Selama hampir 1 bulan belakangan ini masyarakat disuguhi  informasi dari berbagai media massa tentang cuaca buruk/ekstrem yang berakibat pada curah hujan tinggi, banjir, dan tanah longsor di berbagai daerah.

        Dari media pula, kita mengetahui bahwa kondisi demikian diperkirakan masih akan terjadi pada pergantian tahun 2018.

        Berbagai informasi tentang cuaca ekstrem dengan berbagai dampak yang muncul bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) lewat media massa yang mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bahkan di seluruh wilayah Pulau Jawa.

        Hal ini disebabkan adanya siklon tropis Cempaka mengakibatkan terjadinya perubahan pola cuaca di sekitar lintasannya, yakni di wilayah perairan selatan Jawa Tengah. Siklon tropis Cempaka membawa dampak pada beberapa cuaca ekstrem. Potensi hujan lebat di wilayah Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.

        Tidak kalah menariknya sajian media massa ketika terjadi gempa berskala 6,7 skala Richter di Jawa Barat yang juga dirasakan di Jateng dan DIY.

        Ketika terjadi gempa pada hari Jumat (15-12-2017) sekitar pukul 23.43 WIB itu, keesokan harinya masyarakat bergegas mencari informasi selengkapnya di berbagai media, di antaranya televisi, radio, maupun di media "online".

        Peran media massa memang tidak dapat diabaikan terkait dengan peristiwa yang terjadi dalam  masyarakat. Masyarakat dapat memperoleh informasi secara luas sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat dari berbagai sumber, terutama dari media media massa, apakah dari siaran televisi dan radio (media elektronik), surat kabar dan majalah (media cetak), komputer pribadi, atau bahkan dari internet.

        Bagi media massa, informasi bencana bisa menjadi peluang untuk dijadikan materi informasi yang tidak pernah kering, terutama karena kandungan nilai beritanya yang tinggi yang menjadi perhatian publik.

        Terkait dengan liputan bencana, ada tiga fase pemberitaan yang dapat dieksplorasi media, yakni prabencana, saat bencana terjadi, dan pascabencana.

        Pada fase prabencana, media massa harus terus-menerus menyediakan informasi-informasi yang dapat menjadi pegangan masyarakat saat berhadapan dengan bencana alam. Informasi yang disediakan oleh media massa akan menjadi semacam peringatan dini bagi masyarakat yang mengingatkan bahwa masyarakat berada di wilayah yang rawan bencana, dan harus waspada bersiap setiap saat untuk menghadapinya.

        Jika diamati dari berbagai peristiwa bencana yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, baru pada fase ketiga (pascabencana) media massa, khususnya televisi di Indonesia, memberikan perhatian penuh. Stasiun televisi beramai-ramai mengerahkan kru dengan personel ekstra beserta peralatan lengkap untuk diterjunkan langsung di lapangan, menyiarkan berita bencana dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi.

        Persoalannya, setiap kali menyaksikan liputan bencana di televisi, masyarakat kadang lebih banyak disuguhi tayangan yang menampilkan sisi melodrama bencana, mulai gambar-gambar isak tangis, ratapan, kepanikan, sampai ekspos besarnya angka-angka jumlah korban harta maupun nyawa.

        Mayat yang ditemukan di tengah puing-puing gempa, misalnya, juga disorot sedemikian rupa dengan maksud untuk menguras rasa iba. Apalagi, ditampilkan dengan jelas bagaimana penanganan yang lambat, spekulatif, bahkan amatiran.

        Media dalam posisi ini berpotensi menjadi pembawa teror informasi karena liputan yang disajikan menimbulkan rasa trauma bagi warga. Hal ini bisa kita lihat bagaimana kerapnya pemberitaan di media massa terkait dengan isu bencana susulan atau bencana lebih besar yang berkembang di tengah masyarakat tanpa melibatkan narasumber yang relevan.

   
               Meresahkan
        Pada pemberitaan terkait dengan peristiwa bencana, misalnya bencana gempa bumi di Tasik Malaya, beberapa waktu yang lalu, apa yang dipraktikkan televisi justru oleh sebagian masyarakat dinilai meresahkan.

        Dramatisasi dan pengambilan gambar-gambar jarak dekat akibat gempa yang mengerikan di layar kaca melebihi citra sesungguhnya tentang realitas di lokasi kejadian.

        Masyarakat di sekitar kejadian yang semula tenang justru terprovokasi oleh informasi masyarakat di daerah lain yang panik menyaksikan tayangan televisi dan mengatakan betapa bahayanya peristiwa gempa sebagaimana citra yang mereka tangkap di layar kaca.

        Ironisnya, seperti ambivalensi hitam dan putih, pada saat yang sama, televisi membawa nuansa yang berbeda dalam materi siaran, bahkan cenderung kontradiktif.

        Pada saat suasana duka gempa dan bencana banjir di lokasi terdampak bencana dan sekitarnya belum sirna, masyarakat sudah dibombardir tayangan drama sandiwara di dunia peradilan tindak pidana korupsi KTP elektronik yang merugikan negara triliunan rupiah. Selain itu, kasus korupsi BLBI dengan kerugian negara ratusan triliun rupiah.

        Bagaimana dengan kondisi para korban di tengah kedukaan dan nestapa koban gempa yang masih telantar dan tidur di tenda-tenda, sementara di pihak yang lain, yaitu para koruptor hidup bergelimang materi, berfoya-foya dari hasil korupsinya.

        Jika demikian, apakah media harus mengalihkan perhatian dan memberitakan salah satu aspek saja, misalnya berita yang baik-baik saja untuk menghibur korban bencana? Tentu saja tidak. Pilihan-pilihan fokus berita tersebut adalah keniscayaan dalam dunia industri media.

        Penayangan berita mana yang dipilih melibatkan banyak agenda, mulai dari kepentingan bisnis murni (ekonomi) hingga demi kepentingan lain, seperti kedekatan politik atau sekadar pencitraan diri (image building) lembaga.

        Jika dipandang dari segi hak publik untuk memperoleh banyak informasi secara bebas, tentu sah-sah saja televisi memilih fokus pemberitaan seperti yang diinginkannya. Persoalannya orientasi kepada publik harus tetap dinomorsatukan, tentunya dengan mengindahkan norma dan etika penyiaran.

        Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, sebenarnya telah diatur praktik penyiaran yang elegan dan tidak menimbulkan efek traumatik. Hal ini sudah diatur dalam Pedoman Perilaku dan Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). Lembaga penyiaran wajib menghormati hak privasi (hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi) subjek dan objek berita (Pasal 19).

        Guna melindungi privasi korban bencana dan masyarakat, paling tidak lembaga penyiaran harus mempertimbangkan empat hal, yakni pertama, peliputan subjek yang tertimpa musibah harus dilakukan dengan mempertimbangkan pemulihan korban dan keluarganya.

        Kedua, lembaga penyiaran tidak boleh menambah penderitaan orang yang sedang dalam kondisi gawat darurat, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa untuk diwawancarai atau diambil gambarnya.

        Ketiga, gambar korban yang sedang dalam kondisi menderita hanya dibolehkan dalam konteks yang dapat mendukung tayangan.

        Keempat, lembaga penyiaran harus menghormati peraturan mengenai akses media yang dibuat oleh rumah sakit atau institusi medis lainnya.

        Selain itu, dalam pemberitaan bencana, paling tidak wartawan harus memperhatikan beberapa hal, misalnya, apakah dalam liputan bencana tersebut disiratkan langkah-langkah antisipasi bencana berikutnya? Apakah ada upaya untuk memberikan kesan tenang namun tetap waspada? Apakah cukup suara-suara yang mewakili pemangku kepentingan utama, seperti BMG, BPPTK, pemerintah, LSM, sukarelawan atau masyarakat, dan sebagainya? Semuanya harus mendapatkan tempat secara proporsional.

   
*) Penulis adalah pengajar Komunikasi Politik pada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.


Pewarta : Suryanto, S.Sos., M.Si. *)
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024