Semarang (ANTARA) - Semarang (ANTARA) - Direktur Utama PD BKK Pringsurat, Kabupaten Temanggung, dan sejumlah pimpinan cabang lembaga keuangan tersebut menyebut tidak ada uang dalam fisik yang keluar dari kredit fiktif dan restrukturisasi kredit yang masuk dalam kerugian dari tindak pidana korupsi yang terjadi di BUMD itu.
Hal tersebut terungkap dalam sidang kasus dugaan korupsi dana milik PD BKK Pringsurat di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin, dengan terdakwa mantan Direktur Utama Suharno dan Direktur Riyanto.
Direktur Utama PD BKK Pringsurat Supriyadi mengatakan total kredit macet di lembaga keuangan ini hingga Desember 2017 tercatat mencapai Rp42 miliar.
Menurut dia, kredit macet ini bermasalah karena tidak dapat dilakukan penagihan serta jaminan yang diagunkan tidak bisa dilelang.
"Saat itu NPL mencapai 95 persen," katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Antonius Wijantono itu.
Ia mengatakan dari laporan keuangan diketahui dua direksi yang lama itu diketahui membuat kebijakan merestrukturisasi kredit macet serta membuat kredit fiktif untuk menekan HPL sekaligus meningkatkan pendapatan dalam laporan keuangan.
Ia menjelaskan restrukturisasi kredit dilakukan untuk menutup kredit macet dengan kredit baru, namun tanpa sepengetahuan nasabah.
"BKK yang membayar kredit macet nasabah agar NPL turun," katanya.
Menurut dia, pada laporan keuangan BKK memang dicatatkan sebagai pengeluaran.
"Tetapi secara fisik tidak ada uang keluar," tambahnya.
Hal serupa untuk menaikkan kinerja keuangan BKK, kata dia, juga dilakukan dengan membuat kredit fiktif.
Pada kredit fiktif tersebut, lanjut dia, pada laporan keuangan tercatat uang keluar, namun duit secara riil tidak pernah ada yang keluar.
Keterangan serupa juga disampaikan Pimpinan Pusat Operasional BKK Pringsurat Wahyu Hardianti.
Menurut dia, kebijakan melakukan restrukturisasi kredit merupakan instruksi kedua terdakwa sebagai pimpinan di BKK.
"Total kredit macet di cabang ini Rp27,4 miliar, perusahaan keluar uang untuk menutup kredit bermasalah itu," katanya.
Namun, Wahyu juga menyebut tidak ada uang dalam bentuk fisik yang keluar dari BKK.
Hal tersebut terungkap dalam sidang kasus dugaan korupsi dana milik PD BKK Pringsurat di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin, dengan terdakwa mantan Direktur Utama Suharno dan Direktur Riyanto.
Direktur Utama PD BKK Pringsurat Supriyadi mengatakan total kredit macet di lembaga keuangan ini hingga Desember 2017 tercatat mencapai Rp42 miliar.
Menurut dia, kredit macet ini bermasalah karena tidak dapat dilakukan penagihan serta jaminan yang diagunkan tidak bisa dilelang.
"Saat itu NPL mencapai 95 persen," katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Antonius Wijantono itu.
Ia mengatakan dari laporan keuangan diketahui dua direksi yang lama itu diketahui membuat kebijakan merestrukturisasi kredit macet serta membuat kredit fiktif untuk menekan HPL sekaligus meningkatkan pendapatan dalam laporan keuangan.
Ia menjelaskan restrukturisasi kredit dilakukan untuk menutup kredit macet dengan kredit baru, namun tanpa sepengetahuan nasabah.
"BKK yang membayar kredit macet nasabah agar NPL turun," katanya.
Menurut dia, pada laporan keuangan BKK memang dicatatkan sebagai pengeluaran.
"Tetapi secara fisik tidak ada uang keluar," tambahnya.
Hal serupa untuk menaikkan kinerja keuangan BKK, kata dia, juga dilakukan dengan membuat kredit fiktif.
Pada kredit fiktif tersebut, lanjut dia, pada laporan keuangan tercatat uang keluar, namun duit secara riil tidak pernah ada yang keluar.
Keterangan serupa juga disampaikan Pimpinan Pusat Operasional BKK Pringsurat Wahyu Hardianti.
Menurut dia, kebijakan melakukan restrukturisasi kredit merupakan instruksi kedua terdakwa sebagai pimpinan di BKK.
"Total kredit macet di cabang ini Rp27,4 miliar, perusahaan keluar uang untuk menutup kredit bermasalah itu," katanya.
Namun, Wahyu juga menyebut tidak ada uang dalam bentuk fisik yang keluar dari BKK.