Semarang (Antaranews Jateng) - Pengosongan lahan pertambakan di Kelurahan Terboyo Kulon, Semarang, untuk pembuangan sedimentasi dari Sungai Banjir Kanal Timur (BKT) Semarang, Senin, sempat diadang para petambak.
Sejumlah seniman dan petambak yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan Negara (Makna) juga menggelar laku budaya untuk menghadang truk-truk yang akan membuang sedimentasi di lahan pertambakan itu.
Ketegangan sempat terjadi karena sejumlah seniman dan petambak menghadang upaya pengosongan dan pembuangan sedimentasi, kemudian mereka terlibat saling dorong dengan petugas satuan polisi pamong praja (PP).
Namun, upaya mempertahankan lahan pertambakan itu gagal dilakukan karena para petambak dan seniman Makna tidak bisa berbuat banyak berhadapan dengan satpol PP yang mengerahkan sekitar 200 personel.
Kemudian, truk-truk pengangkut endapan sedimentasi dari pengerukan Sungai BKT membuang material disposal itu ke lahan tersebut, sementara para petambak lain menyebar jala untuk memanen bandeng.
Teha Edy Djohar, salah satu petambak menyesalkan upaya pengosongan lahan secara paksa yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang dengan mengerahkan kekuatan negara, mulai satpol PP, Polri, hingga TNI.
"Harusnya, suara kami ini didengar. Sampai sekarang belum ada dialog. Kami hanya minta dimanusiakan, tetapi pemerintah malah mengerahkan kekuatan negara. Tambak ini telah banyak menghidupi warga," katanya.
Jika kemudian tambak yang masih produktif itu langsung diuruk dengan tanah, lanjut dia, akan berdampak terhadap kelangsungan hidup banyak orang yang selama ini bergantung dari hasil tambak tersebut.
Bersama kuasa hukumnya, Teha menggaku akan menempuh langkah hukum atas kesewenangan Pemkot Semarang dalam pengosongan lahan tambah itu, sebab selama ini belum ada dialog dengan para pengelola tambak.
Sementara itu, Kepala Satpol PP Kota Semarang Endro P Martanto menegaskan lahan pertambakan yang ditempati warga itu merupakan aset Pemkot Semarang yang akan dipakai untuk kepentingan pembangunan.
Lahan itu, kata dia, diperlukan untuk pembuangan material disposal dari sedimentasi Sungai BKT sebagai proyek nasional yang sedang berjalan, yakni normalisasi sungai untuk penanggulangan rob dan banjir.
"Kami berharap warga yang mengelola harusnya legawa. Apalagi, mereka tidak mempunyai alas hak. Pemkot Semarang pun cukup bijak karena puluhan tahun mereka mengelola tanpa ada retribusi," ungkapnya.
Upaya pengosongan lahan itu, kata dia, sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP) karena sudah dikirimkan somasi kepada warga untuk segera mengosongkan hingga tenggat waktu 23 Juli ini.
Seperti halnya pengosongan bantaran Sungai BKT dari kios dan lapak PKL yang sudah dilakukan, kata dia, mereka juga sudah bersedia direlokasi dengan jumlah yang lebih banyak dari lahan pertambakan itu.
"Soal ganti rugi, kan dasarnya sudah jelas. Tunjukan alas haknya dulu. Kalau ada, berapa pun pasti diganti sesuai appraisal. Lha ini kan tidak ada alas haknya," kata Endro.
Sejumlah seniman dan petambak yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan Negara (Makna) juga menggelar laku budaya untuk menghadang truk-truk yang akan membuang sedimentasi di lahan pertambakan itu.
Ketegangan sempat terjadi karena sejumlah seniman dan petambak menghadang upaya pengosongan dan pembuangan sedimentasi, kemudian mereka terlibat saling dorong dengan petugas satuan polisi pamong praja (PP).
Namun, upaya mempertahankan lahan pertambakan itu gagal dilakukan karena para petambak dan seniman Makna tidak bisa berbuat banyak berhadapan dengan satpol PP yang mengerahkan sekitar 200 personel.
Kemudian, truk-truk pengangkut endapan sedimentasi dari pengerukan Sungai BKT membuang material disposal itu ke lahan tersebut, sementara para petambak lain menyebar jala untuk memanen bandeng.
Teha Edy Djohar, salah satu petambak menyesalkan upaya pengosongan lahan secara paksa yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang dengan mengerahkan kekuatan negara, mulai satpol PP, Polri, hingga TNI.
"Harusnya, suara kami ini didengar. Sampai sekarang belum ada dialog. Kami hanya minta dimanusiakan, tetapi pemerintah malah mengerahkan kekuatan negara. Tambak ini telah banyak menghidupi warga," katanya.
Jika kemudian tambak yang masih produktif itu langsung diuruk dengan tanah, lanjut dia, akan berdampak terhadap kelangsungan hidup banyak orang yang selama ini bergantung dari hasil tambak tersebut.
Bersama kuasa hukumnya, Teha menggaku akan menempuh langkah hukum atas kesewenangan Pemkot Semarang dalam pengosongan lahan tambah itu, sebab selama ini belum ada dialog dengan para pengelola tambak.
Sementara itu, Kepala Satpol PP Kota Semarang Endro P Martanto menegaskan lahan pertambakan yang ditempati warga itu merupakan aset Pemkot Semarang yang akan dipakai untuk kepentingan pembangunan.
Lahan itu, kata dia, diperlukan untuk pembuangan material disposal dari sedimentasi Sungai BKT sebagai proyek nasional yang sedang berjalan, yakni normalisasi sungai untuk penanggulangan rob dan banjir.
"Kami berharap warga yang mengelola harusnya legawa. Apalagi, mereka tidak mempunyai alas hak. Pemkot Semarang pun cukup bijak karena puluhan tahun mereka mengelola tanpa ada retribusi," ungkapnya.
Upaya pengosongan lahan itu, kata dia, sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP) karena sudah dikirimkan somasi kepada warga untuk segera mengosongkan hingga tenggat waktu 23 Juli ini.
Seperti halnya pengosongan bantaran Sungai BKT dari kios dan lapak PKL yang sudah dilakukan, kata dia, mereka juga sudah bersedia direlokasi dengan jumlah yang lebih banyak dari lahan pertambakan itu.
"Soal ganti rugi, kan dasarnya sudah jelas. Tunjukan alas haknya dulu. Kalau ada, berapa pun pasti diganti sesuai appraisal. Lha ini kan tidak ada alas haknya," kata Endro.