Di pengujung tahun 2017 masyarakat disuguhi dagelan politik yang mempertontonkan kekonyolan dalam sidang pertama Setya Novanto, mulai dari pura-pura sakit, jadi bisu, hingga diare.

       "Kekonyolan" bahkan sudah dimulai saat mantan Ketua DPR RI itu "melarikan diri", menabrak tiang listrik, sampai "pura-pura" sakit. Entah dagelan apalagi yang akan diperlihatkan pada sidang-sidang mendatang dalam kasus korupsi KTP elektronik.

       Bukan Setya Novanto namanya kalau tidak bisa membuat drama sekaligus sensasi atau bahkan komedi dalam setiap sepak terjangnya. Saat sudah dijadikan pesakitan oleh KPK saja, dia masih bisa membuat banyak orang ternganga-nganga.

       Kasus korupsi KTP-el hanyalah sebagian dari sekian banyak kasus yang terjadi di negeri ini. Banyak kasus korupsi besar di negeri yang menggerogoti uang rakyat, misalnya kasus BLBI mencapai kurang lebih Rp600 triliun, Century hampir Rp6 triliun, sampai sekarang belum jelas kasusnya.

       Perilaku korupsi memang sudah membudaya terjadi di hampir semua lini, baik di DPR/legislatif termasuk juga DPD, eksekutif, maupun yudikatif. Lihat saja kasus korupsi KTP-el yang melibatkan legislatif, eksekutif, yudikatif, parpol, dan pihak swasta.

       Tindak korupsi masuk dalam wilayah extraordinary crime (kejahatan yang luar biasa) yang menyangkut korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan terorisme. Kalau korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary), penanganannya juga harus dengan cara-cara yang luar biasa. Namun, sampai saat ini kita lihat masalah ini sama sekali belum maksimal.

       Masalah narkoba dan terorisme sudah diatur dengan sanksi tegas, yaitu hukuman mati. Sebagaimana diketahui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengamanatkan bahwa pembenaran terhadap kebijakan penerapan pidana mati, secara formal, dapat dirujuk pada ketentuan Pasal 10 KUHP yang menyatakan bahwa pidana mati merupakan salah satu jenis pidana pokok yang diberlakukan di Indonesia. Sudah beberapa teroris  yang menjalani hukuman mati ini sebagai langkah pemerintah untuk menciptakan efek jera bagi para pelaku.

       Selain itu, UU No. 35/2009 tentang Narkotika yang mengatur sanksi pidana bagipelaku penyalahguna narkoba. Upaya untuk memberantas Kejahatan Narkoba menghadirkan undang-undang yang memiliki sanksi pidana, yaitu sebagai pengguna dan/atau pengedar. Terhadap pelaku sebagai pengedar dikenai sanksi pidana yang paling berat berupa pidana mati, seperti yang diatur dalam Pasal 114 Ayat (2). Sanksi pidana mati merupakan hukuman yang terberat dalam hukum pidana di Indonesia diharapkan penerapannya dilaksanakan secara maksimal, melihat dampaknya yang sangat merugikan negara, terlebih individu itu sendiri.

    
               Koruptor Dihukum Mati?
  Bagaimana dengan kasus korupsi? Sampai sekarang belum tersentuh dengan undang-undang yang mengancam para pelaku dengan hukuman mati. Pemerintah lewat Kementerian Hukum dan HAM saat sedang menggodok rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur sebatas perampasan aset koruptor dengan harapan undang-undang itu akan timbul efek jera.

       Pidana mati dalam tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut terdapat adanya alasan pemberatan pidana. Pidana mati itu dapat dijatuhkan bilamana ada alasan pemberatan pidana, yaitu apabila melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 2 Ayat (2). Pasal 2 Ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

       Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

       Perihal pemberlakuan hukuman mati di Indonesia memang baru sebatas menjadi wacana yang terus digulirkan beberapa tahun terakhir. Beberapa pihak mengusulkan untuk dihapuskan karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Sementara itu, pihak lain yang tidak kalah garang berteriak tetap dipertahankan karena hukuman mati dirasa akan menimbulkan efek jera bagi masyarakat lainya sehingga takut untuk berbuat jahat. Penghapusan hukuman mati akan meningkatkan angka kejahatan.

       Revisi terhadap UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga tidak mewacanakan hukuman mati sehingga menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.

       Sejumlah kalangan menuding jika disahkan undang-undang tersebut justru menyuburkan tindak pidana korupsi.

       Sejak hukum pidana berlaku di Indonesia, kemudian dicantumkan sebagai Wetboek van Strafrecht vor Nederlandsch Indie, tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak meghendaki adanya gangguan terhadap ketenteraman yang sangat ditakuti umum.

       Dengan suatu putusan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan lain yang diancam dengan hukuman sama, diharapkan masyarakat menjadi takut. Di samping itu, suatu sikap tegas yang menyatakan bahwa dalam mempertahankan tertib hukum dengan mempidana mati seseorang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan seharusnya ada di tangan pemerintah.

       Oleh karena itu, hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilanya.

       Seorang megakoruptor lebih jahat dari tentara yang membunuh demonstran.

       Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis, bahkan beberapa kasus terstruktur.

       Pelanggaran HAM di berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis. Begitu pula  para koruptor, sebagai contoh dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menghancurkan  perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak menikmati malah ikut menanggung kesengsaraan berkepanjangan sampai detik ini.

    
              Masyarakat Geram
  Kegeraman masyarakat cukup beralasan, mengingat banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar rupiah akhirnya divonis bebas.

       Para koruptor itu tetap bisa bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum. Meskipun ada yang berpendapat bahwa tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dan efek jera bagi para koruptor. Namun, ada beberapa bukti yang dilakukan di beberapa negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor.

       Sebagai contoh negeri Cina. Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati akibat tindak pidana korupsi. Di akhir 2000, Cina membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Cina di Provinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati.

       Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing, kemudian dijadikan shock therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina.

       "Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai," demikian semboyan yang terus didengungkan pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM Zhu Rongji yang dikenal sebagai salah satu Mr. Clean.

       Tradisi hukuman mati didukung Presiden Xi Jinping, orang paling berkuasa dan terkuat sepanjang sejarah modern Cina. Bahkan, para pendahulunya pun berhasil dia tandingi.

       Ia adalah sosok yang hebat dan berpengaruh sejak Deng Xiaoping meski tetap saja kekuasaannya punya batas. Kampanye antikorupsinya meluas ke seluruh negeri dianggap sebagai upaya mengonsolidasikan kekuatannya dan membuatnya makin terkenal di kalangan rakyat jelata.

       Setelah dideklarasikan sebagai core leader di akhir 2016, para analis politik mengatakan Xi bersiap mengubah tradisi dua dekade Cina dan bakal tetap berkuasa setelah masa kedua kepemimpinannya sebagai Ketua Partai Komunis berakhir pada tahun 2022.

       Tampaknya Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Selain komitmen pemerintah, terutama DPR yang sampai saat ini belum ada inisiatif membuat undang-undang yang mengatur tentang hukuman mati bagi koruptor.

       Komitmen rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor dengan memberi hukuman rendah, memberi remisi, dll.

       Bahwa pengertian hak untuk hidup dalam Pasal 28 i UUD 1945 adalah hak seseorang untuk tidak boleh dibunuh secara semena-mena. Lalu, bagaimana dengan para koruptor yang menimbulkan domino efek, telah melakukan kejahatan ekonomi, membuat rakyat kian susah? Tidak pantaskah hukuman mati bagi mereka yang telah menguras uang negara dan menyengsarakan masyarakat?

*) Penulis adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Pewarta : Suryanto, S.Sos., M.Si. *)
Editor :
Copyright © ANTARA 2024