Semarang (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap masyarakat baik itu lender maupun borrower dapat mengenali perbedaan fintech lending legal terdaftar dan berizin dengan yang ilegal, sehingga tidak ada yang dirugikan.

Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan Finantial Technologi OJK Munawar menyebutkan setidaknya ada 14 hal yang perlu diketahui oleh masyarakat, yakni:

1. Regulator, tidak ada regulator khusus yang bertugas mengawasi kegiatan penyelenggara fintech lending ilegal, sedangkan penyelenggara fintech lending yang terdaftar atau berizin di OJK ada dalam pengawasan OJK, sehingga memberikan perlindungan konsumen.

2. Bunga dan denda, penyelenggara fintech lending ilegal mengenakan biaya dan denda yang sangat besar dan tidak transparan, sedangkan yang berizin ada kewajiban memberikan informasi secara terbuka terkait bunga dan denda maksimal yang dikenakan pengguna.

"Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengatur bunga maksimal 0,8 persen per hari dan total seluruh biaya termasuk denda adalah 100 persen dari nilai pokok pinjaman," kata Munawar.

3. Kepatuhan peraturan menjadi pembeda ketiga, yakni fintech lending ilegal tidak tunduk aturan baik Peraturan OJK (PJOK) serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, begitu sebaliknya.

4. Pengurus, pada kepengurusan fintech lending ilegal tidak ada standar pengalaman apapun. Sedangkan direksi dan komisaris penyelenggara fintech lending yang terdaftar atau berizin OJK harus memiliki pengalaman minimal satu tahun di industri jasa keuangan pada level manajerial.

5. Cara penagihan, pada fintech lending ilegal melakukan penagihan dengan cara-cara yang kasar, cenderung mengancam, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan hukum. Sementara tenaga penagih pada fintech lending yang terdaftar/berizin dari OJK wajib mengikuti sertifikasi tenaga penagih yang dilakukan oleh AFPI.

6. Asosiasi, pada penyelenggara fintech lending yang terdaftar di OJK wajib menjadi anggota AFPI, sedangkan yang ilegal tidak memiliki asosiasi ataupun tidak dapat menjadi anggota AFPI.

7. Lokasi kantor atau domisili bagi fintech lending ilegal tidak jelas atau ditutupi dan bisa jadi berada di luar negeri untuk menghindari aparat hukum. Sedangkan lokasi kantor penyelenggara fintech lending yang terdaftar atau berizin OJK dapat dengan mudah ditemukan di Google dan telah disurvei oleh OJK.

8. Status, penyelenggara fintech lending ilegal berstatus ilegal dan menjadi target dari Satgas Waspada Investasi (SWI) bersama Kominfo, Google Indonesia, dan Direktorat Cybercrime Polri. Sedangkan penyelenggara fintech lending yang terdaftar atau berizin OJK berstatus legal sesuai dengan POJK 77/POJK.01/2016

9. Syarat pinjam meminjam, pada fintech lending ilegal cenderung sangat mudah tanpa menanyakan keperluan pinjaman. Sementara yang legal perlu mengetahui tujuan peminjaman serta membutuhkan dokumen-dokumen untuk melakukan credit scoring.

10. Pengaduan konsumen, pada fintech lending legal atau terdaftar di OJK menyediakan sarana pengaduan pengguna dan wajib menindaklanjuti pengaduan serta melaporkan tindak lanjutnya kepada OJK. Selain itu, pengguna juga dapat menyampaikan pengaduan melalui AFPI dan OJK. Saat terjadi sengketa, pengguna juga dapat difasilitasi oleh OJK maupun lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Sementara fintech lending ilegal tidak menanggapi pengaduan pengguna.

11. Kompetensi pengelola, pada fintech lending yang terdaftar wajib para direksi, komisaris, dan pemegang saham mengikuti sertifikasi yang diadakan oleh AFPI untuk menyamakan pemahaman dalam mengelola bisnis. Sementara yang ilegal tidak mewajibkan pelatihan atau sertifikasi apa pun.

12. Akses data pribadi, pada aplikasi fintech lending ilegal akan meminta akses kepada seluruh kontak pribadi yang ada di dalam handphone pengguna yang kemudian disalahgunakan untuk melakukan penagihan. 

"Sedangkan fintech lending yang terdaftar OJK hanya diizinkan mengakses camera, microphone, dan location atau camilan pada handphone pengguna. Jadi jika ada permintaan untuk mengakses seluruh kontak jangan diizinkan, karena yang diperbolehkan hanya camilan," katanya.

13. Risiko bagi lender, untuk fintech lending ilegal memiliki risiko sangat tinggi terutama risiko penyalahgunaan dana, pengembalian pinjaman yang tidak sesuai, dan atau berpotensi praktik shadow banking dan ponzi game. Sementara yang berizin lalu lintas dana dilakukan melalui sistem perbankan dan segala manfaat ekonomi maupun biaya yang dikenakan kepada lender dinyatakan secara jelas dalam perjanjian.

14. Server atau keamanan nasional untuk yang berizin wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di Indonesia. Sedangkan penyelenggara fintech lending ilegal tidak patuh pada aturan menempatkan data pengguna di Indonesia dan memiliki pusat pemulihan bencana pada saat terjadi gangguan terhadap sistem elektronik.

Munawar menambahkan hingga Desember 2018 di Jawa Tengah jumlah akumulasi rekening lender ada 15.510 entitas; jumlah akumulasi rekening borrower sebanyak 277.930 entitas; jumlah akumulasi transaksi borrower ada 884.684 akun; dengan akumulasi penyaluran pinjaman Rp1,273,42 miliar.
 

Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024