Magelang (Antaranews Jateng) - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi Yogyakarta melakukan sosialisasi perkembangan aktivitas Gunung Merapi kepada masyarakat di Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat.
"Supaya masyarakat menjadi tenang menghadapi aktivitas Merapi," kata Raditya Putra, staf BPPTKG Yogyakarta yang menjadi narasumber kegiatan itu di Gedung Perpustakaan "Muda Bhakti" Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang di Magelang, Jumat.
Selain diikuti puluhan warga dan kalangan relawan penanggulangan bencana setempat, termasuk Kepala Desa Ngablak Ahmad Farihin, hadir pula pada kesempatan itu Asisten Administrasi Umum Sekretaris Daerah Pemkab Magelang yang juga Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Pemkab Magelang Endra Wacana, dan jajaran muspika setempat.
Raditya mengemukakan tentang pentingnya sosialisasi oleh BPPTKG kepada masyarakat, terutama di daerah yang rawan bencana akibat peningkatan aktivitas Gunung Merapi.
Hingga saat ini, kegiatan sosialisasi telah dilakukan kepada masyarakat kawasan lereng Merapi di beberapa desa di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Jateng. Pihaknya juga merencanakan sosialisasi di beberapa desa di Kabupaten Klaten dan Boyolali, Jateng.
Status aktivitas Merapi sejak Senin (21/5) dinaikkan dari normal ke waspada setelah terjadi beberapa kali letusan freatik. Sejak Kamis (24/5) siang setelah terjadi dua kali letusan freatik, BPPTKG menyatakan perkembangan aktivitas Merapi akan memasuki fase letusan magmatis.
Kepada masyarakat, ia menjelaskan hasil pengamatan dan penelitian BPPTKG atas berbagai tanda-tanda aktivitas Gunung Merapi yang wilayahnya meliputi beberapa kabupaten di Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu sehingga statusnya naik dari normal ke waspada.
Ia menyebut skenario Merapi hingga saat ini seperti letusan besar pada 1872 dan 1930 yang lanjutan aktivitas masing-masing ditandai dengan fase letusan freatik sebelum munculnya kubah lava baru.
Setelah letusan 1872 terjadi fase letusan freatik Merapi selama 10 tahun hingga muncul kubah lava baru, sedangkan setelah letusan 1930 terjadi fase freatik selama sembilan tahun.
Pola Merapi setelah letusan 2010, ujarnya, menyerupai letusan 1872 dan 1930.
"Di antara letusan besar ada letusan kecil, yaitu freatik.
Pola dulu sesuai dengan pola sekarang. Merapi masih sesuai dengan polanya. Bentuknya letusan freatik juga sama. Merapi masih `on the track`, dulu juga ada freatik," katanya.
Ia mengatakan perkembangan kondisi Gunung Merapi terkait dengan status waspada saat ini, belum muncul kubah lava baru.
Ia mengatakan pijar merah saat letusan freatik belum lama ini sebagai manifestasi gas dengan suhu tinggi.
"Kalau pijar merah itu sebagai awal munculnya kubah baru, akan lama waktu pijarnya, tetapi yang kemarin itu hanya sekilas habis pijarnya, itu manifestasi gas dengan suhu tinggi," katanya.
Ia menyebut jarak letusan freatik hingga muncul kubah lava bisa saja terjadi dalam waktu yang lama sehingga status Merapi bisa saja diturunkan menjadi normal.
Dalam menghadapi perkembangan letusan freatik Merapi, katanya, masyarakat tidak perlu panik. Kalau mereka panik dan merasa harus mengungsi, bisa dilakukan ke desa yang lebih bawah.
Ia juga mengemukakan pentingnya berbagai persiapan untuk penanggulangan bencana Merapi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
"Jika aktivitas terus, terjadi pertumbuhan kubah dari waktu ke waktu, bisa harian, bisa bulanan. Kalau kubah lava tidak stabil bisa longsor menghasilkan awan panas," katanya.
Asisten Administrasi Umum Sekretaris Daerah Pemkab Magelang Endra Wacana mengatakan sosialisasi perkembangan aktivitas Merapi itu kerja sama pengelola Perpustakaan Desa Ngablak dan BPPTKG Yogyakarta dengan nama kegiatan "Suluh Pustaka Siaga Bencana".
"Ini daerah KRB (Kawasan Rawan Bencana) III, supaya ada pemahaman yang baik masyarakat terkait kondisi Merapi, pemahaman tentang kebencanaan, supaya masyarakat menjadi tangguh bencana," katanya.
"Supaya masyarakat menjadi tenang menghadapi aktivitas Merapi," kata Raditya Putra, staf BPPTKG Yogyakarta yang menjadi narasumber kegiatan itu di Gedung Perpustakaan "Muda Bhakti" Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang di Magelang, Jumat.
Selain diikuti puluhan warga dan kalangan relawan penanggulangan bencana setempat, termasuk Kepala Desa Ngablak Ahmad Farihin, hadir pula pada kesempatan itu Asisten Administrasi Umum Sekretaris Daerah Pemkab Magelang yang juga Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Pemkab Magelang Endra Wacana, dan jajaran muspika setempat.
Raditya mengemukakan tentang pentingnya sosialisasi oleh BPPTKG kepada masyarakat, terutama di daerah yang rawan bencana akibat peningkatan aktivitas Gunung Merapi.
Hingga saat ini, kegiatan sosialisasi telah dilakukan kepada masyarakat kawasan lereng Merapi di beberapa desa di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Jateng. Pihaknya juga merencanakan sosialisasi di beberapa desa di Kabupaten Klaten dan Boyolali, Jateng.
Status aktivitas Merapi sejak Senin (21/5) dinaikkan dari normal ke waspada setelah terjadi beberapa kali letusan freatik. Sejak Kamis (24/5) siang setelah terjadi dua kali letusan freatik, BPPTKG menyatakan perkembangan aktivitas Merapi akan memasuki fase letusan magmatis.
Kepada masyarakat, ia menjelaskan hasil pengamatan dan penelitian BPPTKG atas berbagai tanda-tanda aktivitas Gunung Merapi yang wilayahnya meliputi beberapa kabupaten di Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu sehingga statusnya naik dari normal ke waspada.
Ia menyebut skenario Merapi hingga saat ini seperti letusan besar pada 1872 dan 1930 yang lanjutan aktivitas masing-masing ditandai dengan fase letusan freatik sebelum munculnya kubah lava baru.
Setelah letusan 1872 terjadi fase letusan freatik Merapi selama 10 tahun hingga muncul kubah lava baru, sedangkan setelah letusan 1930 terjadi fase freatik selama sembilan tahun.
Pola Merapi setelah letusan 2010, ujarnya, menyerupai letusan 1872 dan 1930.
"Di antara letusan besar ada letusan kecil, yaitu freatik.
Pola dulu sesuai dengan pola sekarang. Merapi masih sesuai dengan polanya. Bentuknya letusan freatik juga sama. Merapi masih `on the track`, dulu juga ada freatik," katanya.
Ia mengatakan perkembangan kondisi Gunung Merapi terkait dengan status waspada saat ini, belum muncul kubah lava baru.
Ia mengatakan pijar merah saat letusan freatik belum lama ini sebagai manifestasi gas dengan suhu tinggi.
"Kalau pijar merah itu sebagai awal munculnya kubah baru, akan lama waktu pijarnya, tetapi yang kemarin itu hanya sekilas habis pijarnya, itu manifestasi gas dengan suhu tinggi," katanya.
Ia menyebut jarak letusan freatik hingga muncul kubah lava bisa saja terjadi dalam waktu yang lama sehingga status Merapi bisa saja diturunkan menjadi normal.
Dalam menghadapi perkembangan letusan freatik Merapi, katanya, masyarakat tidak perlu panik. Kalau mereka panik dan merasa harus mengungsi, bisa dilakukan ke desa yang lebih bawah.
Ia juga mengemukakan pentingnya berbagai persiapan untuk penanggulangan bencana Merapi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
"Jika aktivitas terus, terjadi pertumbuhan kubah dari waktu ke waktu, bisa harian, bisa bulanan. Kalau kubah lava tidak stabil bisa longsor menghasilkan awan panas," katanya.
Asisten Administrasi Umum Sekretaris Daerah Pemkab Magelang Endra Wacana mengatakan sosialisasi perkembangan aktivitas Merapi itu kerja sama pengelola Perpustakaan Desa Ngablak dan BPPTKG Yogyakarta dengan nama kegiatan "Suluh Pustaka Siaga Bencana".
"Ini daerah KRB (Kawasan Rawan Bencana) III, supaya ada pemahaman yang baik masyarakat terkait kondisi Merapi, pemahaman tentang kebencanaan, supaya masyarakat menjadi tangguh bencana," katanya.