Boyolali (Antaranews Jateng) - Suwaldi, pengrajin gamelan di Desa Pengging, Kabupaten Boyolali kerap melayani pesanan perangkat alat musik tradisional gamelan hingga luar negeri.
     
"Saya bikin gamelan mulai tahun 1970. Dulu, masih usaha lokal, rumah tangga. Kakek saya guru dalang di keraton, di rumah buat gamelan, wayang. Saya generasi ketiga," katanya di Boyolali, Kamis.
     
Hal tersebut diungkapkan pemilik CV Dallank Art itu di sela kunjungan para peserta International Gamelan Festival (IGF) 2018 dari kalangan pegiat kesenian karawitan dalam maupun luar negeri.
     
Kunjungan itu merupakan rangkaian pra-acara IGF 2018 yang puncaknya digelar di Solo pada 12-14 November mendatang yang diprakarsai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
     
Tak hanya dari kalangan pegiat karawitan dari berbagai daerah di Indonesia, tampak pula pegiat karawitan dari warga asing, seperti Belanda, Inggris, Belgia, Irlandia, Malaysia, dan Jepang.
     
Sebagai satu-satunya pengrajin gamelan di Boyolali, bapak dua anak itu rutin memproduksi gamelan, baik ada pesanan maupun tidak, sebab proses pembuatan gamelan memerlukan waktu cukup lama.
     
"Kalau dihitung waktu, satu set gamelan bisa sampai satu bulan. Namun, karena saya produksi terus, dalam sebulan bisa melayani pesanan 2-3 set. Ini pesanan mengalami peningkatan," katanya.
     
Untuk pasar lokal, ia biasa melayani pesanan mulai Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali, sementara untuk pasar luar negeri sudah mencakup Australia, Amerika Serikat, Jepang, Malaysia, dan Singapura.
     
Mengenai bahan, kata dia, terbagi dua, yakni gamelan yang terbuat dari perunggu atau besi, sementara kayunya juga menggunakan banyak jenis, mulai jati, mahoni, atau kayu kampung, tergantung pesanan.
     
"Bahan sebenarnya tidak pengaruh dengan suara. Suaranya hampir sama, tidak ada bedanya. Hanya kualitas untuk ketahanan yang berbeda, kayu jati lebih kuat, gamelan perunggu juga sama," katanya.
     
Dari harga, kata dia, satu set gamelan perunggu kualitas standar dijualnya Rp350 juta, super Rp450 juta, sementara gamelan besi dijualnya Rp75 juta untuk rancak ukir, sementara lis ceplok hanya Rp65 juta.
     
Akhir-akhir ini, diakuinya, pesanan dari instansi pemerintah lumayan banyak, seperti order yang dikerjakannya untuk Kabupaten Purbalingga sebanyak delapan set dan Pekalongan untuk satu set.
     
Bersama karyawannya yang berjumlah lebih dari 20 orang, Suwaldi sudah sedemikian akrab dengan aneka komponen gamelan, seperti bonang, gong, kenong, saron, gender, slencem, kendang, hingga siter.
     
Dikunjungi para pegiat gamelan dari luar negeri, ia mengaku bangga dan berharap berdampak positif terhadap kemajuan budaya tradisional Indonesia, khususnya industri gamelan.
     
Disadarinya, banyak generasi muda yang sekarang ini lebih menyenangi kesenian dari luar, seperti musik Korea, tetapi dirinya berharap gamelan sebagai kesenian tradisional tidak dilupakan.
     
"Saya tidak melarang untuk suka seni asing. Tetapi, tolonglah kesenian bangsa sendiri dilestarikan di wilayah mana pun. Tidak hanya gamelan di Jawa. Di Sunda, Batak, Minangkabau ada budaya, perlu dilestarikan," kata Suwaldi.

Kepala Bagian Umum dan Kerja Sama Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ahmad Mahendra menjelaskan kunjungan ke sentra gamelan itu untuk menambah pengetahuan bagi para pegiat karawitan.
     
"Sekaligus memberikan imej baik bagi peserta asing bahwa gamelan dipelihara baik, diajarkan di sekolah-sekolah juga. Di seluruh Inggris Raya, gamelan diajarkan untuk kegiatan ekstrakurikuler," katanya.
     
Bahkan, kata dia, gamelan di Inggris dijadikan sebagai terapi orang yang dipenjara dan orang autis, sebab dari hasil penelitian orang yang mendapatkan pembelajaran gamelan berperilaku lebih baik.



 

Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024