Semarang (Antaranews Jateng) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Jawa Tengah Bambang Sadono mengakui banyak masyarakat yang belum memahami mekanisme program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditangani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

"Memang ada beberapa hal yang harus dijelaskan kepada masyarakat, terutama terkait standar kesehatan. Bahwa ada, taruhlah standar efisiensi dan standar pelayanan," katanya di Semarang, Selasa.

Hal tersebut diungkapkan mantan Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu saat beraudiensi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Semarang.

Bambang menjelaskan masyarakat perlu memahami bahwa standar efisiensi atau penghematan dilakukan oleh BPJS Kesehatan, sementara standar pelayanan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.

Diakuinya, selama ini dirinya kerap mendapatkan pertanyaan dari masyarakat mengenai program JKN dan BPJS Kesehatan, seperti kecelakaan tunggal ditanggung BPJS Kesehatan atau tidak, dan sebagainya.

"Belum lagi, mengenai klaim rumah sakit (RS) yang belum terbayarkan. Mengenai klaim-klaim itu diakui BPJS Kesehatan memang ada keterlambatan, tetapi sudah ada solusi sebagai alternatif," katanya.

Menurut dia, klaim yang selama ini harus dibayarkan BPJS Kesehatan ternyata memang sangat besar, seperti di BPJS Cabang Semarang sekitar Rp196 miliar/bulan, padahal hanya meliputi Kota Semarang dan Kabupaten Demak.

Di sisi lain, Bambang mengatakan beberapa RS menghadapi kesulitan yang sangat serius akibat klaim yang belum terbayarkan sehingga perlu dicarikan solusi alternatif, seperti pinjaman perbankan.

Dari pertemuannya dengan BPJS Kesehatan, diketahuinya bahwa jika BPJS Kesehatan terlambat membayarkan klaim juga terkena denda sehingga dicarikan fasilitas perbankan dengan bunga lebih rendah dari denda.

"Mudah-mudahan ini jadi solusi bagi RS yang mengalami kesulitan keuangan karena klaim BPJS Kesehatan belum cair," kata sosok kelahiran Blora, 30 Januari 1957 itu.

Sementara itu, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Semarang Dokter Bimantoro R menegaskan pihaknya selaku kepanjangan tangan dari pemerintah hanya melaksanakan tugas mengamankan keuangan negara supaya benar-benar dipakai untuk yang diperlukan.

"Bukan ngirit dana, tetapi sesuai kebutuhan medis. Memang ada pembatasan, bukan tidak dijamin. Apa ada yang tahu kalau ternyata klaim katarak selama ini lebih besar dari klaim hemodialisme (cuci darah)" katanya.

Jika tidak dilakukan pembatasan, kata dia, berisiko terjadinya efisiensi yang akan merugikan keuangan negara, sementara masyarakat yang benar-benar membutuhkan justru tidak akan merasakan manfaatnya.

"Saya dapat laporan kalau fisioterapi ada yang setiap bulan sampai 26 kali. Dulu tidak seperti itu, bagaimana seandainya tidak dibatasi Kasihan mereka yang butuh hemodialisa atau cuci darah, dan sebagainya," katanya.

Mengenai pembatasan obat yang ditanggung BPJS Kesehatan juga banyak menjadi pertanyaan masyarakat, namun Bimantoro mengatakan keputusan itu dibuat oleh Tim Indonesian Case Base Groups (INA-CBG`s), termasuk tarif RS.

"Apakah itu dari BPJS Kesehatan? Bukan. Dari RS langsung `download` aplikasi dari Kementerian Kesehatan itu, bukan dari BPJS Kesehatan. Yang jelas, tarif pelayanan kesehatan tidak pernah turun," tegasnya.     

Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Antarajateng
Copyright © ANTARA 2024