Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memastikan sidang perdana kasus korupsi dengan tersangka Setya Novanto bakal digelar pada 13 Desember 2017. 

Kabar ini sekaligus menegaskan bahwa KPK sudah memiliki bukti cukup untuk menyeret Setnov yang sebelumnya oleh pendukungnya dianggap tidak terlibat dalam skandal gigakorupsi proyek pengadaan KTP elektronik senilai Rp5,9 triliun.

Kasus yang membelit Setnov memang meliuk dan sarat drama dengan klimaks mobil yang ditumpangi menabrak tiang listrik. Sebagai Ketua Partai Golkar dan Ketua DPR, tentu cukup banyak penggawa yang membelanya termasuk politikus, pakar hukum, dan tentu pengacaranya.

Pewarta senior dan dosen sejumlah perguruan tinggi di Jawa Tengah, Amir Mahmud NS, dalam buku "Adab Jurnalistik: Serpihan Kuliah Hukum & Etika Media" (2017) memotret salah satu segmen dalam adegan drama pro-kontra Setnov dari seorang Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR, yang secara konsisten membela Setnov.

Fahri, dengan pengikut 645.000 pengikut di akun Twitternya, pernah menyatakan bahwa kasus KTP elektronik yang sedang ditangani oleh KPK adalah omong kosong. KTP elektronik, kata Fahri, hanya permainan tiga orang yakni M. Nazaruddin, penyidik KPK, Novel Baswedan, dan Ketua KPK Agus Rahardjo.

Sebagai anggota DPR yang punya hak imunitas, opini Fahri tentu sah. Apalagi selama ini opini-opininya memang sering kontroversial.

Barangkali unsur kontroversial itulah yang mendorong banyak media mengutipnya. Apa pun, sejak zaman mahasiswa hingga menjadi politikus di DPR, Fahri termasuk elite dengan kategori "name makes news" sehingga ia dianggap layak pula diberi panggung.

Namun, itulah yang dipersoalkan Amir. "Pernyataan Fahri jelas opini yang menjadi paradoks karena kasus KTP elektronik sudah berproses menetapkan sejumlah tersangka... Konstruksi opini tersebut saya namai sebagai 'opini liar' (hal.110).

Di panggung politik dan jagad dunia maya yang senantiasa riuh, tentu Fahri tidak sendiri. Sejumlah sosok yang bergerilya mencari panggung dengan opini yang 11-12 dengan Fahri, juga bisa kita telusuri di mesin pencari elektronik. Viktor Laiskodat, anggota DPR dari Fraksi Nasdem, salah seorang di antaranya.

Apa pun medianya, baik cetak, audio visual, atau daring, semuanya terikat etika dan prinsip-prinsip jurnalisme yang sama. Yang membedakan hanya platformnya.  

Namun, di zaman media daring beradu kecepatan, dan mungkin berlomba juga menyajikan berita kontroversial demi mengeruk hit, berita sensasional sekaligus kontroversial memang menawarkan gimik seperti itu. Apalagi berita tersebut hampir bisa dipastikan memicu pro-kontra dengan endapan data berupa "likes" dan komentar-komentar yang tidak kalah liarnya. 

Menurut Amir, idealnya media tidak mudah mengikuti irama gendang informasi, terutama ketika nalar kritis newsroom paham ada opini yang sedang dibangun oleh seseorang atau sekelompok orang.

Maka, sulit untuk memahami, mengapa banyak media yang memuat pernyataan Fahri Hamzah (hal. 111).

Buku yang ditulis Amir yang juga Direktur Pemberitaan Suara Merdeka ini memang merupakan kumpulan dari artikel yang ditulisnya di harian tempat ia bekerja. Kendati demikian, ada alur yang jelas tentang pentingnya pekerja media untuk selalu menjalankan profesi berlandaskan etika.

Pada bagian lain, buku ini juga menyoroti bagaimana seharusnya relasi perusahaan sebagai institusi bisnis dengan redaksi yang memiliki ruang lebar untuk memelihara idealisme untuk menomorsatukan kebenaran yang diyakini dan menyuarakan kepentingan publik.

Dua trek, yakni ruang idealisme yang terjaga dan ruang bisnis yang tepercaya, agaknya menjadi adonan yang tidak bisa saling mendesak, namun idealnya saling melengkapi.

Tak sedikit media yang membebankan tugas-tugas nonredaksi kepada wartawannya karena perusahaan tetap harus hidup. Dan, justifikasinya, justru untuk menjaga keberlangsungan idealisme kejurnalistikannya. Konflik kepentingan di balik tugas-tugas komplementer tersebut tentu tidak terhindarkan.

Ke-kaffah-an kompetensi (wartawan), pasti terusik oleh tugas-tugas komplementer tersebut. Performa etis pun, pada momen-momen tertentu bisa tertindih oleh sulur-sulur tren bisnis (hal.106-107).

Kita, sangat mungkin, sudah merasakan apa yang dirisaukan oleh Amir tersebut. Namun, boleh jadi sebagian dari kita sengaja menyembunyikan kepala seperti halnya burung unta ketika melihat bahaya mengancam.***

Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor :
Copyright © ANTARA 2024