari cara lain yang berorientasi kepada kesejahteraan nelayan.
"Saya yakin Pak Edy tidak akan melanjutkan kebijakan peledakan kapal karena dampak negatifnya lebih besar daripada keuntungan ekonominya," ujarnya.
Jika kebijakan itu dilanjutkan, Bambang Haryo khawatir kepercayaan investor dan pembeli produk perikanan Indonesia di luar negeri akan hilang sebab ikan dari Indonesia tercemar.
"Kepercayaan dunia pelayaran juga akan merosot karena mereka khawatir alur pelayaran terganggu akibat banyaknya kapal tenggelam di perairan Indonesia," katanya.
Baca juga: Kebijakan keliru, pengamat sebut Indonesia tak nikmati potensi poros maritim dunia