Purwokerto (ANTARA) - Penanganan persoalan kekerasan terhadap perempuan merupakan tanggung jawab bersama, kata Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT PKBGA) Kabupaten Banyumas Dr. Tri Wuryaningsih, M.Si.

"Persoalan kekerasan terhadap perempuan itu saya kira memang sebetulnya tidak hanya menjadi tanggung jawab sendiri dari pemerintah, tetapi juga harus sinergi dari seluruh elemen," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.

Triwur (panggilan akrab Tri Wuryaningsih, red.) mengatakan hal itu kepada Antara di sela kegiatan diskusi tentang Kekerasan Seksual dan Diskriminasi Gender pada Perempuan yang digelar Front Mahasiswa Nasional (FMN) di Pendopo Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.

Oleh karena itu, kata dia, Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret dapat menjadi momentum untuk merefleksikan apa yang sudah dilakukan oleh semua pihak terutama pemerintah Indonesia terhadap hak-hak perempuan.

"Sejak tahun 1984, Indonesia sebetulnya sudah meratifikasi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women), konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kemudian berbagai peraturan perundang-undangan lain juga ada sebagai bentuk komitmen politik pemerintah Indonesia terhadap perempuan," kata dia yang juga Dosen FISIP Unsoed.

Akan tetapi sampai saat ini, kata dia, masih banyak manivestasi diskriminasi yang terjadi di masyarakat yang ditunjukkan dari data mengenai kekerasan terhadap perempuan itu tidak pernah menurun melainkan selalu mengalami peningkatan.

"Itu merupakan bukti bahwa sebetulnya diskriminasi terhadap perempuan itu belum selesai. Kemudian jika dilihat dari lembaga-lembaga pengambil keputusan juga masih didominasi oleh laki-laki, misalnya untuk pejabat eselon II yang menjadi kepala dinas, kepala badan, itu juga mayoritas laki-laki, termasuk di Banyumas," katanya.

Selain itu, kata dia, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif juga masih rendah walaupun sejak Pemilu 2004 sudah didengungkan 30 persen keterwakilan perempuan di dalam pencalonan legislator, namun perempuan yang terpilih masih minim.

Menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa persoalan diskriminasi terhadap perempuan masih menjadi "PR" bagi semua pihak, tidak hanya pemerintah.

"Tentu saja membangun komitmen di kalangan masyarakat juga, bagaimana kemudian sampai di level bawah. Misalnya, di dalam dokumen-dokumen perencanaan pembangunan desa sampai di tingkat nasional itu juga kemudian mengakomodasi kepentingan-kepentingan perempuan," katanya.

Terkait dengan masih maraknya kasus kekerasan maupun pelecehan terhadap perempuan, Triwur mengatakan kekerasaan tidak bisa dilepaskan dari ideologi gender yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia yang memegang budaya patriarki, yakni budaya yang menganggap perempuan lebih rendah daripada laki-laki.

Menurut dia, anggapan-anggapan semacam itu maupun nilai-nilai yang masih berlangsung di dalam masyarakat, antara lain konsep "kanca wingking" (teman belakang, red.), perempuan sebagai objek, perempuan harus patuh terhadap laki-laki, dan perempuan tidak cocok sebagai pemimpin.

"Nilai-nilai ini terus berlangsung, disosialisasikan melalui berbagai agen yang ada di dalam masyarakat termasuk keluarga, media juga saya kira belum banyak berubah, lembaga pendidikan termasuk interpretasi agama, lingkungan kerja, iklan, dan sebagainya, ini masih menanamkan nilai-nilai yang bias gender, yang belum menyuarakan kesetaraan perempuan dan laki-laki," jelasnya.

Dengan demikian, kata dia, kekerasan itu muncul karena adanya paham yang mendiskriminasikan perempuan. Ketika nilai-nilai atau ideologi itu masih mengakar, butuh proses yang sangat panjang untuk bisa berubah.

Disinggung mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Kabupaten Banyumas, dia mengatakan pihaknya pada tahun 2018 mendampingi 136 kasus kekerasan berbasis gender dan anak.

"Khusus untuk kasus kekerasan terhadap perempuan sendiri, baik itu di ranah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) maupun di ranah publik ada sekitar 49 kasus," katanya.

Sementara itu, Koordinator Acara Diskusi "Kekerasan Seksual dan Diskriminasi Gender pada Perempuan" Aprilia Wafiq Azizah mengatakan kegiatan tersebut digelar FMN dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.

Menurut dia, isu tersebut diangkat sebagai tema diskusi karena hingga sekarang penyelesaian permasalah perempuan belum benar-benar sampai selesai.

"Bahkan, negara pun dengan permasalahan perempuan ini tidak berusaha untuk menyelesaikan," kata mahasiswi Fakultas Ilmu Hukum Unsoed itu.

Selain diskusi, kata dia, FMN juga berencana akan menggelar aksi damai memperingati Hari Perempuan Internasional di Alun-Alun Purwokerto pada hari Jumat (8/3), pukul 16.00 WIB. 

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024