Purwokerto (Antaranews Jateng) - Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri memperkirakan pemerintah akan sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,3 persen pada tahun 2019.
"Pertumbuhan ekonomi tahun 2019 diperkirakan akan hampir sama dengan tahun ini. Prediksi saya 0,1 persen lebih rendah dari pencapaian tahun ini," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 sebesar 5 persen, sedangkan tahun 2019 diperkirakan 4,9 persen.
Menurut dia, tantangan atau tekanan pertumbuhan ekonomi tersebut berasal dari kenaikan suku bunga di mana pemerintah berutang dengan suku bunga yang lebih tinggi.
Selain itu, dia juga memperkirakan inflasi pada tahun 2019 lebih tinggi dan "loan to deposit ratio" (rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber, red.) juga sudah mendekati 100 persen
"Artinya, likuiditas perbankan makin ketat yang mau tidak mau mendorong kenaikan suku bunga. Jadi, inflasi naik, suku bunga relatif naik, mudah-mudahan kenaikan inflasi ini tidak sebesar seperti perkiraan sebelumnya jika harga minyak bertahan pada level yang rendah seperti sekarang," katanya.
Akan tetapi, dia memperkirakan harga minyak akan naik ke level 60-65 dolar Amerika Serikat per barel sehingga masih cukup besar tekanannya.
"Itu semua yang membuat pertumbuhan agak sulit untuk bisa mencapai target pemerintah yang 5,3 persen. Harga komoditas juga cenderung 'flat', jadi tidak ada bonus dari peningkatan harga-harga komoditas ekspor kita," katanya.
Menurut dia, banyak hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam menghadapi persoalan tersebut. Dalam hal ini dia mengibaratkan dengan manusia yang tidak bisa berlari kencang karena ada masalah di jantung, sehingga jantungnya harus dibereskan lebih dulu.
"Konsolidasi perbankan, kemudian agak ditahan untuk pembangunan infrastruktur yang tidak terlalu prioritas. Didorong lebih pada peningkatan infrastruktur maritim supaya ongkos logistik bisa turun karena kalau yang dibangun jalan tol terus, jalan darat tol, itu efeknya ke ongkos logistik tidak besar," katanya.
Menurut dia, ongkos logistik bisa turun kalau terjadi pengalihan dari barang yang semula diangkut menggunakan truk dialihkan memakai kereta api atau kapal laut.
Ia mengatakan hal itu disebabkan ongkos pengangkutan menggunakan truk mencapai 10 kali lebih mahal dari kapal laut.
"Jadi kalau mengangkut baja dari Surabaya ke Jakarta memakai truk itu 'keblinger' walaupun ada jalan tol," katanya.
Ia mengatakan maksud dari Presiden Joko Widodo membangun jalan tol adalah untuk mengurangi biaya logistik namun hal itu tidak mungkin bisa turun tajam karena angkutannya menggunakan truk yang kapasitas angkutnya terbatas jika dibandingkan menggunakan kapal laut.
"Dari pelabuhan-pelabuhan itulah diangkut pakai truk sehingga jarak tempuhnya tidak terlalu jauh. Dengan demikian, akan menekan sekali harga-harga," katanya.
"Pertumbuhan ekonomi tahun 2019 diperkirakan akan hampir sama dengan tahun ini. Prediksi saya 0,1 persen lebih rendah dari pencapaian tahun ini," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 sebesar 5 persen, sedangkan tahun 2019 diperkirakan 4,9 persen.
Menurut dia, tantangan atau tekanan pertumbuhan ekonomi tersebut berasal dari kenaikan suku bunga di mana pemerintah berutang dengan suku bunga yang lebih tinggi.
Selain itu, dia juga memperkirakan inflasi pada tahun 2019 lebih tinggi dan "loan to deposit ratio" (rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber, red.) juga sudah mendekati 100 persen
"Artinya, likuiditas perbankan makin ketat yang mau tidak mau mendorong kenaikan suku bunga. Jadi, inflasi naik, suku bunga relatif naik, mudah-mudahan kenaikan inflasi ini tidak sebesar seperti perkiraan sebelumnya jika harga minyak bertahan pada level yang rendah seperti sekarang," katanya.
Akan tetapi, dia memperkirakan harga minyak akan naik ke level 60-65 dolar Amerika Serikat per barel sehingga masih cukup besar tekanannya.
"Itu semua yang membuat pertumbuhan agak sulit untuk bisa mencapai target pemerintah yang 5,3 persen. Harga komoditas juga cenderung 'flat', jadi tidak ada bonus dari peningkatan harga-harga komoditas ekspor kita," katanya.
Menurut dia, banyak hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam menghadapi persoalan tersebut. Dalam hal ini dia mengibaratkan dengan manusia yang tidak bisa berlari kencang karena ada masalah di jantung, sehingga jantungnya harus dibereskan lebih dulu.
"Konsolidasi perbankan, kemudian agak ditahan untuk pembangunan infrastruktur yang tidak terlalu prioritas. Didorong lebih pada peningkatan infrastruktur maritim supaya ongkos logistik bisa turun karena kalau yang dibangun jalan tol terus, jalan darat tol, itu efeknya ke ongkos logistik tidak besar," katanya.
Menurut dia, ongkos logistik bisa turun kalau terjadi pengalihan dari barang yang semula diangkut menggunakan truk dialihkan memakai kereta api atau kapal laut.
Ia mengatakan hal itu disebabkan ongkos pengangkutan menggunakan truk mencapai 10 kali lebih mahal dari kapal laut.
"Jadi kalau mengangkut baja dari Surabaya ke Jakarta memakai truk itu 'keblinger' walaupun ada jalan tol," katanya.
Ia mengatakan maksud dari Presiden Joko Widodo membangun jalan tol adalah untuk mengurangi biaya logistik namun hal itu tidak mungkin bisa turun tajam karena angkutannya menggunakan truk yang kapasitas angkutnya terbatas jika dibandingkan menggunakan kapal laut.
"Dari pelabuhan-pelabuhan itulah diangkut pakai truk sehingga jarak tempuhnya tidak terlalu jauh. Dengan demikian, akan menekan sekali harga-harga," katanya.