Semarang, ANTARA JATENG - Pakar transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menyarankan untuk memaksimalkan bus rapid transit (BRT) Transsemarang ketimbang membangun light rapid transit (LRT).

"Bandung dan Surabaya saja yang sudah memiliki perencanaan matang untuk LRT sejak 5 tahun lalu saja sekarang ini belum apa-apa, apalagi Semarang. Biayanya `kan juga besar sekali untuk membangun LRT," katanya di Semarang, Rabu.

Menurut dia, moda transportasi berbasis rel itu akan sulit terwujud di Kota Semarang dalam waktu dekat sehingga lebih baik jika Pemerintah Kota Semarang memaksimalkan BRT Transsemarang yang sudah ada sejak lama.

Pembangunan moda transportasi berbasis rel, termasuk LRT, diperkirakan butuh anggaran sekitar Rp500 miliar/kilometer, belum termasuk pengadaan perangkat pendukungnya, seperti sinyal dan jaringan listrik.

"Kalau Semarang mau membangun jalur LRT sejauh 30 km saja, berarti berapa banyak itu? Butuh anggaran sampai Rp15 triliun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Semarang setiap tahun hanya sekitar Rp4 triliun," katanya.

Diakui mantan Kepala Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata Semarang itu, pembangunan LRT atau moda sejenis memang tidak bisa hanya ditanggung pemerintah kota, tetapi harus didukung juga pemerintah pusat.

Djoko menilai sebaiknya keberadaan BRT Transsemarang yang selama ini sudah beroperasi di enam koridor dioptimalkan untuk lebih menjangkau kawasan perumahan dan permukiman, khususnya di wilayah pinggiran.

Ketimbang membangun LRT yang membutuhkan anggaran sangat besar, lanjut dia, keberadaan BRT Transsemarang yang selama ini sudah dimanfaatkan masyarakat sebaiknya diperluas untuk lebih menjangkau pelayanannya kepada masyarakat.

Untuk mengatasi persoalan kemacetan di Kota Semarang, kata dia, keberadaan BRT Transsemarang bisa diandalkan jika Pemkot Semarang mau menggarap serius secara menyeluruh, termasuk pengaturan angkutan "feeder" (pengumpan).

Ia mengatakan bahwa "feeder" harus disiapkan untuk menghubungkan akses transportasi masyarakat di kawasan permukiman di pinggiran dengan "shelter" BRT Transsemarang, diperkuat dengan penambahan koridor-koridor baru.

"Ya, memang harus ada angkutan `feeder` untuk menghubungkan permukiman dengan `shelter-shelter` BRT Transsemarang. Ketimbang untuk membangun LRT yang biayanya besar, lebih baik untuk membuka koridor baru BRT Transsemarang," katanya.



Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor :
Copyright © ANTARA 2024