Solo (ANTARA) - Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, FX Hadi Rudyatmo menyatakan iuran BPJS Kesehatan sebaiknya tidak dinaikkan karena berpotensi meningkatkan angka kemiskinan.
"Kenaikan ini bisa menambah angka kemiskinan di Indonesia," katanya di Solo, Rabu.
Ia memperkirakan, khususnya untuk peserta BPJS Kesehatan mandiri, akan kesulitan membayar iuran. Bahkan, tidak menutup kemungkinan sebagian peserta akan turun kelas.
"Itu nanti yang peserta mandiri makin tidak bisa bayar, bahkan nanti masyarakat rentan miskin bisa jatuh miskin, kemiskinan makin meningkat," katanya.
Kemungkinan terburuk, kata dia, anggota BPJS Kesehatan akan berhenti dari kepesertaan. Dengan begitu, capaian "universal health coverage" atau cakupan kesehatan semesta pun makin jauh dari 100 persen.
Sedangkan jika para peserta yang akhirnya berhenti dari kepesertaan tersebut dimasukkan dalam penerima bantuan iuran (PBI), katanya, akan memberatkan pemerintah daerah.
Baca juga: Wali Kota jamin keamanan warga Papua di Solo
Sementara itu, ia menilai jika angka kemiskinan bertambah maka kewajiban pemerintah juga akan makin berat.
"Karena dengan begitu pemerintah harus menyediakan berbagai jenis bantuan sosial," katanya.
Ia memberi contoh seperti misalnya pemerintah harus menyiapkan lebih banyak kuota penyaluran untuk Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Bantuan Pangan Nontunai (BNPT).
"Penyaluran ini akan lebih besar lagi. Jadi mestinya dihitung dulu," kata FX Hadi Rudyatmo.
Sebelumnya, BPJS Kesehatan menyetujui rencana kenaikan iuran yang diajukan oleh Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJKN). Sesuai wacana, kenaikan berkisar antara Rp16.000-40.000.
Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan dapat melakukan kinerja dengan optimal mengingat BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp29 triliun dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Baca juga: Wali Kota Solo: Anggap mobil Esemka bohong-bohongan itu salah
"Kenaikan ini bisa menambah angka kemiskinan di Indonesia," katanya di Solo, Rabu.
Ia memperkirakan, khususnya untuk peserta BPJS Kesehatan mandiri, akan kesulitan membayar iuran. Bahkan, tidak menutup kemungkinan sebagian peserta akan turun kelas.
"Itu nanti yang peserta mandiri makin tidak bisa bayar, bahkan nanti masyarakat rentan miskin bisa jatuh miskin, kemiskinan makin meningkat," katanya.
Kemungkinan terburuk, kata dia, anggota BPJS Kesehatan akan berhenti dari kepesertaan. Dengan begitu, capaian "universal health coverage" atau cakupan kesehatan semesta pun makin jauh dari 100 persen.
Sedangkan jika para peserta yang akhirnya berhenti dari kepesertaan tersebut dimasukkan dalam penerima bantuan iuran (PBI), katanya, akan memberatkan pemerintah daerah.
Baca juga: Wali Kota jamin keamanan warga Papua di Solo
Sementara itu, ia menilai jika angka kemiskinan bertambah maka kewajiban pemerintah juga akan makin berat.
"Karena dengan begitu pemerintah harus menyediakan berbagai jenis bantuan sosial," katanya.
Ia memberi contoh seperti misalnya pemerintah harus menyiapkan lebih banyak kuota penyaluran untuk Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Bantuan Pangan Nontunai (BNPT).
"Penyaluran ini akan lebih besar lagi. Jadi mestinya dihitung dulu," kata FX Hadi Rudyatmo.
Sebelumnya, BPJS Kesehatan menyetujui rencana kenaikan iuran yang diajukan oleh Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJKN). Sesuai wacana, kenaikan berkisar antara Rp16.000-40.000.
Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan dapat melakukan kinerja dengan optimal mengingat BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp29 triliun dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Baca juga: Wali Kota Solo: Anggap mobil Esemka bohong-bohongan itu salah