Semarang (Antaranews Jateng) - Pernah dengar kasus perselisihan hubungan industrial ahli waris almarhum Joyo Sudadi? Joyo adalah pekerja pabrik gula di Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang meninggal dunia karena mengalami kecelakaan lalu lintas pada saat perjalanan pulang dari tempat kerja menuju rumah.

Persoalan muncul karena ternyata Joyo oleh perusahaan tidak didaftarkan program perlindungan sosial ketenagakerjaan (Jamsostek, pada waktu itu), sehingga ahli waris dari Joyo Sudadi tidak mendapatkan haknya yang seharusnya.

Kasus tersebut pun naik ke ranah hukum dan telah ditetapkan dengan putusan Mahkamah Agung tertanggal 21 Januari 2015, sehingga perusahaan harus membayar kekurangan santunan kematian dan hak PHK kepada ahli waris, setelah sebelumnya perusahaan membayarkan hanya sesuai dengan perjanjian kerja bersama (PKB).

Banyak kasus lainnya

Kasus Joyo Sudadi tersebut, baru satu dari banyak kasus lainnya akibat perusahaan tidak mendaftarkan pekerjanya mengikuti program BPJS ketenagakerjaan. Kasus terbaru seperti yang menimpa 31 pekerja yang diduga dibunuh kelompok bersenjata di Provinsi Papua pada 2 Desember 2018 yang ternyata seluruh pekerja tersebut tidak didaftarkan program BPJS Ketenagakerjaan.

Akibatnya, perusahaan harus membayar manfaat jaminan kecelakaan kerja (JKK) senilai 48 kali gaji pekerja kepada ahli waris pekerja. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 27 Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2015.

Ironis, ternyata masih banyak ditemui perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerja atau pegawai pada program BPJS Ketenagakerjaan, atau sudah mendaftarkan tetapi justru hanya sebagian tenaga kerja, sebagian program yang didaftarkan, bahkan sebagian upah atau gaji yang dilaporkan seperti kasus pilot dan co pilot Lion Air JT 610 yang meninggal akibat kecelakaan pesawat pada 29 Oktober 2018.

Gaji pilot yang dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan hanya Rp3,7 juta dan sementara gaji co pilot lebih besar yaitu Rp20 juta. Hal tersebut menunjukkan ada yang salah pada pelaporan dan merugikan keluarga pekerja yang ditinggalkan karena manfaat JKK yakni 48 kali gaji atau upah yang dilaporkan.

Besarnya upah yang dilaporkan oleh pemberi kerja sangat menentukan besarnya manfaat yang diterima oleh pekerja atau ahli waris dari pekerja. Semakin besar upah yang dilaporkan, maka semakin besar manfaat yang diterima demikian sebaliknya semakin kecil upah yang dilaporkan maka semakin kecil manfaat yang diterima. 

Jika mengacu dari kasus pilot Lion Air JT 610 tersebut, maka manfaat JKK yang diperoleh 48 kali gaji yang dilaporkan yakni hanya mendapatkan 48 x Rp3,7 juta rupiah. Padahal data Asosiasi Pilot Garuda (APG) menyebutkan rata-rata gaji pokok pilot asing di Indonesia paling rendah sekitar Rp77,4 juta rupiah, maka seharusnya ahli waris bisa mendapat 48 x Rp77,4 juta rupiah. 

Hal tersebut tentu sangat merugikan keluarga pekerja yang ditinggalkan, karena ditinggalkan oleh tulang punggung keluarga atau pencari nafkah di keluarga pekerja, sehingga bisa mengalami dampak secara ekonomi yang sangat signifikan.

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Pekerja yang tidak mendapatkan perlindungan sosial ketenagakerjaan baik itu program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun, berpotensi memiliki risiko yang lebih besar, memiliki perasaan was-was terhadap segala kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi, dan hal tersebut dapat melahirkan ketegangan dan menimbulkan hubungan industrial yang tidak harmonis.

Menurut pemerhati jaminan sosial ketenagakerjaan Dwi Maryoso hubungan industrial yang tidak harmonis tersebut akan mudah menimbulkan masalah seperti perselisihan antara pekerja dan pengusaha, mogok kerja, demonstrasi, dan hal lain yang dapat merugikan perusahaan atau pemberi kerja.

Perusahaan tidak hanya was-was dengan berbagai kemungkinan yang terjadi seperti beban saat pekerja sakit atau meninggal dunia, tetapi perusahaan juga akan banyak "memakan" waktu, energi, dan biaya jika kemudian dari pihak keluarga membawa kasus pemberi kerja yang mendaftarkan sebagian baik itu tenaga kerja, program, maupun upah ke ranah hukum.

Pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan juga memiliki banyak ancaman sanksi administrasi sesuai dengan UU BPJS dalam bentuk tidak diberikannya pelayanan publik seperti pencabutan izin/perizinan yang sudah dimiliki.

Masih banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya dalam empat program BPJS ketenagakerjaan, tetapi hanya dua atau tiga program misalnya pengusaha hanya mendaftarkan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM), tetapi tidak mendaftarkan Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun.

Selain sanksi administrasi, bisa juga terkena sanksi perdata yakni apabila terjadi risiko, maka perusahaan harus membayar manfaat kepada pekerja senilai manfaat yang seharusnya diterima oleh pekerja baik, jika terjadi kecelakaan kerja maka membayarkan manfaat JKK senilai 48 kali gaji/upah yang dibayarkan.

Tidak mendaftarkan program jaminan sosial ketenagakerjaan juga bisa memberikan dampak ekonomis, karena secara hubungan kerja, jika terjadi risiko baik itu kecelakaan kerja, kematian, memasuki hari tua, dan memasuki pensiun menjadi tanggung jawab pemberi kerja atau perusahaan. 

Dwi Maryoso mencontohkan, jika perusahaan hanya mendaftar dua program (JKK dan JKM), sementara dua program lainnya JHT dan Jaminan Pensiun tidak didaftarkan, maka pada saat terjadi risiko misal pekerja memasuki hari tua atau masa pensiun, maka pemberi kerja dapat dikenakan sanksi perdata oleh peraturan perundang-undangan yakni harus membayar manfaat JHT dan Jaminan Pensiun.

Sementara kerugian bagi keluarga atau ahli waris dari peserta dikhawatirkan akan jatuh miskin karena tulang punggung keluarga atau satu-satuunya pencari nafkah keluarga telah meninggal atau tidak lagi dapat bekerja.

Dwi Maryoso juga menilai bahwa pemberi kerja yang melaporkan upah pekerja lebih rendah dari upah sebenarnya sangat merugikan pekerja karena selisih iuran yang menjadi hak pekerja yang seharusnya dibayarkan ke BPJS Ketenagakerjaan, "diambil" oleh perusahaan.

Perusahaan dan Pekerja Untung Ikut BPJS Ketenagakerjaan

Oleh karena itu, Deputi Direktur Wilayah BPJS Ketenagakerjaan Jawa Tengah dan DIY Moch Triyono selalu menegaskan bahwa program jaminan sosial ketenagakerjaan tidak hanya merupakan program jaring pengaman sosial (JPS) tetapi juga menjadi salah satu pengaman bagi perusahaan dan keluarga pekerja agar tidak ada warga miskin baru karena kehilangan penghasilan akibat risiko kecelakaan kerja dan kematian.

Moch Triyono menjelaskan dengan program BPJS Ketenagakerjaan justru memudahkan pengusaha ketika karyawannya mengalami kecelakaan kerja dan tidak mengurangi anggaran atau modal kerja perusahaan, sehingga bisa fokus pada tiga hal yakni produk, produksi, dan marketing, karena karyawannya dihandle atau dilindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Dengan mendaftarkan pekerja menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, lanjut Moch Triyono, maka pengusaha telah mengalihkan tanggung jawab atas risiko-risiko baik itu kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun kepada BPJS Ketenagakerjaan, sehingga apabila muncul risiko, BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar manfaat tersebut. Sementara jika pekerja tidak didaftarkan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, maka akan tetap menjadi tanggung jawab pengusaha karena apabila terjadi risiko, pengusaha harus membayar manfaatnya dan secara ekonomi akan membebani keuangan perusahaan. 

Hal sama juga ditegaskan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto seusai menerima penghargaan "The Best Indonesia Leader 2018-2019" kategori "Category Goverment Company" pada kegiatan "Indonesia Leaders Award" di Hotel Sahid Jaya Solo, Jumat (21/12) bahwa jaminan sosial adalah hak bagi pekerja, sehingga jika pekerja tidak mendapat jaminan sosial maka pekerja akan kehilangan haknya dan aturan tersebut sudah tertuang dalam undang-undang. 

"Jika pekerja belum didaftarkan di BPJS Ketenagakerjaan, ketika pekerja mengalami kecelakaan kerja maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan. Dan tentunya hal itu akan cukup mengganggu operasional perusahaan. Oleh karena itu, kami imbau agar didaftarkan program BPJS Ketenagakerjaan," kata Agus Susanto.

Moch Triyono menegaskan bahwa mendaftarkan pekerja untuk mendapatkan jaminan ketenagakerjaan tetap menjadi tanggung jawab pemberi kerja, hanya saja dialihkan sebagian risiko kepada BPJS Ketenagakerjaan dan hal tersebut dapat mengurangi beban perusahaan atau pemberi kerja. 

"Program BPJS Ketenagakerjaan telah menjadi kebutuhan pekerja baik pekerja formal maupun nonformal dalam menjalankan aktivitasnya, karena iuran bulannya juga tidak memberatkan hanya Rp16.800, sementara manfaat yang didapatkannya sangat besar," katanya.

Moch Triyono mengambarkan untuk pekerja informal dengan upah Rp1 juta per bulan dan membayar iuran Rp16.800 per bulan, telah mendapatkan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan dengan dua program yakni JKK dan JKM yang manfaatnya bila peserta mengalami musibah dan perawatan ditanggung sesuai kebutuhan medis dan apabila meninggal dunia, ahli waris mendapatkan santunan sebesar Rp24 juta.

Jika dikalkulasi, lanjutnya, tentu keuntungannya berlipat-lipat dengan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan karena hanya dengan iuran Rp16.800 per bulan, telah mendapatkan jaminan dan ketenangan dalam bekerja.

"Pekerja yang sudah dilindungi dengan program JKK, JKM, JHT, dan Jaminan Pensiun, mereka akan lebih tenang dalam bekerja, lebih mudah menciptakan kondisi hubungan industrial yang harmonis. Itu artinya, pekerja akan lebih produktif dan perusahaan lebih memiliki kesempatan mendapatkan laba lebih besar," katanya.

Dwi Maryoso menambahkan bahwa jaminan sosial ketenagakerjaan telah menjadi kebutuhan masyarakat dan sifatnya universal karena program jaminan sosial ketenagakerjaan tersebut telah didesain untuk memenuhi kebutuhan dasar yakni JKK, JKM, JHT, dan Jaminan Pensiun. 

"Seluruh program BPJS Ketenagkerjaan merupakan kebutuhan yang bersifat dasar artinya bahwa semua manusia dimanapun membutuhkannya. Semua orang dimanapun pasti akan mengalami risiko kematian, memasuki hari tua, dan memasuki masa pensiun. Apabila risiko-risiko itu terjadi akan menghilangkan sebagian atau seluruh penghasilan seseorang, maka dengan adanya perlindungan terhadap risiko-risiko tersebut, secara psikologis akan membuat seseorang menjadi lebih tenang demikian juga sebaliknya apabila seseorang tidak dilindungi dari risiko-risiko tersebut akan membuat seseorang menjadi tidak tenang," katanya.


Empat perlindungan

Perlindungan sosial ketenagakerjan merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bahkan ada undang-undangnya yakni UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang menyebutkan ada lima program jaminan sosial yakni Jaminan Kesehatan (diselenggarakan BPJS Kesehatan); Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian (JKM).

BPJS merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial dan merupakan badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden. Berdasarkan UU No 24 Tahun 2011 Tentang BPJS disebutkan bahwa ada dua BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

BPJS Kesehatan menyelenggarakan jaminan kesehatan sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian (JKM). 

Seluruh program negara tersebut memiliki tujuan yakni memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi risiko-risiko yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan yang disebabkan seperti karena sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. 

Untuk memastikan seluruh rakyat Indonesia mendapatkan jaminan tersebut, UU BPJS juga mengatur bahwa setiap pemberi kerja (bisa perusahaan, badan hukum, penyelenggara negara, atau orang perseorangan yang mempekerjakan pegawai atau pekerja dan membayar gaji/upah atau imbalan dalam bentuk lainnya) secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti. 

Dwi Maryoso menambahkan bahwa jaminan sosial ketenagakerjaan yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya melindungi pekerja agar tidak jatuh miskin apabila terjadi risiko, tetapi juga sebagai salah satu "tools" mengumpulkan dana masyarakat dari iuran yang dibayarkan oleh masyarakat pekerja dan pengusaha, kemudian yang terkumpul akan menjadi tabungan masyarakat yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. 

Dari dana tersebut bisa dipinjamkan untuk sumber pendanaan pembangunan dan jika dari seluruh pekerja di Indonesia (yang memenuhi syarat atau eligible) menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 87,9 juta orang didaftarkan ke empat program jaminan sosial ketenagakerjaan, maka dana yang terkumpul semakin besar dan pendanaan dalam negeri semakin kuat.

Adanya pendanaan dalam negeri yang semakin kuat, maka dampak yang dihasilkan pun positif yakni ketergantungan terhadap sumber pendanaan asing juga berkurang, sehingga kemandirian bangsa akan semakin meningkat. 

Tingkatkan Kepesertaan

Untuk terus menambah jumlah pekerja yang mendapatkan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan terus membidik pekerja tidak hanya formal tetapi juga informal salah satunya dari pekerja Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yakni masyarakat yang bekerja di sekitar hutan.

Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Eko Darwanto mengaku saat ini BPJS Ketenagakerjaan terus membangun kolaborasi dengan kelompok-kelompok strategis yang memiliki "akar rumput" baik seperti LMDH agar anggotanya bisa mengakses manfaat program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Dari 130 juta orang angkatan kerja, hampir 70 persen bekerja di sektor informal termasuk di dalamnya dari kelompok masyarakat yang bekerja di sekitar hutan atau LMDH.

Sebagai bagian upaya untuk memupuk kebersamaan dari anggota LMDH, BPJS Ketenagakerjaan juga memberikan bantuan untuk LMDH Ardi Kencana dengan pompa BBM mini agar dapat menjadi titik kumpul masyarakat sekaligus dapat "menimba" pengetahuan mengenai BPJS Ketenagakerjaan secara lebih baik.

LMDH juga terpilih sebagai salah satu Penggerak Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Perisai) yang bertugas untuk menginformasikan mengenai program jaminan sosial ketenagakerjaan kepada masyarakat.

Perisai tersebut bertugas memberikan pemahaman mengenai manfaat BPJS Ketenagakerjaan kepada sesama anggota masyarakat, harapannya dengan penyampaian informasi yang disampaikan oleh Perisai, bisa meningkatkan pemahaman dan meningkatkan kesadaran masyarakat pekerja mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Ketengakerjaan.

Selain LMDH, BPJS Ketenagakerjaan juga masif menyasar para jasa konstruksi atau pekerja proyek baik swasta maupun pemerintah dengan memastikan bahwa mereka akan dilindungi dengan menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan dengan manfaat walaupun baru ikut satu bulan, ahli waris atau si peserta berhak mendapatkan manfaat bila mengalami risiko. 

Di Solo misalnya, selama 2018 jumlah proyek yang terdaftar 611 proyek dengan sembilan kasus kecelakaan kerja, empat di antaranya meninggal dunia, sedangkan klaim yang dibayarkan mencapai Rp397.277.302.

Upaya lain yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan untuk peningkatan kepesertaan adalah bekerja sama dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah yang mewajibkan bagi pelaku usaha untuk mendaftarkan seluruh pekerjanya pada program BPJS Ketenagakerjaan.

Pada saat pengajuan perizinan baru maupun perpanjangan, DPMPTSP Provinsi Jawa Tengah mensyaratkan perusahaan dan pekerja menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dengan tujuan adanya jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerjanya.

Saat ini, total pemberi kerja yang tercatat sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan di Jateng-DIY mencapai 66.339 perusahaan dengan 1.839.432 tenaga kerja (penerima upah).

Hal sama disampaikan Kepala DPM PTSP Jawa Tengah Prasetyo Ariwibowo yang berharap para pekerja khususnya di sektor formal sudah terlindungi oleh jaminan sosial ketenagakerjaan.

"Kami ingin semua terlindungi. Bisa lebih tenang dalam bekerja, perlahan kesejahteraan juga akan meningkat. Dengan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan justru akan berdampak positif kepada pengusaha karena pekerja tenang bekerja dan produktivitas juga meningkat," katanya.

Untuk meningkatkan jumlah kepesertaan, BPJS Ketenagakerjaan terus memberikan kemudahan kepada para peserta melalui aplikasi BPJSTKU untuk melakukan pengecekan saldo, klaim JHT, pelaporan kasus kecelakaan kerja, pendaftaran online, dan layanan informasi lainnya kapanpun dan dimanapun cukup dengan sentuhan jari.

Berbagai macam fitur tambahan disediakan melalui aplikasi BPJSTKU yang merupakan penyempurnaan dari aplikasi sebelumnya di antaranya layanaan cek saldo JHT, pelaporan ketidaksesuaian upah atau jumlah karyawan, pelaporan kasus kecelakaan kerja, hingga promo diskon di merchant kerja sama.

Sebelumnya aplikasi BPJSTKU hanya tersedia pada platform Android, namun mulai di penghujung tahun 2018 pengguna ponsel pintar berbasis iOS sudah bisa mengunduh aplikasi di Appstore, sekaligus juga memudahkan peserta melakukan pelaporan kecelakaan kerja.

Jika sebelumnya pelaporan kecelakaan kerja mengharuskan peserta untuk mengisi form-form tertentu di Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan, kini peserta dapat melaporkan langsung kepada pihak BPJS Ketenagakerjaan melalu aplikasi BPJSTKU.

Penambahan fitur pada aplikasi BPJSTKU tersebut, diharapkan para peserta bisa memanfaatkan semua fasilitas yang tersedia dalam aplikasi.

Apresiasi dan Dukungan Pemda

Tidak sekadar menambah kepesertaan, BPJS Ketenagakerjaan Kanwil Jateng dan DIY juga mengapresiasi kepada tiga pemberi kerja yang telah mendaftarkan seluruh pekerjanya, seluruh program, dan seluruh gaji/upah dengan pemberian penghargaan sebagai perusahaan platinum terbaik.

Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Ilyas Lubis pada saat penyerahan penghargaan kepada perusahaan platinum terbaik di Semarang, Kamis (13/12) malam menjelaskan ada sejumlah kriteria untuk mendapatkan penghargaan sebagai perusahaan platinum terbaik di antaranya perusahaan mendaftarkan seluruh program (Jaminan Kecelakaan Kerja atau JKK, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua atau JHT, dan Pensiun), mendaftarkan seluruh tenaga kerja, dan mendaftarkan sesuai upah pekerja.

Selain itu, perusahaan juga sudah menggunakan layanan digital BPJS Ketenagakerjaan, membayar iuran tepat waktu (setiap tanggal 15 bulan berikutnya), memiliki jumlah perlindungan terhadap tenaga kerja dengan jumlah yang besar, serta sudah menggunakan sistem informasi pelaporan perusahaan (SIPP).

Penghargaan sebagai perusahaan platinum terbaik dari BPJS Ketenagakerjaan tersebut diterima Yeon Heung Mega Sari (Tegal), Tehnik Umum Jaya Pratama (Semarang), dan Hwa Seung Indonesia (Kudus).

Apresiasi BPJS Ketenagakerjaan dalam kesempatan tersebut juga ditujukan kepada sejumlah institusi dengan penganugerahan gerakan nasional peduli pekerja rentan (GN Lingkaran) yang diterima Pertamina PLBCC Cilacap yang memberikan donasi bagi 1.500 pekerja rentan dalam bentuk perlindungan program jaminan sosial ketenagakerjaan senilai Rp75 juta; Sung Chang Indonesia yang memberikan donasi kepada 500 pekerja rentan dalam bentuk perlindungan program jaminan sosial ketenagakerjaan senilai Rp50 juta; dan PT Urip Sugiharto (MPS Pekalongan) yang memberikan donasi bagi 1.000 pekerja rentan dalam bentuk perlindungan program jaminan sosial ketenagakerjaan senilai Rp16,8 juta.

Program GN Lingkaran merupakan program yang dibangun untuk sarana bagi masyarakat atau perusahan yang ingin menyumbangkan donasi dan membayarkan iuran tenaga kerja mandiri yang tidak mampu untuk membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan agar mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja serta Jaminan Kematian dalam bekerja.

Seluruh upaya BPJS Ketenagakerjaan Kanwil Jateng dan DIY, mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah antara lain mendorong tingginya pencapaian kepesertaan pada pekerja formal (di Jateng kepesertaan pekerja formal mencapai 98 persen), dukungan regulasi (Pemprov Jateng beserta Disnakertrans Jateng mengeluarkan sejumlah peraturan yang mendukung peningkatan kepesertaan), dan dukungan dalam menggandeng peserta baru.

Kepala Disnakertrans Prov Jateng Wika Bintang menyebutkan dukungan terhadap kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan secara regulasi yakni Pemprov Jateng mengeluarkan Pergub dan SK Gubernur, sementara Disnakertrans Jateng mengeluarkan surat perjanjian kerja sama dengan bupati dan wali kota. 

Wika menjelaskan bahwa tidak hanya regulasi, tetapi pemda juga melakukan tindakan nyata dengan turun bareng ke perusahaan-perusahaan dan melakukan terobosan dalam melakukan sosialisasi mengenai penting dan besarnya manfaat mendaftar BPJS Ketenagakerjaan salah satunya melalui kesenian Ketoprak dan Wayang yang merupakan kesenian tradisional Provinsi Jawa Tengah, sehingga pesan yang disampaikan lebih mengena.

Tidak hanya melalui kesenian, tetapi Pemprov Jateng bersama BPJS Ketenagakerjaan juga melakukan sosialisasi ke simpul-simpul masyarakat seperti melalui car free day, menggandeng paguyuban dan komunitas ojek online, pedagang di pasar, nelayan, dan petani, hingga ke terminal-terminal untuk menyasar para pekerja kuli panggul.

Dukungan dalam memberikan perlindungan kepada tenaga kerja tidak hanya ditunjukkan oleh Pemprov Jateng, tetapi juga oleh Pemerintah Kota Surakarta yang mendorong kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya formal tetapi juga informal.

Salah satu dukungan Pemkot Surakarta yakni dengan melakukan sosialisasi kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan ke mal dan pasar, serta mewajibkan semua kegiatan yang bersifat kontraktual wajib melampirkan daftar tenaga kerja yang didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Dukungan Pemprov Jateng dan Pemkot Surakarta berbuah manis karena keduanya menjadi juara pertama pada Paritrana Award Tahun 2017 dengan kategori Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota terbaik. Keduanya, tidak hanya membawa pulang piala, tetapi juga satu unit mobil.

"Pencapaian Pemprov Jateng dan Kota Surakarta menjadi peringkat pertama, telah dirintis lama. Tidak hanya portofolio, tetapi juga melewati paparan dan diuji oleh tim penilai (ahli jaminan sosial, ahli kebijakan publik, akademisi, perwakilan pengusaha, perwakilan pekerja, dan BPJS Ketenagakerjaan)," kata Wika.

Ada beberapa kriteria untuk menjadi pemenang, lanjut Wika, antara lain didasarkan pada penilaian cakupan kepesertaan (untuk pekerja formal mencapai 98 persen), aspek regulasi (peraturan yang dikeluarkan Pemprov Jateng beserta Disnakertrans untuk mendukung peningkatan kepesertaan), dan inisiatif terbaik (terobosan-terobosan untuk sosialisasi dan menggandeng peserta).

Penilaian yang meliputi coverage kepesertaan, aspek regulasi, inisiatif, dan diseminasi informasi tersebut pun dilakukan selama enam bulan, sehingga bukan "disulap" untuk mengejar penilaian.

Moch Triyono berharap dari seluruh upaya BPJS Ketenagakerjaan dan pemerintah daerah tersebut, diikuti kesadaran yang tinggi dari pemberi kerja atau perusahaan dan pekerja bahwa mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan tidak lagi sebagai kewajiban, tetapi menjadi kebutuhan.

Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Antarajateng
Copyright © ANTARA 2024