Semarang (ANTARA) - Mantan Direktur Utama PD BKK Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Suharno, menilai jaksa tidak menggunakan lembaga yang berwenang dalam melakukan perhitungan kerugian negara dalam dugaan korupsi di badan usaha milik daerah tersebut.
Hal tersebut disampaikan Suharno melalui penasihat hukumnya, Dwi Supriyono, dalam sidang dengan agenda pembacaan pembelaan atas tuntutan jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin.
Menurut dia, dasar perhitungan kerugian negara sebesar Rp114 miliar yang diajukan jaksa hanya didasarkan atas audit akuntun publik.
"Dalam audit oleh akuntan publik tersebut, data yang diperoleh berasal dari jaksa," katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Antonius Widjantono itu.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, kata dia, audit kerugian negara haruslah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Penentuan kerugian negara oleh lembaga yang tidak berwenang secara hukum tersebut, kata dia, maka hasilnya tidak bisa digunakan untuk menjerat kliennya dalam perkara ini.
Selain itu, lanjut dia, uang pengganti kerugian negara yang dituntut agar dikembalikan oleh terdakwa juga mengada-ada karena uang tersebut tidak pernah dinikmatinya.
"Uang pengganti kerugian negara besarannya sama dengan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, bukan semata-mata sejumlah dengan kerugian negara yang diakibatkan," katanya.
Fakta lain yang terungkap dalam sidang, kata dia, kondisi yang terjadi terhadap BKK Pringsurat merupakan dampak dari merger dengan BKK Tretep.
Ia menjelaskan BKK Tretep dalam kondisi tidak sehat saat merger dengan BKK Pringsurat.
Ditambah lagi, kata dia, banyak penyalahgunaan keuangan yang dilakukan oleh karyawan BUMD tersebut.
Menurut dia, kondisi tersebut tidak selayaknya menjadi tanggung jawab terdakwa sepenuhnya.
Sebelumnya, mantan Direktur Utama PD BKK Pringsurat, Suharno, bersama Direktur PD BKK Pringsurat, Riyanto, masing-masing dituntut hukuman 16,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi di badan usaha milik daerah tersebut.
Kedua terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara totalnya mencapai Rp69,1 miliar.
Hal tersebut disampaikan Suharno melalui penasihat hukumnya, Dwi Supriyono, dalam sidang dengan agenda pembacaan pembelaan atas tuntutan jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin.
Menurut dia, dasar perhitungan kerugian negara sebesar Rp114 miliar yang diajukan jaksa hanya didasarkan atas audit akuntun publik.
"Dalam audit oleh akuntan publik tersebut, data yang diperoleh berasal dari jaksa," katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Antonius Widjantono itu.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, kata dia, audit kerugian negara haruslah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Penentuan kerugian negara oleh lembaga yang tidak berwenang secara hukum tersebut, kata dia, maka hasilnya tidak bisa digunakan untuk menjerat kliennya dalam perkara ini.
Selain itu, lanjut dia, uang pengganti kerugian negara yang dituntut agar dikembalikan oleh terdakwa juga mengada-ada karena uang tersebut tidak pernah dinikmatinya.
"Uang pengganti kerugian negara besarannya sama dengan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, bukan semata-mata sejumlah dengan kerugian negara yang diakibatkan," katanya.
Fakta lain yang terungkap dalam sidang, kata dia, kondisi yang terjadi terhadap BKK Pringsurat merupakan dampak dari merger dengan BKK Tretep.
Ia menjelaskan BKK Tretep dalam kondisi tidak sehat saat merger dengan BKK Pringsurat.
Ditambah lagi, kata dia, banyak penyalahgunaan keuangan yang dilakukan oleh karyawan BUMD tersebut.
Menurut dia, kondisi tersebut tidak selayaknya menjadi tanggung jawab terdakwa sepenuhnya.
Sebelumnya, mantan Direktur Utama PD BKK Pringsurat, Suharno, bersama Direktur PD BKK Pringsurat, Riyanto, masing-masing dituntut hukuman 16,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi di badan usaha milik daerah tersebut.
Kedua terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara totalnya mencapai Rp69,1 miliar.