Magelang, ANTARA JATENG - Para pegiat seniman petani Komunitas Lima Gunung secara khusus berkumpul di ruang pertemuan mereka di Studio Mendut, sekitar 300 meter timur Candi Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, malam itu hingga menjelang pergantian hari.

Tempat pertemuan di studio seni budaya itu mereka patenkan dengan sebutan kultural sebagai ruang "Sendang Pitutur", tempat untuk siapa saja mereguk segala petuah, gagasan, berbagi pengalaman, mengasah nurani dan pemikiran, atau mengungkapkan suara batin atas berbagai persoalan lokal, nasional, maupun isu-isu global.

Dengan dikelilingi aneka koleksi seni, seperti wayang kulit, wayang golek, wayang serangga, beberapa perangkat gamelan, topeng, patung, dan lukisan, serta buku-buku pustaka di "Sendang Pitutur", mereka masing-masing bergantian mengungkapkan hal yang mengejutkan selama ini.

Sejak beberapa bulan terakhir, para pegiat itu terkejut karena pemimpin tertinggi dan inspirator utama komunitas yang juga budayawan Sutanto Mendut memberitahu kehendaknya untuk umrah. Pergi ke Tanah Suci melaksanakan sunah Rasul Nabi Muhammad SAW.

Keterkejutan masing-masing menandakan bukan saja karena pemimpin gerakan kebudayaan mereka selama ini terkesan makin mendekatkan diri kepada hal yang Terkuasa dan Tak Terhingga dengan diidentikkan keberangkatan ke Tanah Suci.

Namun, keterkejutan itu sesungguhnya menandakan bahwa setiap pegiat komunitas pun, dengan cara masing-masing, selama ini melakukan pencarian terhadap hal tentang keilahian yang menenteramkan, mencerahkan, mendamaikan, dan indah.

Segala riuh kreatif, tantangan, dan siasat aktivitas berkesenian, berkebudayaan, meneruskan dan mengemas warisan tradisi leluhur mereka yang identik dengan nilai-nilai desa serta gunung, tidak lepas dari usaha menggali hal yang tak teraba atau bukan bersifat material.

Namun, segala yang berlatar belakang nilai-nilai kesejukan, kedamaian, kesegaran, kemanusiaan, kekaguman, inspiratif, dan mengelokkan, termasuk tentang rabaan menyangkut kebenaran tertinggi dan transendental.

Sutanto Mendut dipandang sebagai sosok budayawan dengan pemikiran yang terbuka, pluralis, independen, dan karakternya yang merdeka. Ia juga pemimpin yang selama ini menjadi rujukan dalam gerakan kebudayaan desa serta gunung.

Dalam berbagai pidato kebudayaan yang dilontarkan Sutanto Mendut maupun perbicangan harian dengan berbagai kalangan, terkadang ia terkesan "ngawur". Kalimatnya meloncat-loncat dari satu objek ke materi isu lain secara campur aduk, namun isinya bernas dan kritis. Mendengarkan Sutanto berbicara, tidak akan terelakkan oleh hadirnya gelak tawa, senang, dan sinis, namun pikiran penyimak menjadi segar.

Orang umum, biasanya tak gampang menangkap maksud isi pidato dan omongannya seketika. Namun, justru itulah yang membuat orang menjadi kritis dan beroleh kebebasan untuk menerjemahkan segala omongan tokoh budayawan nasional yang satu ini, termasuk melahirkan kehendak bertanya-tanya secara kritis lebih lanjut.

Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto meskipun belum pernah ke Tanah Suci, namun memiliki pengetahuan yang baik tentang hal ihwal untuk orang yang hendak berhaji. Ia berbagi pengetahuannya tentang berhaji di forum komunitas malam itu.

Sementara, Sujono, Ketua Sanggar Batara, Dusun Jurang, Kecamatan Bandongan, yang belum lama ini pensiun dari dinas militernya di Rindam IV/Diponegoro di Kota Magelang, mengemukakan bahwa Sutanto Mendut menanggapi secara keimanan tentang panggilan Allah SWT untuk ke Tanah Suci.

Ketua Sanggar Warangan Merbabu Handoko dengan gaya bicara yang oleh kawan-kawan di komunitas itu digojeki sebagai "tidak mutu" pun, mengungkapkan harapan kepada Sutanto untuk menekan kebiasaan "mengece" (mengejek) dalam pidato maupun perbincangan harian.

Namun, ungkapan itu dibantah melalui pendapat berbeda pelukis Cipto Purnomo. Ia justru ingin Sutanto tetap "mengece", menggembirakan, dan inspiratif pascaumrah.

Pangadi, Ketua Sanggar Wonoseni yang juga Kepala Dusun Wonolelo, Kecamatan Bandongan, mengingatkan Sutanto supaya berziarah ke makam orang tuanya sebelum berangkat umrah.

Sehari menjelang keberangkatan dari Mendut ke Tanah Suci pada Kamis (29/11), Sutanto berziarah ke makam kedua orangnya di salah satu pemakaman umum di Kota Magelang. Foto-foto ziarahnya diunggah ke grup media sosial khusus Komunitas Lima Gunung.

Ungkapan kritis dengan bahasa Jawa, Senin (27/11) malam itu, di "Sendang Pitutur" Studio Mendut Kabupaten Magelang, keluar dari seniman petani anggota Sanggar Andong Jinawi, Sutopo.

Dikaitkannya keberangkatan umrah Sutanto dengan ucapan pengakuan sang tokoh sentral komunitas tersebut selama ini yang antara lain belum rajin shalat, tidak jelas bagaimana kewajiban membayar zakat, dan juga tidak pernah lengkap puasanya.

"`Kulo nggih kaget. Niki, ibarate ono sega ono lawuh. Kok dijujuk lawuhe!` (Saya juga keget, ibaratnya ada nasi ada lauk pauk. Ini langsung diambil lauknya. Maksudnya tiba-tiba Tanto berangkat haji umrah, red.)," ucapnya yang membuat suasana forum itu tertawa segar.

Sutanto menyimak dengan baik semua yang disampaikan para pegiat komunitas yang dirintisnya sejak lebih dari 17 tahun lalu itu.

Peraih Gus Dur Award 2016 bersama Basuki Tjahaja Purnama dan K.H. Mustofa Bisri itu, mengaku hatinya "nggeregel" (berguncang) mendengar semua yang diungkapkan para pegiat komunitas, sebagaimana suasana "nggeregel" ketika akhirnya ia mengambil keputusan berangkat umrah.

Selama perjalanan hidupnya, disebutnya sebagai banyak "kekarepan" atau keinginan dan cita-cita. Akan tetapi, hal yang dijumpai dan kemudian disyukuri justru banyak kebaikan yang tidak "dikarepke".

"Saya syukuri karena kehendak Tuhan. Karena bagaimanapun juga kebenaran itu hanya dari Tuhan. Manusia hanya berusaha mencarinya, termasuk melalui jalan beragama itu juga bagaimana usaha mencari Tuhan," ucapnya.

Anjuran dari banyak sahabat Sutanto tentang berangkat haji sejak lama diperolehnya. Namun, sejak lama pula ia banyak mempertimbangkan dan lebih banyak memutuskan untuk menolak karena mengganggap sebagai belum saatnya.

Keputusan kini untuk berangkat umrah pada usia 63 tahun, juga menjadi kegembiraan para seniman petani komunitas yang selama ini dikelola dan menjadi ajangnya menumpahkan pergulatan pemikiran kebudayaan dan inspirasi untuk gerakan kesenian dan kebudayaan.

Banyak negara telah dikunjungi Sutanto Mendut sejak usai muda menjadikan wawasan dan pemikirannya yang luas itu ditumpahkan kepada komunitasnya. Akan tetapi, umrahnya ini lebih menekankan kepada perjalanan untuk menemukan "nggeregel" batin yang personal karena tujuannya bukan wisata, melainkan ke Tanah Suci.

Di "Sendang Pitutur" malam itu, selain mendoakan Sutanto yang akan umrah dan berbagi ungkapan hati atas peristiwa kebersamaan komunitas, para pegiat juga merefleksikan perjalanan gerakan kesenian dan kebudayaan, sebagai pencarian terhadap "Tan Kena Kinaya Apa".

Pimpinan Padepokan Seni Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Sitras Anjilin mengartikan "Tan Kena Kinaya Apa" sebagai sesuatu yang tak terumpamakan, sedangkan dalang wayang kontemporer Komunitas Lima Gunung, Sih Agung Prasetyo, menyebut sebagai hal yang tidak tersentuh, tidak dapat dipikirkan, dan di luar akal manusia.

Perjalanan berhaji kecil yang dilakukan Sutanto Mendut bagian dari pencarian terhadap "Tan Kena Kinaya Apa". Demikian juga gerakan kebudayaan yang dilakoni komunitas para seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang itu pun juga sebagai pencarian terhadap "Tan Kena Kinaya Apa".

Mereka melakoni pencarian itu melalui jalan kesenian, gerakan kebudayaan, dan merawat tradisi lelulur desa. Pencarian itu pula bagian ungkapan bersyukur atas "rahmatan lil alamin", rahmat Tuhan untuk seluruh alam.

Pencarian komunitas itu terhadap "Tan Kena Kinaya Apa" sebagai ikhtiar untuk mewujudkan kehidupan bersama yang antara lain bisa berupa kegembiraan, ketenteraman, dan kedamaian.

"Bukankan hal yang pasti adalah usaha terus menerus, usaha mencari jalan kebaikan daripada mencari kesalahan? Segala persoalan pribadi maupun bersama terurai jika yang ditempuh jalan kebaikan," kata Sutanto Mendut.


Pewarta : Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2025