Jakarta (ANTARA) - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pemerintah belum optimal memanfaatkan perang dagang Amerika Serikat dan China menjadi keuntungan bagi perekonomian Indonesia.
Menurut Bhima, Indonesia tertinggal jika dibandingkan Vietnam yang dinilai mampu meraup keuntungan dari perang dagang yang terjadi Amerika dan China.
"Keunggulan komparatif Vietnam dibandingkan Indonesia itu bukan dari upah buruh yang lebih murah tapi justru dari insentif yang diberikan yang saling berjarak antara pemerintah pusat dan daerah itu yang tidak terjadi di Indonesia," ujarnya dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa.
Bhima menjelaskan dampak dari perang dagang membuat investor dari China atau Amerika akan mencari negara lain untuk kegiatan produksi dan Vietnam menjadi salah satu negara tujuan utama karena kemudahan dan jaminan yang diberikan untuk para investor.
"Di sini banyak kepala daerah yang antipati terhadap investor yang datang karena sudah puas bagi hasil dengan Pemerintah Pusat," katanya.
Baca juga: Rupiah agak melemah di tengah perang dagang AS-China
Menurut Bhima, Indonesia bisa memanfaatkan peluang perang dagang Amerika dan China dengan mendorong volume ekspor terutama dari sektor pertanian.
Dia mencontohkan saat ini terjadi penurunan signifikan permintaan kedelai dari Amerika sebagai produsen nomor satu di dunia ke China karena tarif impor yang terlalu tinggi akibat perang dagang kedua negara.
"Pertanyaannya dari mana kebutuhan itu ditutupi dengan jumlah penduduk China yang miliaran orang dan membutuhkan makanan olahan. Peluang ini sayangnya tidak dibaca Indonesia, tapi oleh Malaysia yang telah melakukan barter dengan minyak sawit yang akhirnya bisa menolong harga sawit di level petani Malaysia," ujarnya.
Bhima juga menyinggung mengenai agresivitas pemerintah dalam melakukan negosiasi Free Trade Agreement (FTA) dengan beberapa negara untuk menaikkan nilai ekspor yang dianggap tidak cukup untuk memperbaiki kondisi neraca perdagangan.
"Logikanya tidak nyambung karena tidak punya kerja sama yang jelas dan dipaksakan melakukan FTA yang pada akhirnya merugikan Indonesia," imbuhnya.
Bhima juga mengusulkan agar anggaran untuk Kementerian Perdagangan pada 2020 bisa meningkat karena dibutuhkan untuk melakukan lobi-lobi perdagangan internasional dan proteksi perdagangan Indonesia.
Baca juga: IMF: Tarif pemerintah Trump rusak sistem perdagangan global
Menurut Bhima, Indonesia tertinggal jika dibandingkan Vietnam yang dinilai mampu meraup keuntungan dari perang dagang yang terjadi Amerika dan China.
"Keunggulan komparatif Vietnam dibandingkan Indonesia itu bukan dari upah buruh yang lebih murah tapi justru dari insentif yang diberikan yang saling berjarak antara pemerintah pusat dan daerah itu yang tidak terjadi di Indonesia," ujarnya dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa.
Bhima menjelaskan dampak dari perang dagang membuat investor dari China atau Amerika akan mencari negara lain untuk kegiatan produksi dan Vietnam menjadi salah satu negara tujuan utama karena kemudahan dan jaminan yang diberikan untuk para investor.
"Di sini banyak kepala daerah yang antipati terhadap investor yang datang karena sudah puas bagi hasil dengan Pemerintah Pusat," katanya.
Baca juga: Rupiah agak melemah di tengah perang dagang AS-China
Menurut Bhima, Indonesia bisa memanfaatkan peluang perang dagang Amerika dan China dengan mendorong volume ekspor terutama dari sektor pertanian.
Dia mencontohkan saat ini terjadi penurunan signifikan permintaan kedelai dari Amerika sebagai produsen nomor satu di dunia ke China karena tarif impor yang terlalu tinggi akibat perang dagang kedua negara.
"Pertanyaannya dari mana kebutuhan itu ditutupi dengan jumlah penduduk China yang miliaran orang dan membutuhkan makanan olahan. Peluang ini sayangnya tidak dibaca Indonesia, tapi oleh Malaysia yang telah melakukan barter dengan minyak sawit yang akhirnya bisa menolong harga sawit di level petani Malaysia," ujarnya.
Bhima juga menyinggung mengenai agresivitas pemerintah dalam melakukan negosiasi Free Trade Agreement (FTA) dengan beberapa negara untuk menaikkan nilai ekspor yang dianggap tidak cukup untuk memperbaiki kondisi neraca perdagangan.
"Logikanya tidak nyambung karena tidak punya kerja sama yang jelas dan dipaksakan melakukan FTA yang pada akhirnya merugikan Indonesia," imbuhnya.
Bhima juga mengusulkan agar anggaran untuk Kementerian Perdagangan pada 2020 bisa meningkat karena dibutuhkan untuk melakukan lobi-lobi perdagangan internasional dan proteksi perdagangan Indonesia.
Baca juga: IMF: Tarif pemerintah Trump rusak sistem perdagangan global