Semarang (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah mencatat adanya enam indikator kinerja Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) provinsi ini pada 2018 masuk dalam kategori buruk.
"Masih ada enam indikator kinerja berkategori buruk dengan nilai masih di bawah 60 poin," kata Kepala BPS Jawa Tengah Sentot Bangun Widoyono di Semarang, Senin.
Keenam indikator tersebut masing-masing ancaman kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat.
Selain itu, tindakan pejabat pemerintahan yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat menjalani ajaran agamanya.
Baca juga: BPS: Indeks demokrasi Jateng di bawah rata-rata nasional
"Pada tahun 2018, ada contoh kasus surat edaran pemda, misalnya larangan membuka tempat usaha makan selama Ramadan," katanya.
Selan itu, lanjut dia, indikator tentang ancaman kekerasan oleh masyarakat karena alasan gender, etnis, atau kelompok.
Ada pula, indikator tentang demonstrasi yang bersifat kekerasan.
Ia juga mengungkapkan banyaknya kebijakan pemerintah daerah yang dinyatakan salah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
"Penghentian penyidikan yang kontroversial oleh polisi atau jaksa juga masuk dalam indikator kinerja buruk," katanya.
Menurut dia, pembangunan demokrasi memerlukan data empirik untuk dapat dijadikan landasan pengambilan kebijakan serta perumusan strategi yang spesifik dan akurat.
Baca juga: Indeks Demokrasi Indonesia 2018 naik tipis
Baca juga: Selama 6 bulan, warga miskin di Jateng berkurang 124,2 ribu orang
"Masih ada enam indikator kinerja berkategori buruk dengan nilai masih di bawah 60 poin," kata Kepala BPS Jawa Tengah Sentot Bangun Widoyono di Semarang, Senin.
Keenam indikator tersebut masing-masing ancaman kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat.
Selain itu, tindakan pejabat pemerintahan yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat menjalani ajaran agamanya.
Baca juga: BPS: Indeks demokrasi Jateng di bawah rata-rata nasional
"Pada tahun 2018, ada contoh kasus surat edaran pemda, misalnya larangan membuka tempat usaha makan selama Ramadan," katanya.
Selan itu, lanjut dia, indikator tentang ancaman kekerasan oleh masyarakat karena alasan gender, etnis, atau kelompok.
Ada pula, indikator tentang demonstrasi yang bersifat kekerasan.
Ia juga mengungkapkan banyaknya kebijakan pemerintah daerah yang dinyatakan salah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
"Penghentian penyidikan yang kontroversial oleh polisi atau jaksa juga masuk dalam indikator kinerja buruk," katanya.
Menurut dia, pembangunan demokrasi memerlukan data empirik untuk dapat dijadikan landasan pengambilan kebijakan serta perumusan strategi yang spesifik dan akurat.
Baca juga: Indeks Demokrasi Indonesia 2018 naik tipis
Baca juga: Selama 6 bulan, warga miskin di Jateng berkurang 124,2 ribu orang