Magelang (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyarankan pemerintah daerah menggunakan alat monitoring pajak untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dan memperkecil penyelewengan kata Kasatgas Pencegahan Unit Koordinasi Wilayah V KPK Kunto Ariawan.

Kunto di Magelang, Kamis, mengatakan bahwa potensi kehilangan pajak untuk pajak daerah itu biasanya disebabkan oleh pemda sendiri. Pasalnya, ketika melakukan pungutan, mungkin ada negosiasi dengan pengusaha sehingga tidak disetorkan semuanya.

Selain itu, bisa dari karyawan restoran kalau masih manual menulisnya di kuitansi. Oleh karena itu, nanti tidak semua kuitansi disampaikan kepada pemiliknya sehingga omzet yang sebenarnya tidak ketahuan dan juga bisa dari pengusahanya sebenarnya sudah pungut pajak dari masyarakat sekian tetapi belum disetorkan semuanya kepada pemda.

"Maka, kami gunakan alat untuk memonitor bersama-sama sehingga diketahui berapa sebenarnya transaksi yang terjadi di masing-masing restoran, tempat hiburan, tempat parkir, dan sebagainya," katanya usai menjadi pembicara dalam optimalisasi PAD di Kota Magelang.

Ia menuturkan bahwa alat monitor daring itu tergantung pada usahanya. Ada tiga jenis kalau usaha restoran sudah besar bentuknya seperti kas register, seandainya pembeli makan daging ayam di restoran tersebut, nanti datanya masuk ke pemda sehingga pemda bisa tahu omzet dari restoran tersebut setiap hari.

Baca juga: Tingkat Kepatuhan Pelaporan Pajak Baru 76,10 Persen

Berikutnya kalau restoran masih kecil bentuk alatnya seperti telepon seluler tetapi di belakangnya ada printernya. Kalau sistemnya sudah bagus, biasanya cuma diinstalkan software-nya saja untuk menarik data-data tersebut.

Ia menyampaikan sejumlah pemda yang telah menggunakan alat monitoring pajak daerah, rata-rata kenaikannya 24 persen,. Akan tetapi, beberapa daerah ada yang kenaikannya sampai 50 hingga 100 persen per jenis usahanya.

"Penyebabnya bukan tidak mau menyetorkan, pengusaha rata-rata belum memungut pajak tersebut kepada masyarakat. Jadi, pajaknya itu sebenarnya bukan omzet mereka karena dibebankan pada konsumen. Kalau konsumen makan di restoran, itu ada tambahan pajak 10 persen, tambahan itu dibebankan pada konsumen," katanya.

Hal ini perlu sosialisasi terus. Kalau masyarakat makan di restoran, jangan menolak kalau dipungut pajak. Masyarakat hari minta struknya karena dengan struk itu mereka menggunakan alat yang datanya masuk ke pemda. Dengan demikian, pemda bisa melihat pajak 10 persen tersebut.

Ia menyebutkan di Magelang sudah uji coba 10 alat monitoring pajak, kelak akan ditambah 40 alat lagi.

Untuk Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2019 ditargetkan dipasang 1.000 alat monitoring pajak.

"Ke depan kami minta bisa 50 persen dari pengusaha hotel dan restoran itu, apalagi yang omzetnya sudah besar itu sudah bisa dipasang alat monitoring pajak, jadi bisa dilihat omzetnya," katanya.

Pewarta : Heru Suyitno
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024