Ingar-bingar politik sudah sangat terasa dengan memasuki tahun 2018. Tepat pada tanggal 10 Januari ini adalah deadline pendafaran calon kepala daerah di 171 daerah.

       Demokrasi di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten itu hendaknya menjadi jembatan emas bagi masyarakat untuk mewujudkan daerah masing-masing menjadi lebih baik.

       Pemilihan kepala daerah (pilkada) kali  ini adalah sebuah ujian bagi beberapa asumsi yang mendasari kebijakan pilkada secara serentak bisa berlangsung sportif, tertib, dan aman.

       Hal tersebut bisa terwujud bila masyarakat yang mempunyai hak tepat memilih pemimpinnya. Sebaliknya, jika salah, masyarakat sama saja mempertaruhkan masa depan daerah dan dirinya sendiri. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi masyarakat untuk menjadikan pilkada pada tahun ini momentum memilih pemimpin terbaik.

       Masyarakat harus memilih calon yang diyakini memiliki integritas dan kompetensi untuk membangun, kemudian bisa memberikan solusi bagi daerahnya. Pemilihan figur pemimpin dengan kualifikasi seperti itu penting untuk menjamin kesejahteraan dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Dengan memilih figur pemimpin yang tepat, kita yakin masyarakat Indonesia akan hidup lebih baik dan sejahtera.

       Pasalnya, satu suara akan menentukan nasib daerahnya 5 tahun ke depan. Jangan sampai salah dalam menggunakan hak pilihnya. Begitu kita salah pilih, selama 5 tahun kita bakal menyesal. Jadi, ini penting sekali.

       Realitasnya, tidak sedikit para kandidat yang bertarung menjadikan kompetisi ini sebagai pertarungan uang yang hanya akan menjadikan masyarakat sebagai objek politik uang. Sebaliknya, masyarakat tak tergiur dengan politik uang karena hal itu yang akan menjadikan pemimpin yang dipilihnya terjerat dalam masalah korupsi.

       Maka dari itu, janganlah menjual kedaulatan dan masa depan rakyat karena hal ini bakal merusak demokrasi yang sedang kita bangun selama ini.

       Mari gunakan hak pilih secara baik dan bertanggung jawab dengan menggunakan pertimbangan memilih dengan nurani dan akal sehat. Hal ini penting agar pilkada bisa menghasilkan pemimpin terbaik.

       Kadang kala bisa saja terjadi praktik politik uang yang seharusnya tidak menjadi dasar kita memilih seseorang. Gunakan kebebasan hak pilih dengan maksimal, jangan tertekan oleh iming-iming apa pun.

       Dengan harapan ajang pilkada serentak bisa makin mematangkan demokrasi dan menghasilkan sosok pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat.

       Untuk dapat memilih calon kepala daerah yang membawa perubahan yang lebih baik, kiranya para pemilih perlu mempertimbangkan pilihannya dengan pikiran yang cerdas dan akal pikiran yang jernih.

   
               Evaluasi Demokrasi
  Pilkada kali ini juga menjadi momentum untuk mengevaluasi tidak hanya pelaksanaan prosedural demokrasi, tetapi juga makna yang ada di dalam konsep demokrasi.

       Seperti kita ketahui, secara positif, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang dalam pengertian sederhana berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

       Namun, demokrasi dapat juga kita definisikan secara negatif dalam pengertian pemerintahan oleh rakyat (Dan Nimmo, 2005), yang berarti bukan pemerintahan oleh penguasa tunggal (monarki), bukan atas dasar keturunan dan status (aristokrasi), bukan oleh segelintir orang (oligarki), bukan atas dasar agama atau keyakinan tertentu (teokrasi), dan terakhir bukan oleh segelintir orang yang memerintah dengan kekerasan (otoritarianisme).

       Apakah kemudian demokrasi itu adalah sebuah sistem pemerintahan yang sempurna? Apakah demokrasi di Indonesia makin baik atau justru makin mundur? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan ribuan tahun yang telah dipikirkan oleh para ahli filsafat seperti Plato. Ada banyak persoalan metodologi untuk mengevaluasi jalannya demokrasi.

       Namun, sebagai manusia, sayangnya kita tidak dapat menunggu jawaban yang sempurna karena sebagai masyarakat kita berkembang biak dan berevolusi. Maka, masyarakat harus memutuskan dengan segala kelebihan dan kekurangannya untuk memilih jalan demokrasi yang dianggap baik, untuk membentuk sebuah pemerintahan yang adil, dan pilkada serentak adalah salah satu contohnya yang akan kita lakukan.

       Mekanisme demokrasi yang baik ternyata juga tidak serta-merta menghasilkan pejabat publik yang baik pula, baik yang berada di wilayah eksekutif maupun legislatif, sehingga hal ini bisa menimbulkan rasa trauma para pemilih. Misalnya, dalam pemilihan beberapa tahun yang lalu, masyarakat harus memilih calon yang tidak mereka kenal. Masyarakat merasa "dipaksa" untuk berpartisipasi dalam pemilu.

       Dipaksa karena masyarakat hanya bisa memilih dari pilihan calon yang sudah ada; terlepas orang itu dikenal atau tidak, punya catatan gelap atau tidak, disukai ataupun tidak. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang peduli dengan demokrasi berupaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang enggan datang ke TPS dengan berbagai program kampanye. Mereka memberikan sejumlah argumen atau rasionalitas agar dapat memotivasi pemilih untuk datang.

       Fenomena ini sebetulnya juga terjadi di banyak negara. Namun, bagi kita yang tengah menuju transisi demokratis, hal ini tantangan yang serius. Secara internasional, demokrasi Indonesia menjadi contoh negara-negara di Asia Tenggara yang masih dalam proses membuka sistem politiknya lebih terbuka.

       Dalam pilkada serentak kali ini, kita diberikan kesempatan untuk memperbaiki kelemahan yang terjadi dalam sistem demokrasi kita. Rasa kecewa kita sebagai masyarakat tentu tidak dapat dipulihkan dengan segera. Namun, tidak menggunakan hak kita pada hari ini untuk memilih pasangan calon yang tersedia juga tidak akan membantu menyelesaikan masalah.

       Paling tidak, kita dapat menghukum untuk tidak memilih pasangan calon dari partai yang bermasalah dan partai yang jelas tidak mendorong demokrasi ke arah yang lebih baik. Di sisi lain, para politikus harus menyadari bahwa kekecewaan masyarakat dapat menjadi dorongan tumbuhnya aliran radikal, baik ekstrem kanan maupun kiri.

       Kita juga harus ingat bahwa demokrasi tidak berhenti di tempat pemungutan suara (TPS), tetapi terus berlangsung dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh sebab itu, kita harus terus mengawalnya dalam segala bentuk partisipasi yang dapat kita lakukan. Apa yang akan terjadi pada tahun 2018 adalah pengantar untuk memasuki tahun politik 2019. Dengan 171 pilkada, disusul dengan perekrutan politik partai-partai untuk pendaftaran caleg pusat, lalu pasti ada kerumunan tim sukses Pemilihan Umum Presiden (Pilpres).

       Baik pada pilkada pada tahun 2018 maupun Pemilu 2019 harus menjadi pembelajaran penting. Sesungguhnya apabila kita salah pilih orang, yang sedang terjadi bukan prinsip perubahan sosial dalam konteks masyarakat sipil, melainkan yang terjadi sesungguhnya hanyalah barter, hadiah, atau kalau lebih tegas lagi "pemanis untuk membungkam representasi dari masyarakat sipil" sebagai hadiah atas energi dan upayanya dalam memenangkan kandidat. Itu berlaku untuk siapa pun yang kelak memenangi kontestasi pemilu berupa perebutan kekuasaan.

       Pada dasarnya, ketika yang diberi hadiah oleh rezim adalah bukan orang yang tepat, bukan lembaga yang tepat, bukan pula warga negara yang tepat karena hadiah itu untuk orang berupa jabatan, bukan agenda perubahan sosial, bukan kebijakan dan program yang prorakyat, dan itulah kenyataan yang terjadi berulang di setiap pemilu.

       Maka, yang pasti kemudian terjadi lagi dan lagi adalah perebutan dan pencaplokan sumber daya alam di mana saja, sementara kebijakan prorakyat, propetani, dan proburuh nihil. Cara pandang pemerintah terhadap BPJS tetap sama. Akankah begitu terus? Kita semua yang ikut menentukan. Selamat berpesta demokrasi.

*) Penulis adalah staf pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM)  Semarang. 

   


Pewarta : Suryanto, S.Sos., M.Si. *)
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025