Semarang (ANTARA) - "Dulu remaja di Dusun Tanon lebih memilih bekerja di luar desa daripada bertahan di daerahnya karena enggan meneruskan profesi orang tuanya sebagai petani dan peternak," kata Wiwik Setyowati, Environment & Social Responsibility Division PT Astra International Tbk.

Wiwik Setyowati, menceritakan awal dirinya datang di Dusun Tanon pada 2015 untuk mendalami potensi daerah yang masuk nominator pengharaan SATU Indonesia Award.

SATU Indonesia Award merupakan wujud apresiasi Astra untuk anak muda, baik individu maupun kelompok yang memiliki program di lima bidang   yakni kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi yang memiliki kontribusi positif bagi masyarakat.                     

"Namun kondisinya sekarang berbeda, dengan konservasi menari yang digerakkan oleh Kang Trisno, anak-anak muda kini ikut mengembangkan desanya. Kami dari Astra telah melakukan pendampingan di Dusun Tanon sejak 2017, dari timeline empat tahun," kata Wiwik.

Gadget No,  Nari Yes

Trisno, penerima penghargaan SATU Indonesia di bidang lingkungan, mampu mengajak anak-anak desa yang biasanya bermain gadget, beralih latihan menari dan menabuh gamelan, baik itu mereka yang duduk di bangku sekolah dasar, sampai remaja, serta mereka yang tergabung dalam karang taruna, semakin kompak berlatih.

"Setidaknya ada enam kelompok seni tari di desa kami. Jika satu kelompok seni tari memiliki tiga jenis tari yang berbeda, maka akan ada 18 jenis tarian," kata Trisno, warga Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah.

Tari, lanjut Trisno, bagi warga desa sudah menjadi warisan budaya yang sifatnya turun-temurun, sehingga dalam satu rumah bisa satu keluarga memiliki kemampuan menari dan menabuh gamelan.

Untuk di Dusun Tanon, biasanya lebih banyak menampilkan Tarian Geculan Bocah (dolanan bocah) yang dibawakan dengan penuh keceriaan, Tari Lembu Tanon (berangkat dari profesi warga sebagai peternak), Tari Kuda Lumping, Tari Topeng Ireng, dan Tari Topeng Ayu.

"Kalau saya hobinya menari. Karena suka, dulu biasanya belajar dari internet. Sekarang enak, ada yang ngajari langsung dari mbak-mbak mahasiswa dan dosen yang pintar menari, mengajari kami," kata Fahril Kukuh Yunianto (16) saat ditemui seusai membawakan Tarian Topeng Ayu bersama teman-temannya pada Festival Telomoyo 2019.

Kukuh, panggilan akrab Fahril Kukuh Yunianto ini mengaku sudah mencintai menari sejak kelas 4 SD dan kecintaannya terhadap tari didapat dari ayahnya yang penabuh gamelan dan ibunya yang penari, begitu juga lima saudara kandungnya yang juga memiliki darah seni.

"Sering latihan. Kalau sebelumnya sering pegang handphone, sekarang seringnya berlatih menari. Apalagi sekarang juga sering banyak undangan untuk tampil ke luar desa. Ini tadi semuanya remaja Dusun Talon," jelas Kukuh saat ditanya soal mengasah kemampuan menarinya yang bisa menguasai sejumlah jenis tarian.

Tidak hanya remaja, Gimin (64) warga Dusun Tanon juga mengaku dirinya dan keluarga besar Dusun Tanon memiliki potensi kesenian seperti dirinya yang mahir menabuh gamelan juga menari, meskipun karena faktor usia dirinya sudah tidak seaktif dulu.

Tidak sekadar "nguri-uri" atau melestarikan budaya, Dusun Tanon pun memberikan space khusus untuk tempat latihan menari dan berlatih gamelan di sebuah teras rumah Trisno yang disulap menjadi sebuah panggung besar. 

Selain untuk latihan, di panggung besar juga menyediakan space khusus untuk para penabuh gamelan, sehingga menjadi tempat yang sempurna untuk menampilkan hasil karya warga Dusun Tanon secara sempurna.

Virus positif bagi daerah sekitar

Potensi menari Dusun Tanon pun terus tersiar ke berbagai penjuru, bahkan mampu menjadi "magnet" bagi anak-anak daerah sekitar untuk ikut belajar menari termasuk Viona Dwi Anandira (10), Shifa Uljian (10), dan Wardah (10).

"Kami dari dusun sebelah, desanya sama Ngrawan. Setiap ada festival di Dusun Tanon kami beramai-rami datang untuk melihat. Kami juga belajar menari, bahkan pernah menjadi juara 1 pada lomba Pesta Siaga Pramuka," kata ketiganya saling melengkapi.

Ketiganya juga kompak mengaku mencintai menari sudah sejak duduk di kelas 3 SD dan karena sering menyaksikan penampilan tarian di Dusun Tanon juga belajar menari di sekolah dan juga di Dusun Tanon.

"Kami bisa menari Tarian Topeng Ayu dan pernah dishooting untuk dimasukkan televisi lho," kata Viona bangga.

Viona, Shifa, dan Wardah merupakan sebagian kecil anak-anak yang menyaksikan penampilan para remaja Dusun Tanon pada Festival Telomoyo. Bahkan mereka telah datang lebih awal sebelum acara dimulai.

Tidak hanya Viona, Shifa, dan Wardah, dalam kesempatan tersebut sejumlah anak-anak perempuan yang masih menggenakan seragam putih biru juga antusias menyaksikan tarian pada Festival Telomoyo.

"Saya dikasih tahu teman satu sekolah kalau ada Festival Telomoyo. Jadi saya dan teman-teman langsung ke sini untuk melihat tarian. Tariannya bagus. Penarinya pintar dan enak dilihat," kata Nita Febriana (13) siswa SMPN 1 Getasan yang datang bersama Alsya Dwi Evantei (14) dan sekitar lima siswa lainnya.

Oase Tanon

Trisno mengaku untuk menjadikan para remaja mau menari dan meninggalkan gadget tentu tidak mudah termasuk untuk meyakinkan para warga setempat dibutuhkan waktu sekitar lima tahun, awalnya warga menolak dan baru berhasil di 2012.

"Dulu saat anak sudah tinggi dan besar badannya, dinilai sudah layak kerja entah itu kuli bangunan atau yang lain dan saya bertekad untuk mengubahnya. Wisata adalah pintu masuk dengan mengedepankan konservasi aktivitas warga sebagai peternak dan petani, dolanan tradisional, tarian, dan pasar rakyat," kata Trisno.

Trisno mengatakan karena wisata bukan tujuan utama, maka Dusun Tanon pun memiliki konsep bukan mengejar banyaknya jumlah wisatawan yang berdatangan meskipun karena telah mampu menjadi magnet hampir setiap tahun jumlah pengunjung di Desa Tanon berkisar 3.000 wisatawan.

"Bukan ramainya yang kami cari, tetapi value dari wisata yakni masyarakat terus tumbuh, berkembang, terbuka, dan masyarakat menjadi lebih berdaya. Tahun 2016, alhamdulillah saya sebagai penerima penghargaan SATU Indonesia yang pertama kali mengelola Kampung Berseri Astra (KBA) pertama di Jateng dan ke-27 secara nasional," kata Trisno.

Trisno optimistis Dusun Tanon akan menjadi oase yang memberikan keselarasan di tengah kepenatan dan hiruk pikuk kehidupan di perkotaan.

"Bagaimana keselarasan dipadukan dengan budaya lokal, spiritual, dan itu dapat ditemukan di Dusun Tanon. Di saat penat, temukan oase di sini, di Dusun Tanon dan rasakan keselarasannya," tutup Trisno yang mengenakan pakaian adat setempat.

Baca juga: New Astra Daihatsu Sigra hadir lebih stylish

Baca juga: Terjual 1,75 juta unit, Festival Avanza-Veloz digelar di 11 kota
 

Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Antarajateng
Copyright © ANTARA 2024