Purwokerto (Antaranews Jateng) - Pemanasan global dapat dikurangi melalui sektor peternakan, yakni dengan mengendalikan gas methan pada ternak ruminasia, kata dosen Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Prof. Caribu Hadi Prayitno.

"Pemanasan global pada saat ini sudah menjadi permasalahan bagi penghuni bumi. Adanya penipisan lapisan ozon mempunyai dampak yang luas baik bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya, dampak yang luas sebagian besar lebih ke arah dampak negatif terutama bagi kesehatan manusia," katanya saat Sidang Terbuka Senat Universitas Jenderal Soedirman di Gedung Soemardjito, Unsoed Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.

Caribu mengatakan hal itu dalam orasi ilmiah yang dibacakan saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Bidang Bahan Makanan Ternak.

Lebih lanjut, dia mengatakan pada sektor peternakan, ternak ruminansia yang terdiri atas sapi, kerbau, kambing, dan domba menyumbang pemanasan global paling dominan dibandingkan ternak lainnya.

Menurut dia, faktor yang mengakibatkan ternak ruminansia menyumbang pemanasan global karena ternak tersebut menghasilkan gas methan.

"Dampak kerusakan yang ditimbulkan gas methan (CH4) pada lapisan ozon lebih dahsyat 21 kali lipat dibandingkan gas CO2," kata profesor ke-64 Unsoed dan ke-19 Fapet Unsoed itu.

Ia mengatakan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2017 menunjukkan bahwa populasi sapi potong mencapai 16.004.000 ekor, sapi perah 534.000 ekor, kerbau 1.356.000 ekor, kambing 17.847.000 ekor, dan domba 15.717 ekor.

Dengan jumlah populasi tersebut, gas methan yang disumbangkan diperkirakan sebesar 1.421.000, 74 ton gas CH4.

"Padahal energi yang dibutuhkan untuk membuat 1 mol CH4 sebesar 130 Kilo Joule. Artinya, ada panas yang terbuang percuma oleh ternak begitu besar," katanya.

Ia mengatakan upaya untuk mengurangi emisi gas methan ternak ruminansia sudah banyak dilakukan oleh para ahli, baik melalui penambahan bahan kimia, antibiotik, atau lainnya untuk menekan bakteri pembuat gas methan (methanogen).

Oleh karena adanya larangan dari Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat? maupun komisi kesehatan Eropa tentang penggunaan bahan kimia ataupun antibiotik pada ternak maka mulai bergeser penggunaan suplemen penekan methanogen ke bahan-bahan alam.

"Larangan penggunaan bahan kimia dan antibiotik ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk-produk peternakan yang bebas dari residu bahan kimia dan antibiotik," jelasnya.

Caribu mengatakan beberapa peneliti telah menggunakan ekstrak tanaman untuk menekan methanogen ataupun menekan protozoa karena sekitar 25--37 persen methanogen bersimbiosis dengan protozoa.

Namun demikian, kata dia, hasilnya baru dapat menekan emisi gas methan sekitar 45 persen sehingga masih ada sekitar 55 persen gas methan yang menguap ke udara.

"Langkah parsial ini kurang efektif. Kami pada tahun 2015-2017 melakukan upaya untuk menekan emisi gas methan dengan menggabungkan antara penekan methanogen (methan inhibitor) dan pengurangan jumlah protozoa (defaunasi) serta ditambah mineral," katanya.

Hasilnya, kata dia, gas methan turun mendekati 90 persen dan produksi susu naik hampir 40 persen.

Selain itu, pertambahan bobot badan sapi menjadi 1,51 kilogram per hari atau naik hampir 60 persen.

"Dengan kata lain pendekatan gabungan antara agen methan inhibitor, agen defaunasi, serta mineral seperti selenium, chromium, dan seng, jauh lebih efektif dalam menekan emisi gas methan dibandingkan suplemen mandiri seperti agen methan inhibitor atau agen defaunasi pada pengendalian methanogenesis ternak ruminansia. Langkah ini dapat menekan pemanasan global sekaligus meningkatkan produktifitas ternak," katanya. 

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024