Magelang (Antaranews Jateng) - Pementasan kesenian kontemporer desa "Tunas Gunung" wujud inisiatif seniman petani "Komunitas Lima Gunung" (KLG) Kabupaten Magelang dalam menanamkan kultur desa kepada kaum milenial supaya tidak tercabut dari akar budaya bangsa, kata seorang petinggi komunitas itu, Riyadi.

Pementasan yang berlangsung di panggung terbuka Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada Jumat sore hingga menjelang maghrib itu, diikuti sekitar 16 grup kesenian dengan para anggota kalangan remaja dan pemuda-pemudi di bawah usia 20 tahun dari berbagai tempat, baik di Kabupaten Magelang maupun Kota Magelang.

Mereka pada umumnya menyuguhkan berbagai macam tarian kontemporer desa dengan iringan musik secara langsung dari seperangkat gamelan maupun melalui musik dari rekaman.

Berbagai sajian kesenian dan performa seni yang mereka pentaskan dengan pembawa acara dua remaja "Tunas Gunung", Atika dan Via, antara lain berjudul Tari Tanah, Sulap Seni, Tarian Wolak Walik Jagat, Tembang Mocopat, Tarian Reresik Jagat, Tarian Topeng Rimba, Tarian Rejowinangun, Tarian Padmasari, Tarian Lenggasor, Tarian Kukilo Gunung, Tarian Bregodo Limo, Tarian Goni,Tari Tangguh, Tarian Gedrug Denowo, Tarian Sigraking Prajurit, dan Tarian Topeng Ayu.

Selain setiap kelompok secara bergantian menyuguhkan kesenian masing-masing, mereka juga sekaligus sebagai penonton pergelaran yang juga disaksikan masyarakat sekitar Mendut dan warga dari desa dan kampung grup-grup kesenian mereka, serta keluarga dan kawan-kawan para seniman "Tunas Gunung" itu.

"Jadi pementasan ini memang digarap secara saksama bukan sekadar setiap kelompok mementaskan keseniannya, tapi juga mereka didorong untuk menyaksikan kelompok lain yang sedang pentas. Saling pentas dan saling menonton. Mereka bisa saling menyerap inspirasi dan mengapresiasi," ujar Riyadi yang juga pimpinan Padepokan Warga Budoyo Gejayan Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang di kawasan Gunung Merbabu itu.

Akan tetapi, ujar dia, hal yang utama dalam pergelaran itu bukan sekadar pentas kesenian, melainkan mempertemukan secara langsung kalangan milenial dalam kemasan kultur budaya desa.

"Kalau dalam era digital ini, kaum milenial melalui gawai dan media sosial mereka mudah bertemu melalui dunia maya. Melalui kesenian ini mereka bertemu secara langsung. Bukankah kesenian itu sebagai sarana untuk berkumpul dan bertemu," ujarnya.

Budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut selain berpidato mengenai persoalan kesenian pakem dan nonpakem juga menekankan bahwa kesenian menjadi ajang pertemuan antarmanusia.

"Segala tarian yang mereka pentaskan ini bukan untuk seniman, tetapi untuk `menungsa` (manusia, red.). Ini untuk anak-anak manusia. Untuk pikiran, tenaga, dan spirit, supaya mereka tetap mencintai budaya bangsa sendiri," katanya.

Pemerhati seni dan budaya yang juga pengurus Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kota Magelang Susilo Anggoro menyatakan bangga atas pementasan "Tunas Gunung" oleh kalangan remaja di kawasan itu yang diprakarsai "Komunitas Lima Gunung" (Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).

"Tunas-tunas ini harus kita `openi` (rawat, red.) melalui kesenian. Seni menyatukan kita, mereka bisa melihat dan merasakan guyub rukun dalam seni budaya," ucapnya.

Pewarta : Hari
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024