Semarang (ANTARA) - Pengamat sekaligus praktisi transportasi logistik, Bambang Haryo Soekartono, menyebut negara Indonesia kehilangan kesempatan besar untuk menikmati potensi poros maritim dunia, baik dari sektor logistik maupun perikanan akibat kebijakan pemerintah tidak fokus tanpa target yang jelas.

Ia menilai visi poros maritim dunia yang dicanangkan Presiden Joko Widodo tidak mampu diterjemahkan oleh para menterinya dalam Kabinet Kerja yang lalu.

"Kabinet Kerja gagal mewujudkan visi Presiden itu. Kita berharap kegagalan ini tidak terulang dalam Kabinet Indonesia Maju. Indonesia berada di poros maritim dunia, tapi tidak dapat manfaat, ini sama seperti tikus mati di lumbung padi," katanya dalam siaran pers yang diterima Antara di Semarang, Jumat.

Menurut dia, hampir seluruh potensi poros maritim dunia dinikmati oleh negara tetangga yang justru bukan negara kepulauan seperti Indonesia, yakni Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Saat ini, kata dia, sekitar 90 persen kapal dunia berlalu-lalang di poros maritim dunia yang melalui perairan Indonesia, yakni 80 persen di Selat Malaka dan 10 persen lainnya melintasi Selat Makassar.

Di Selat Malaka, jumlah kapal yang melintas lebih dari 100.000 unit dengan mengangkut 90 juta TEUs kontainer per tahun, Singapura dan Malaysia masing-masing mampu menyedot sekitar 40 juta TEUs, Thailand 10 juta TEUs, sedangkan Indonesia tidak lebih dari 1 juta TEUs.

Dirinya mengaku kecewa Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang di Selat Malaka yakni 600 mil tidak mendapat limpahan dari Selat Malaka, sedangkan Singapura dengan garis pantai hanya 15 mil dan Malaysia 200 mil masing-masing bisa meraup Rp300 triliun dari "transshipment" di lintasan itu.

Dia mengatakan bahwa kapal asing tidak tertarik "transshipment" di pelabuhan Indonesia di sepanjang Selat Malaka karena belum memiliki fasilitas bongkar muat kontainer yang memadai sehingga pelayanan tidak optimal dan tarif mahal.

Pengembangan pelabuhan dan industri masih terfokus di Pulau Jawa, yang justru tidak dilakui poros maritim dunia. Sebagai contoh, pemerintah membangun Pelabuhan Patimban Subang sehingga industri makin terkonsentrasi di Jawa.

Selain itu, kedalaman alur pelabuhan Indonesia di Selat Malaka juga belum memadai untuk sandar kapal besar sehingga tidak bisa menjadi pelabuhan hub domestik maupun hub internasional dan saat ini pelayaran masih mengandalkan Singapura sebagai pelabuhan hub domestik untuk Indonesia.

"Pemerintah harusnya menyediakan kawasan industri terintegrasi dengan pelabuhan guna menarik ribuan investasi dari Asia Timur, Eropa, Amerika dan Australia," ujar mantan Wakil Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini.

Peluang ini, kata dia, cukup besar karena investasi di Indonesia sebagai pusat poros maritim dunia akan memangkas jarak ke tempat tujuan sehingga ongkos logistik lebih murah, apalagi Indonesia punya sumber bahan baku untuk industri dan sumber daya manusia melimpah.

Kalau ini dapat diwujudkan, Bambang Haryo yakin devisa dari "transshipment" dan kegiatan industri akan sangat besar hingga ribuan triliun rupiah serta menyerap jutaan tenaga kerja lokal, sekaligus menumbuhkan ekonomi di kawasan tersebut.

Apalagi, lanjutnya, apabila Terusan Kra yang dibangun Thailand dibuka pada 2022 akan membuka peluang besar bagi Indonesia, terutama di wilayah Aceh, untuk menampung limpahan logistik yang tidak lagi melalui Singapura dan Malaysia.

"Sayangnya, pemerintah belum menyiapkan strategi dan kebijakan konkret menghadapi dampak pembukaan Terusan Kra, padahal Pelabuhan Sabang dan Lhokseumawe di Aceh berpotensi besar menampung limpahan itu," katanya.

Kedua pelabuhan alam itu memiliki kedalaman di atas 50 meter sehingga bisa melayani kapal-kapal generasi kelima dengan sarat kapal di atas 15 meter, namun saat ini Pelabuhan Lhoksemawe belum bisa melayani kontainer, baik domestik maupun internasional, karena tidak memiliki fasilitas memadai.

Ia meminta Indonesia harus bisa mengambil manfaat dari pembukaan Terusan Kra yang akan memotong jalur pelayaran internasional dari Selat Malaka langsung menuju Samudera Hindia.

Saat ini, kapal-kapal dari Asia Timur (Jepang, Korea, China, Taiwan) menuju Amerika, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah ataupun sebaliknya melalui Selat Malaka.
Peluang lain yang belum dimanfaatkan adalah jalur pelayaran Asia Timur dan Filipina menuju Australia dan Selandia Baru melalui Selat Makassar.

Pelabuhan di jalur Poros Maritim Dunia (ALKI 2) ini juga belum dibangun sebagai hub internasional seperti halnya pelabuhan di Selat Malaka (ALKI 1).

"Pemerintah juga harus menarik investasi ke wilayah di jalur itu, seperti Balikpapan atau Makassar. Pengembangan kawasan industri strategis yang terintegrasi dengan pelabuhan hub di Kalimantan sangat potensial karena wilayah itu bebas gempa, sangat menarik bagi negara seperti Jepang yang rawan gempa. Kedepan Kalimantan bisa menjadi hub industri dan hub Poros Maritim Dunia,” ujarnya.

Bambang Haryo juga menyebut Indonesia merupakan Poros Maritim Dunia perikanan sebab Indonesia merupakan jalur migrasi ikan tuna sirip biru dan sirip kuning dari Australia ke Asia Timur/Pasifik dan sebaliknya.

Secara tegas, ia menilai potensi laut selama ini tidak tergarap secara maksimal karena kebijakan yang keliru.

Sebagai contoh, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut dalam Indonesia tidak bisa dieksplorasi akibat pelarangan kapal tangkap 150 Gross Ton dan kapal angkut 200 GT oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yang sebelumnya dijabat Susi Pujiastuti.

"Indonesia kehilangan potensi dari hasil tangkap ikan tuna hingga puluhan triliun ripiah karena tidak bisa menangkap ikan tuna yang harganya bisa mencapai miliaran rupiah per ekor," katanya.

Kerugian besar juga terjadi akibat larangan penangkapan benih lobster oleh KKP yang secara nasional, kerugian akibat kebijakan ini diperkirakan mencapai Rp6 triliun per tahun.

"Sangat disayangkan, pemerintah tidak memahami dan seolah tidak peduli terhadap potensi sektor maritim nasional yang sangat besar, padahal jargon pemerintah adalah Indonesia poros maritim dunia," pungkasnya.

Pewarta : Wisnu A.N
Editor : Wisnu Adhi Nugroho
Copyright © ANTARA 2024