Semarang (Antaranews Jateng) - Akademisi Universitas Negeri Semarang Dr Wirawan Sumbodo menilai keberadaan sekolah menengah kejuruan (SMK) semestinya hanya fokus menyiapkan lulusan yang siap bekerja.
"Selama ini, pendidikan SMK kan dituntut pada tiga hal terhadap lulusannya, yakni `BMW`. Bekerja, melanjutkan atau berkuliah, dan wirausaha. Jadi, kurang fokus," katanya di Semarang, Senin.
Menurut dia, tujuan melanjutkan pendidikan selama ini juga sudah diemban oleh sekolah menengah atas (SMA) sehingga siswa difokuskan pada penguasaan dan pendalaman materi secara akademis.
Idealnya, kata Wakil Dekan III Fakultas Teknik Unnes itu, sudah saatnya SMK dikembalikan kepada "khittah"-nya fokus untuk mencetak lulusan yang siap langsung bekerja.
"Kalau dituntut menyiapkan lulusan siap kerja sekaligus melanjutkan pendidikan, berat bagi pengelola SMK. Apalagi, ditambah berwirausaha. Dengan dunia industri malah kurang `match`," katanya.
Bahkan, Wirawan justru menyarankan untuk wirausaha dibentuk bidang pendidikan kejuruan tersendiri, yakni SMK wirausaha yang memfokuskan untuk mencetak lulusan calon-calon "entrepreneur".
"Pendidikan kejuruan atau SMK itu semestinya menopang pertumbuhan industri, bukan sekadar menopang perkembangan sekolah sendiri. Kalau industri tumbuh, SMK pasti ikut berkembang," katanya.
Ia mengatakan justru pola kemitraan antara SMK dan industri yang sudah terjalin selama ini harus dibenahi untuk menguatkan industri, khususnya dalam negeri agar semakin tumbuh dan berkembang.
Wirawan yang pernah "bermukim" di Jerman selama tiga tahun itu pun menyampaikan sistem pendidikan kejuruan yang tepat membuat industri di negara itu tumbuh pesat, utamanya industri automotif.
"Saya susun 11 teori kemitraan untuk membenahi pola kemitraan SMK dengan industri. Ini berbeda dengan teori Prosser mengenai 16 prinsip pendidikan vokasional, tetapi saling melengkapi," katanya.
Dari 16 prinsip Teori Prosser, kata dia, menyoroti dari sistem pendidikan vokasinya, sementara 11 teori kemitraannya lebih menyoroti pola ideal kemitraan yang terjalin antara SMK dan industri.
"Pertama, SMK akan lebih efektif bila memiliki mitra industri yang relevan dengan program keahliannya. Kalau program keahlian perhotelan, ya, mitranya dari hotel. Artinya, relevan," katanya.
Kedua, kata dia, kemitraan SMK dengan industri akan lebih efektif bila berorientasi pada kebutuhan industri, bukan sekadar formalitas untuk memenuhi kebutuhan kurikulum dan kelulusan siswa.
"Saya amati banyak SMK bermitra berorientasi pada formalitas, untuk memenuhi kurikulum, kebutuhan siswa lulus, harus praktik kerja lapangan, dan sebagainya. Bukan pada kebutuhan industri," katanya.
Ketiga, kata Wirawan, SMK akan lebih efektif bila hanya menyiapkan lulusan yang siap kerja, sebab selama ini SMK semakin menjamur dengan lulusan yang sangat banyak namun banyak yang tidak terserap industri.
"Proses pembelajaran dan pelatihan di SMK harus identik dengan jenis pekerjaan yang dikerjakan di industri mitra. Kalau industri butuh ahli las, ya, didik ahli las yang terampil," katanya.
Jangan ada lagi, kata dia, siswa SMK magang hanya disuruh bikin kopi atau fotokopi yang menandakan kompetensi yang dibutuhkan industri belum bisa dipenuhi oleh pengelola SMK yang menjadi mitranya.
"Masih ada tujuh poin lagi. Tetapi, intinya SMK harus berbenah dalam pola kemitraannya. Seberapa jauh kemitraan yang dijalin dengan industri? Bagaimana keterserapan lulusan di industri?" kata Wirawan.
"Selama ini, pendidikan SMK kan dituntut pada tiga hal terhadap lulusannya, yakni `BMW`. Bekerja, melanjutkan atau berkuliah, dan wirausaha. Jadi, kurang fokus," katanya di Semarang, Senin.
Menurut dia, tujuan melanjutkan pendidikan selama ini juga sudah diemban oleh sekolah menengah atas (SMA) sehingga siswa difokuskan pada penguasaan dan pendalaman materi secara akademis.
Idealnya, kata Wakil Dekan III Fakultas Teknik Unnes itu, sudah saatnya SMK dikembalikan kepada "khittah"-nya fokus untuk mencetak lulusan yang siap langsung bekerja.
"Kalau dituntut menyiapkan lulusan siap kerja sekaligus melanjutkan pendidikan, berat bagi pengelola SMK. Apalagi, ditambah berwirausaha. Dengan dunia industri malah kurang `match`," katanya.
Bahkan, Wirawan justru menyarankan untuk wirausaha dibentuk bidang pendidikan kejuruan tersendiri, yakni SMK wirausaha yang memfokuskan untuk mencetak lulusan calon-calon "entrepreneur".
"Pendidikan kejuruan atau SMK itu semestinya menopang pertumbuhan industri, bukan sekadar menopang perkembangan sekolah sendiri. Kalau industri tumbuh, SMK pasti ikut berkembang," katanya.
Ia mengatakan justru pola kemitraan antara SMK dan industri yang sudah terjalin selama ini harus dibenahi untuk menguatkan industri, khususnya dalam negeri agar semakin tumbuh dan berkembang.
Wirawan yang pernah "bermukim" di Jerman selama tiga tahun itu pun menyampaikan sistem pendidikan kejuruan yang tepat membuat industri di negara itu tumbuh pesat, utamanya industri automotif.
"Saya susun 11 teori kemitraan untuk membenahi pola kemitraan SMK dengan industri. Ini berbeda dengan teori Prosser mengenai 16 prinsip pendidikan vokasional, tetapi saling melengkapi," katanya.
Dari 16 prinsip Teori Prosser, kata dia, menyoroti dari sistem pendidikan vokasinya, sementara 11 teori kemitraannya lebih menyoroti pola ideal kemitraan yang terjalin antara SMK dan industri.
"Pertama, SMK akan lebih efektif bila memiliki mitra industri yang relevan dengan program keahliannya. Kalau program keahlian perhotelan, ya, mitranya dari hotel. Artinya, relevan," katanya.
Kedua, kata dia, kemitraan SMK dengan industri akan lebih efektif bila berorientasi pada kebutuhan industri, bukan sekadar formalitas untuk memenuhi kebutuhan kurikulum dan kelulusan siswa.
"Saya amati banyak SMK bermitra berorientasi pada formalitas, untuk memenuhi kurikulum, kebutuhan siswa lulus, harus praktik kerja lapangan, dan sebagainya. Bukan pada kebutuhan industri," katanya.
Ketiga, kata Wirawan, SMK akan lebih efektif bila hanya menyiapkan lulusan yang siap kerja, sebab selama ini SMK semakin menjamur dengan lulusan yang sangat banyak namun banyak yang tidak terserap industri.
"Proses pembelajaran dan pelatihan di SMK harus identik dengan jenis pekerjaan yang dikerjakan di industri mitra. Kalau industri butuh ahli las, ya, didik ahli las yang terampil," katanya.
Jangan ada lagi, kata dia, siswa SMK magang hanya disuruh bikin kopi atau fotokopi yang menandakan kompetensi yang dibutuhkan industri belum bisa dipenuhi oleh pengelola SMK yang menjadi mitranya.
"Masih ada tujuh poin lagi. Tetapi, intinya SMK harus berbenah dalam pola kemitraannya. Seberapa jauh kemitraan yang dijalin dengan industri? Bagaimana keterserapan lulusan di industri?" kata Wirawan.