Purwokerto (ANTARA) - Perhatian masyarakat terhadap kasus perundungan atau "bully" kembali mengemuka lewat tagar "JusticeForAudrey". Kasus tersebut menjadi perhatian nasional karena menyebar luas di dunia maya atau viral.
Berbagai narasi pun bermunculan, dengan isi yang hampir selaras yakni menyayangkan terjadinya kasus perundungan tersebut.
Fenomena tersebut tentu saja menjadi catatan dan pekerjaan rumah yang besar bagi banyak kalangan, khususnya mengenai bagaimana upaya untuk mencegah agar kasus serupa tidak terjadi lagi pada kemudian hari.
Psikolog dari Metafora Consulting-Therapy-Training-Education, Ketti Murtini, mengatakan saat ini generasi milenial rentan dengan kasus perundungan. Pasalnya, mereka hidup, tumbuh, dan berkembang pada zaman yang serba ada dan serba mudah.
"Mau makan tinggal ambil 'gadget', tinggal menyentuh layar 'gadget' lalu makanan favorit sudah ada di depan mata. Mau cari teman juga begitu, tidak ada yang sulit bagi generasi milenial," katanya.
Hal itu, kata dia, perlu menjadi catatan karena seharusnya, secara psikologis, hambatan dalam hidup itu diperlukan agar individu belajar menyelesaikan problemnya dengan manis.
Oleh karena banyaknya kemudahan itu, menurut dia, generasi milenial akhirnya selalu mengambil jalan mudah untuk menyelesaikan masalahnya, tanpa banyak pertimbangan lagi.
"Contohnya, mereka akhirnya berpikir yang penting aku puas, masalahku beres," katanya.
Dengan demikian, hal yang perlu menjadi catatan bagi keluarga dan masyarakat sekarang, bagaimana mendampingi generasi ini agar bisa menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan aturan, serta mencapai tujuan dengan tuntas, tanpa merugikan siapa pun.
Dia juga menilai generasi milenial lebih menyukai contoh nyata dibandingkan dengan nasihat satu arah.
"Diskusi lebih mengena dibanding perintah. Jika belum berhasil harus kreatif, cari langkah lain dan jangan frustasi. Kemarahan orang tua sering kali merupakan ekspresi dari rasa frustasi," katanya.
Untuk itu, orang tua dan masyarakat perlu menjadi contoh dan memberi panutan bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan secara instan melainkan membutuhkan suatu proses.
Dengan demikian, kata dia, fenomena perundungan dapat dicegah atau bahkan dihentikan dengan berbagai aksi nyata yang akhirnya dapat dicontoh oleh generasi muda.
Dia menyebutkan, perbuatan yang bisa dijadikan contoh oleh generasi milenial adalah memperlakukan siapa pun dengan penuh kasih sayang.
Sangat penting untuk memberi contoh penyelesaian masalah dengan musyawarah dan bukan dengan otoritas atau perintah, bahkan dengan kekerasan.
Apabila di kemudian hari muncul bibit kekerasan, maka perlu sesegera mungkin diatasi dengan kasih sayang dan contoh nyata.
Misalkan, jika anak pulang dari sekolah lalu mengadukan kenakalan temannya maka orang tua harus menyikapi dengan bijaksana.
Orang tua harus menahan emosi diri meskipun merasa marah karena tahu anaknya diperlakukan tidak baik oleh teman di sekolahnya. Sebaiknya orang tua menelusuri terlebih dahulu segala penyebabnya, jangan lantas mengajak anak untuk membalas dendam.
Contoh lain, kata dia, orang tua harus berupaya untuk tidak pernah bertengkar di hadapan anak-anak mereka.
"Jika orang tua sedang bertengkar maka jangan sampai di depan anak-anak, latihan kesabaran sangat penting di sini, sabar bukan berarti kalah atau lemah. Sabar justru berbuah kebaikan," katanya.
Meskipun peran orang tua begitu besar, seluruh pihak terkait juga harus ikut berperan aktif dalam mencegah perundungan mengingat dampak psikologis yang sangat besar.
Menurut dia, dampak bagi korban perundungan bisa menjadi fatal dan korban bisa sangat memerlukan pendampingan untuk memulihkan semangat dan energi positifnya.
Namun, perlu juga diingat bahwa pelaku perundungan membutuhkan pendampingan agar tidak mengulang kembali kesalahan yang telah diperbuatnya pada kemudian hari. Pendampingan untuk korban maupun pelaku, tetap harus melibatkan orang tua.
Dalam kajian psikologi, orang tua menjadi contoh pertama bagi anak. Orang tua juga harus belajar ekstra mendampingi anak mereka.
Pendidikan Karakter
Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman Wisnu Widjanarko mengingatkan pentingnya pendidikan karakter pada generasi muda khususnya, untuk mencegah terjadinya kasus perundungan.
Wisnu Widjanarko juga dosen komunikasi keluarga FISIP Universitas Jenderal Soedirman tersebut, mengatakan pendidikan karakter adalah penguatan budi pekerti dan nilai-nilai moral yang menyertai proses pembelajaran, sehingga anak tidak saja cerdas secara intelektual melainkan juga memiliki kepekaan emosional dan sosial.
Untuk itu, keluarga memegang peranan penting bagi pendidikan karakter seorang anak. Keluarga menjadi penentu utama, karena nilai-nilai kehidupan, budi pekerti, dan moralitas untuk kali pertama dipelajari seseorang adalah di keluarga.
Kendati demikian, menanamkan pendidikan karakter sejak dini bukan hanya menjadi tugas orang tua melainkan juga tugas para pengajar di sekolah atau di kampus, tugas masyarakat, dan pemerintah.
Artinya, seluruh pihak tersebut harus mengampanyekan dan terlibat bahwa cerdas dan berkarakter seperti dua sisi mata uang, satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pencapaian prestasi anak.
Orang tua, kata dia, harus mengajarkan nilai-nilai budi pekerti dalam keseharian, melalui bentuk-bentuk yang sederhana, sehingga anak terbiasa dan memiliki panduan moral ketika nanti berinteraksi di lingkungan dan masyarakat.
Di sekolah, para guru mengedukasi siswa dalam model-model pembelajaran yang memberikan contoh pentingnya karakter.
"Selain itu, masyarakat juga perlu berperan aktif menjadi ruang bersama untuk saling mengingatkan pentingnya karakter sebagai instrumen berkehidupan," katanya.
Pemerintah perlu membuat regulasi dan dukungan untuk membudayakan nilai-nilai karakter di masyarakat.
Pendidikan kaakter menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak agar berperan aktif untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan membudayakan akan pentingnya karakter sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pendidikan.
Dengan berbagai upaya tersebut, diharapkan kasus perundungan bisa dicegah dan upaya perlindungan anak bisa berjalan secara optimal.