Semarang (ANTARA) - Dua kali gempa yang mengguncang Lombok pada pertengahan 2018 cukup untuk melumpuhkan Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur kala itu.
Banyak warga yang mesti tinggal di pengungsian karena rumah mereka rusak akibat gempa. Belum lagi permasalahan gizi yang kemudian jadi momok.
Puskesmas Sembalun mendapat laporan dari tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) bahwa 2,6 perse balita di pengungsian menderita gizi buruk.
“Jumlah balita kita itu ada 2.130, dengan jumlah yang menderita gizi buruk saat itu sekitar 2,6 persen atau 55 balita, dan gizi kurang itu 258 dengan gagal stunting sekitar 595 anak. Setelah gempa sangat berpengaruh sekali dengan kondisi kesehatan dan gizi dari masyarakat Sembalun itu sendiri,” kata Asrihadi, Kepala Puskesmas Kecamatan Sembalun pada Rabu (18/8) silam.
Dari program tersebut, lanjut Asrihadi, timbul diskusi di antara ACT dan Puskesmas Sembalun. Hasilnya adalah penyelenggaraan program Bengkel Gizi Terpadu (BGT) di Sembalun.
Berbagai tenaga dari puskesmas dilibatkan dalam program tersebut, dari petugas konseling, promotor kesehatan, dokter dan perawat, serta ahli gizi. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan tersebut, menurut Asrihadi, karena permasalahan ini tidak bisa dipandang dari satu aspek saja.
“Gizi itu bukan permasalahan di asupannya saja. Keadaan gizi buruk itu bisa dipengaruhi oleh lingkungannya, makanya kita melibatkan hygiene sanitasi-nya. Bisa juga dipengaruhi oleh penyakit klinis yang memperngaruhi gizinya, makanya kita melibatkan dokter. Yang ketiga bisa karena cara pengolahan makanannya, makanya kami melibatkan ahli gizi juga di sini,” kata Asriadi.
Setelah berjalan pada November lalu, BGT membawa perubahan bagi warga sekitar. Hal tersebut diungkapkan oleh Fitriani Ulfah, salah satu petugas gizi yang selalu ikut membina kegiatan BeGiTu di Sembalun.
“Sekarang setelah adanya kegiatan BGT, per Juni 2019 kemarin, angka penderita gizi buruk menurun menjadi 42 orang. Setelah adanya program ini, alhamdulillah berat badan anak-anak juga makin meningkat,” ujar Ulfah.
Antusias warga cukup positif dengan hadirnya program-program ini, hasil yang digapai juga cukup memuaskan.
Denny Wahyudin selaku Koordinator Program BGT untuk Sembalun, mengatakan hal itu tidak terlepas dari kontribusi proaktif dari berbagai pihak. Sebab, tidak banyak daerah yang menolak ketika akan dibantu untuk kasus malnutrisi ini.
“Mereka takut bahwa kasus ini diketahui oleh dinas kesehatan. Karena bilamana di daerah tersebut masih ada yang berat badan anaknya kurang, ini menjadi aib bagi mereka,” ujar Denny.
Sementara itu Sri Suroto selaku Kepala Wilayah ACT Jawa Tengah (ACT Jateng) juga melakukan program-program kesehatan di Jawa Tengah.
“ACT Jateng dibantu tim medis dari Masyarakat Relawan Indonesia masih dan akan terus melakukan pelayanan kesehatan untuk masyarakat pra sejahtera di 35 kabupaten-kota se Jawa Tengah," katanya.
Seperti halnya Asrihadi dan Ulfah, dan Sri Suroto, program ini bisa berlanjut terus ke depannya. Selain itu, ia berharap program ini bisa menjadi program percontohan bagi puskesmas-puskesmas lainnya yang memiliki permasalahan serupa di berbagai wilayah Indonesia. (KSM)
Banyak warga yang mesti tinggal di pengungsian karena rumah mereka rusak akibat gempa. Belum lagi permasalahan gizi yang kemudian jadi momok.
Puskesmas Sembalun mendapat laporan dari tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) bahwa 2,6 perse balita di pengungsian menderita gizi buruk.
“Jumlah balita kita itu ada 2.130, dengan jumlah yang menderita gizi buruk saat itu sekitar 2,6 persen atau 55 balita, dan gizi kurang itu 258 dengan gagal stunting sekitar 595 anak. Setelah gempa sangat berpengaruh sekali dengan kondisi kesehatan dan gizi dari masyarakat Sembalun itu sendiri,” kata Asrihadi, Kepala Puskesmas Kecamatan Sembalun pada Rabu (18/8) silam.
Dari program tersebut, lanjut Asrihadi, timbul diskusi di antara ACT dan Puskesmas Sembalun. Hasilnya adalah penyelenggaraan program Bengkel Gizi Terpadu (BGT) di Sembalun.
Berbagai tenaga dari puskesmas dilibatkan dalam program tersebut, dari petugas konseling, promotor kesehatan, dokter dan perawat, serta ahli gizi. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan tersebut, menurut Asrihadi, karena permasalahan ini tidak bisa dipandang dari satu aspek saja.
“Gizi itu bukan permasalahan di asupannya saja. Keadaan gizi buruk itu bisa dipengaruhi oleh lingkungannya, makanya kita melibatkan hygiene sanitasi-nya. Bisa juga dipengaruhi oleh penyakit klinis yang memperngaruhi gizinya, makanya kita melibatkan dokter. Yang ketiga bisa karena cara pengolahan makanannya, makanya kami melibatkan ahli gizi juga di sini,” kata Asriadi.
Setelah berjalan pada November lalu, BGT membawa perubahan bagi warga sekitar. Hal tersebut diungkapkan oleh Fitriani Ulfah, salah satu petugas gizi yang selalu ikut membina kegiatan BeGiTu di Sembalun.
“Sekarang setelah adanya kegiatan BGT, per Juni 2019 kemarin, angka penderita gizi buruk menurun menjadi 42 orang. Setelah adanya program ini, alhamdulillah berat badan anak-anak juga makin meningkat,” ujar Ulfah.
Antusias warga cukup positif dengan hadirnya program-program ini, hasil yang digapai juga cukup memuaskan.
Denny Wahyudin selaku Koordinator Program BGT untuk Sembalun, mengatakan hal itu tidak terlepas dari kontribusi proaktif dari berbagai pihak. Sebab, tidak banyak daerah yang menolak ketika akan dibantu untuk kasus malnutrisi ini.
“Mereka takut bahwa kasus ini diketahui oleh dinas kesehatan. Karena bilamana di daerah tersebut masih ada yang berat badan anaknya kurang, ini menjadi aib bagi mereka,” ujar Denny.
Sementara itu Sri Suroto selaku Kepala Wilayah ACT Jawa Tengah (ACT Jateng) juga melakukan program-program kesehatan di Jawa Tengah.
“ACT Jateng dibantu tim medis dari Masyarakat Relawan Indonesia masih dan akan terus melakukan pelayanan kesehatan untuk masyarakat pra sejahtera di 35 kabupaten-kota se Jawa Tengah," katanya.
Seperti halnya Asrihadi dan Ulfah, dan Sri Suroto, program ini bisa berlanjut terus ke depannya. Selain itu, ia berharap program ini bisa menjadi program percontohan bagi puskesmas-puskesmas lainnya yang memiliki permasalahan serupa di berbagai wilayah Indonesia. (KSM)