Jakarta (ANTARA) - Psikolog klinis mengatakan crosshijaber yang berasal dari kata crossdressing yakni aksi mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan jenis kelamin bawaan lahir, adalah salah satu jenis perilaku yang menyimpang.
"Perilaku ini kalau dalam istilah medis dikenal dengan sebutan transvestisisme yakni perilaku yang sering kali dianggap sebagai suatu penyimpangan yang merupakan gangguan kejiwaan karena adanya keinginan dari seorang laki-laki atau perempuan yang mengenakan pakaian yang biasa dikenakan oleh jenis kelamin sebaliknya," kata psikolog klinis dari RSUD Wangaya, Denpasar, Bali Nena Mawar Sari saat dihubungi ANTARA di Jakarta pada Senin.
Biasanya, kata Nena, perilaku transvestisisme berawal dari riwayat seseorang merasa tidak nyaman dengan identitas seksual yang dia miliki akibat adanya trauma di masa lalu.
"Bisa jadi dia dulu mengalami pelecehan seksual sehingga dia merasa kalau memakai baju sebaliknya dia akan merasa nyaman," katanya.
Istilah crossdressing tak sama dengan kondisi transgender. Seseorang yang melakukan crossdressing disebut Nena bisa saja memiliki tujuan beragam mulai dari penyamaran untuk melakukan tindakan kriminal, hiburan atau ekspresi diri hingga mendapat kepuasan seksual.
"Transvestisisme orientasi seksualnya sama dengan jenis kelamin yang dia miliki. Kalau transgender orientasi seksual dia berbeda dari jenis kelaminnya dan biasanya benar-benar tak mau kembali ke jenis kelamin yang dulu sampai dia melakukan transformasi misalnya dengan terapo hormon atau operasi kelamin," katanya.
Baca juga: Kyoto sewakan hijab 'wagara' dengan desain khas Negeri Sakura
Jika bertemu dengan orang dengan perilaku transvestisisme, Nena menyarankan agar tidak panik karena bisa saja orang yang mengenakan pakaian layaknya wanita atau pria tersebut memiliki niat jahat yang bisa membahayakan.
"Kita tidak pernah tahu orang itu niatnya apa, apakah gangguan jiwa murni atau kenapa. Kalau bertemu jangan panik. Tenang saja. Segera pergi dari lokasi itu pelan-pelan dan langsung lapor pada yang berwajib. Masalahnya kita tidak pernah tahu apa motif mereka kan. Bisa saja mereka punya niat kriminal, kalau kita panik teriak-teriak dia bisa kalap yang tadinya cuma mau ambil dompet bisa saja membacok atau apa. Atau orang itu adalah ekshibisionis, di mana kalau kita bereaksi dengan perilakunya dia justru akan terpuaskan," kata Nena.
Sementara jika transvestisisme masih di ranah yang tepat misalnya dalam dunia fesyen di mana dikenal dengan jenis fesyen androginus, maka hal tersebut masih bisa diterima, demikian Nena.
Salah satu selebriti internasional yang pernah kedapatan beberapa kali melakukan crossdressing adalah salah satu anggota dari grup vokal One Direction, Harry Styles. Dia pernah mengenakan jumpsuit wanita berwarna hitam yang dihiasi renda serta frills, pada ajang Met Gala 2019. Styles melengkapi penampilannya kala itu, dengan giwang mutiara pada telinga kanannya.
Baca juga: Nurul finalis berhijab pertama raih posisi lima di Miss Universe Selandia Baru
"Perilaku ini kalau dalam istilah medis dikenal dengan sebutan transvestisisme yakni perilaku yang sering kali dianggap sebagai suatu penyimpangan yang merupakan gangguan kejiwaan karena adanya keinginan dari seorang laki-laki atau perempuan yang mengenakan pakaian yang biasa dikenakan oleh jenis kelamin sebaliknya," kata psikolog klinis dari RSUD Wangaya, Denpasar, Bali Nena Mawar Sari saat dihubungi ANTARA di Jakarta pada Senin.
Biasanya, kata Nena, perilaku transvestisisme berawal dari riwayat seseorang merasa tidak nyaman dengan identitas seksual yang dia miliki akibat adanya trauma di masa lalu.
"Bisa jadi dia dulu mengalami pelecehan seksual sehingga dia merasa kalau memakai baju sebaliknya dia akan merasa nyaman," katanya.
Istilah crossdressing tak sama dengan kondisi transgender. Seseorang yang melakukan crossdressing disebut Nena bisa saja memiliki tujuan beragam mulai dari penyamaran untuk melakukan tindakan kriminal, hiburan atau ekspresi diri hingga mendapat kepuasan seksual.
"Transvestisisme orientasi seksualnya sama dengan jenis kelamin yang dia miliki. Kalau transgender orientasi seksual dia berbeda dari jenis kelaminnya dan biasanya benar-benar tak mau kembali ke jenis kelamin yang dulu sampai dia melakukan transformasi misalnya dengan terapo hormon atau operasi kelamin," katanya.
Baca juga: Kyoto sewakan hijab 'wagara' dengan desain khas Negeri Sakura
Jika bertemu dengan orang dengan perilaku transvestisisme, Nena menyarankan agar tidak panik karena bisa saja orang yang mengenakan pakaian layaknya wanita atau pria tersebut memiliki niat jahat yang bisa membahayakan.
"Kita tidak pernah tahu orang itu niatnya apa, apakah gangguan jiwa murni atau kenapa. Kalau bertemu jangan panik. Tenang saja. Segera pergi dari lokasi itu pelan-pelan dan langsung lapor pada yang berwajib. Masalahnya kita tidak pernah tahu apa motif mereka kan. Bisa saja mereka punya niat kriminal, kalau kita panik teriak-teriak dia bisa kalap yang tadinya cuma mau ambil dompet bisa saja membacok atau apa. Atau orang itu adalah ekshibisionis, di mana kalau kita bereaksi dengan perilakunya dia justru akan terpuaskan," kata Nena.
Sementara jika transvestisisme masih di ranah yang tepat misalnya dalam dunia fesyen di mana dikenal dengan jenis fesyen androginus, maka hal tersebut masih bisa diterima, demikian Nena.
Salah satu selebriti internasional yang pernah kedapatan beberapa kali melakukan crossdressing adalah salah satu anggota dari grup vokal One Direction, Harry Styles. Dia pernah mengenakan jumpsuit wanita berwarna hitam yang dihiasi renda serta frills, pada ajang Met Gala 2019. Styles melengkapi penampilannya kala itu, dengan giwang mutiara pada telinga kanannya.
Baca juga: Nurul finalis berhijab pertama raih posisi lima di Miss Universe Selandia Baru