Magelang (ANTARA) - Buku tentang aktivitas seni budaya Komunitas Lima Gunung berjudul "Sumpah Tanah", karya pengajar ISI Surakarta Doktor Joko Aswoyo, diluncurkan sebagai pra-Festival Lima Gunung XVIII/2019, Selasa sore.
"Buku ini khusus dipersembahkan kepada teman-teman Lima Gunung, petani seniman telah menjaga marwah terhadap kesenian dengan cara gembira selama 20-an tahun terakhir," kata Joko Aswoyo di Magelang, Selasa.
Joko Aswoyo, pengajar Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta meluncurkan buku yang proses penyusunannya selama beberapa tahun terakhir bersama waktunya dengan menempuh program doktoral di ISI Surakarta itu, berlangsung di pusat aktivitas Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) di Studio Mendut Kabupaten Magelang.
Festival Lima Gunung, agenda tahunan secara mandiri komunitas itu yang dibangun budayawan Sutanto Mendut. Tahun ini, Festival Lima Gunung berlangsung di kawasan Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang selama 5-7 Juli mendatang dengan sekitar 77 agenda, antara lain pementasan seni tari, musik, performa, pameran seni rupa, kirab budaya, dan pidato kebudayaan. Tema festival tahun ini, "Gunung Lumbung Budaya".
Baca juga: Warga lereng Merapi siap gelar Festival Lima Gunung 2019
Buku "Sumpah Tanah" setebal 267 halaman dengan delapan bagian isi yang dilengkapi daftar pustaka dan berbagai foto aktivitas Komunitas Lima Gunung dokumentasi Ari Kusuma, Anis Efizudin, Amat Sukandar, Daniel S.W.. dan Feri Ari Fianto. Desain dan tata letak oleh Taufik Murtono dan Titisan Pulung Manunggal, sedangkan halaman sampul berupa foto penari Jingkrak Sundang (karya Sujono).
Hadir pada peluncuran buku itu, antara lain Ketua Umum Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Suwarsono Muhammad, pengajar Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta Joko Gombloh, budayawan yang juga pimpinan tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, editor Buku "Sumpah Tanah" Albertus Rusputranto P.A., dan para petinggi Komunitas Lima Gunung.
Joko Aswoyo mengemukakan keterlibatan dalam berbagai aktivitas Komunitas Lima Gunung sejak 2010 hingga saat ini, termasuk ketika para petinggi komunitas itu melakukan tanda tangan di atas tanah di Studio Mendut yang kemudian dinamai "Sumpah Tanah". "Sumpah Tanah" bertepatan dengan Festival Lima Gunung IX/2010 itu menjadi simbol komitmen komunitas untuk menyelenggarakan festival tanpa bantuan sponsor.
"Ternyata yang teman-teman (Komunitas Lima Gunung, red.) angkat adalah persoalan tanah, pentingnya tanah bagi teman-teman Lima Gunung. Sejak 2010 saya pegang (Sumpah Tanah, red.) untuk jadi judul, kami eksplorasi dalam buku. Ini masih bisa diperdalam," ujar dia.
Ia mengaku melakukan pengamatan, berbincang-bincang dengan para pegiat komunitas, dan studi literatur dalam proses penyusunan buku tersebut.
"Ini cerita sahabat kepada sahabatnya," kata Joko yang pernah membentuk grup "Sahabat Lima Gunung" dengan kalangan mahasiswa ISI Surakarta sebagai anggotanya.
Editor "Sumpah Tanah" Albertus Rusputranto menilai buku tersebut sebagai mukadimah penelitian Joko Aswoyo karena masih banyak hal bisa dikuak lebih banyak dan mendalam atas komunitas yang berbasis seniman petani tersebut.
Ia mengatakan buku tersebut berupa kisah seorang sahabat tentang sahabat-sahabatnya yang menginspirasi manusia pada masa mendatang.
"Sehingga penuh kisah, tidak hoaks. Semangat komunalitas seperti komunitas ini membuat Indonesia lebih hangat karena ada persaudaraan," ujar dia.
Pengajar Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta Joko Gombloh menilai Joko Aswoyo menangkap momentum "Sumpah Tanah" menjadi judul bukunya, di mana sebenarnya semangat dan energi itu sudah ada dalam tubuh masyarakat di kawasan lima gunung di Kabupaten Magelang itu.
"Ini sudah dirawat dari dulu, 'Sumpah Tanah' dideklarasikan menjadi komitmen, jadi rambu yang mengontrol. Momen ini ditangkap Pak Joko," katanya.
"Buku ini khusus dipersembahkan kepada teman-teman Lima Gunung, petani seniman telah menjaga marwah terhadap kesenian dengan cara gembira selama 20-an tahun terakhir," kata Joko Aswoyo di Magelang, Selasa.
Joko Aswoyo, pengajar Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta meluncurkan buku yang proses penyusunannya selama beberapa tahun terakhir bersama waktunya dengan menempuh program doktoral di ISI Surakarta itu, berlangsung di pusat aktivitas Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) di Studio Mendut Kabupaten Magelang.
Festival Lima Gunung, agenda tahunan secara mandiri komunitas itu yang dibangun budayawan Sutanto Mendut. Tahun ini, Festival Lima Gunung berlangsung di kawasan Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang selama 5-7 Juli mendatang dengan sekitar 77 agenda, antara lain pementasan seni tari, musik, performa, pameran seni rupa, kirab budaya, dan pidato kebudayaan. Tema festival tahun ini, "Gunung Lumbung Budaya".
Baca juga: Warga lereng Merapi siap gelar Festival Lima Gunung 2019
Buku "Sumpah Tanah" setebal 267 halaman dengan delapan bagian isi yang dilengkapi daftar pustaka dan berbagai foto aktivitas Komunitas Lima Gunung dokumentasi Ari Kusuma, Anis Efizudin, Amat Sukandar, Daniel S.W.. dan Feri Ari Fianto. Desain dan tata letak oleh Taufik Murtono dan Titisan Pulung Manunggal, sedangkan halaman sampul berupa foto penari Jingkrak Sundang (karya Sujono).
Hadir pada peluncuran buku itu, antara lain Ketua Umum Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Suwarsono Muhammad, pengajar Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta Joko Gombloh, budayawan yang juga pimpinan tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, editor Buku "Sumpah Tanah" Albertus Rusputranto P.A., dan para petinggi Komunitas Lima Gunung.
Joko Aswoyo mengemukakan keterlibatan dalam berbagai aktivitas Komunitas Lima Gunung sejak 2010 hingga saat ini, termasuk ketika para petinggi komunitas itu melakukan tanda tangan di atas tanah di Studio Mendut yang kemudian dinamai "Sumpah Tanah". "Sumpah Tanah" bertepatan dengan Festival Lima Gunung IX/2010 itu menjadi simbol komitmen komunitas untuk menyelenggarakan festival tanpa bantuan sponsor.
"Ternyata yang teman-teman (Komunitas Lima Gunung, red.) angkat adalah persoalan tanah, pentingnya tanah bagi teman-teman Lima Gunung. Sejak 2010 saya pegang (Sumpah Tanah, red.) untuk jadi judul, kami eksplorasi dalam buku. Ini masih bisa diperdalam," ujar dia.
Ia mengaku melakukan pengamatan, berbincang-bincang dengan para pegiat komunitas, dan studi literatur dalam proses penyusunan buku tersebut.
"Ini cerita sahabat kepada sahabatnya," kata Joko yang pernah membentuk grup "Sahabat Lima Gunung" dengan kalangan mahasiswa ISI Surakarta sebagai anggotanya.
Editor "Sumpah Tanah" Albertus Rusputranto menilai buku tersebut sebagai mukadimah penelitian Joko Aswoyo karena masih banyak hal bisa dikuak lebih banyak dan mendalam atas komunitas yang berbasis seniman petani tersebut.
Ia mengatakan buku tersebut berupa kisah seorang sahabat tentang sahabat-sahabatnya yang menginspirasi manusia pada masa mendatang.
"Sehingga penuh kisah, tidak hoaks. Semangat komunalitas seperti komunitas ini membuat Indonesia lebih hangat karena ada persaudaraan," ujar dia.
Pengajar Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta Joko Gombloh menilai Joko Aswoyo menangkap momentum "Sumpah Tanah" menjadi judul bukunya, di mana sebenarnya semangat dan energi itu sudah ada dalam tubuh masyarakat di kawasan lima gunung di Kabupaten Magelang itu.
"Ini sudah dirawat dari dulu, 'Sumpah Tanah' dideklarasikan menjadi komitmen, jadi rambu yang mengontrol. Momen ini ditangkap Pak Joko," katanya.