Solo, ANTARA JATENG - Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jateng Teguh Dwi Paryono mengakui elpiji subsidi tepat sasaran hingga kini masih menjadi permasalahan yang belum dapat diselesaikan oleh pemerintah.

"Masih banyak masyarakat dengan latar belakang ekonomi yang baik dengan mudahnya mengakses elpiji melon tersebut. Bahkan, banyak penggunaan elpiji subsidi yang tidak sesuai dengan peruntukannya," kataTeguh di Solo, Sabtu.

Menurut Teguh, Pemprov yang juga melakukan pengawasan pada penyaluran elpiji subsidi sering dibuat bingung oleh kelakuan sebagian konsumen.

Salah satunya adalah pembelian elpiji subsidi oleh seorang ibu yang ternyata digunakan untuk "water hitter" atau pemanas air.

Selain itu, ada pula sebagian pembelian yang digunakan untuk pengairan sawah.

Menurut dia, kondisi saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan semangat awal konversi dari minyak tanah ke gas, yaitu diutamakan untuk masyarakat kurang mampu dan untuk pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).

Bahkan, saat ini muncul kebijakan baru yang berpotensi mengakibatkan pengawasan penyaluran elpiji 3 kg akan makin sulit dilakukan, yaitu nelayan dengan kapal di bawah 5 GT diperbolehkan menggunakan bahan bakar elpiji melon.

Terkait hal itu, saat ini sudah ada pembagian "converter" dari solar ke elpiji 3 kg di Moro, Demak dan Cilacap.

Menurut dia, jika tidak ada kontrol dari pemerintah pusat, kondisi ini akan mempersulit pengawasan di lapangan.

Mengenai makin luasnya penggunaan elpiji 3 kg, Pemprov Jateng sudah mengusulkan kenaikan kuota elpiji 3 kg pada tahun ini. Dari usulan penambahan 10 persen hanya direalisasikan sebesar 3 persen.

Dengan penambahan tersebut, kuota elpiji 3 kg di Jawa Tengah pada tahun 2017 sebanyak 311.000.000 tabung dan sampai saat ini sudah terserap sebesar 70 persen.

Pertamina Lakukan Pengawasan

Mengenai penyaluran elpiji subsidi agar tepat sasaran, PT Pertamina (Persero) menyatakan elpiji subsidi hanya berhak digunakan oleh 26 juta rumah tangga miskin yang terdata oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Kementerian Sosial (Kemensos) Republik Indonesia.

Manager External Communication PT Pertamina (Persero) Arya Dwi Paramita mengatakan mengenai kategori miskin dan rentan miskin adalah rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terendah.

Ia mengatakan rumah tangga miskin adalah keluarga yang memiliki pendapatan sebesar Rp350.000/kapita/bulan. Selain itu, jika dilihat dari bangunan tempat tinggal di antaranya tembok rumah tidak permanen, lantai rumah tidak permanen, dan luas lantai kurang dari 8 m2.

Selain rumah tangga, yang berhak menggunakan elpiji subsidi adalah segmen usaha mikro. Berdasarkan data TNP2K sekitar 2,3 juta pelaku usaha mikro yang berhak menggunakan elpiji subsidi tersebut.

Karakteristik usaha mikro yang berhak menggunakan elpiji 3 kg adalah usaha mikro yang dikelola rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terendah. Selain itu juga tingkat pendidikan relatif rendah, barang jualan dan tempat usaha tidak selalu tetap, umumnya belum memperoleh akses ke perbankan.

Meski demikian, saat ini masih banyak penggunaan elpiji subsidi di lapangan yang tidak tepat sasaran. Masih banyak masyarakat dari kalangan mampu yang seharusnya menggunakan elpiji nonsubsidi tetapi masih menggunakan elpiji subsidi.

"Menyikapi kondisi ini, ranah pengawasan kami hanya sampai di level pangkalan. Oleh karena itu, kami berharap adanya sikap kooperatif dari masyarakat," katanya.

Terkait hal itu, pemerintah berencana melakukan mekanisme penyaluran elpiji ukuran tabung 3 kg tepat sasaran dengan menggunakan data TNP2K tersebut.

Meski demikian, saat ini teknis mekanismenya masih menunggu instruksi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Ditjen Migas.

Asisten Manajer Gas Dom Pertamina Jateng dan DIY Anggora Dini mengatakan bahwa penggunaan elpiji subsidi masih belum tepat sasaran. Sebagai contoh khusus penggunaan untuk UKM, seharusnya ketentuan penggunaan untuk UKM sudah diatur dalam undang-undang tentang UMKM.

Salah satunya adalah batasan omzet tidak lebih dari Rp300 juta/tahun, artinya jika usahanya memiliki omzet Rp1 juta/hari sudah tidak boleh pakai elpiji 3 kg.

Menurut dia, penggunaan elpiji 3 kg menjadi salah satu hal masuk dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Anggora mengatakan jika dalam audit ditemukan bahwa penggunaan elpiji subsidi tidak sesuai dengan peruntukan maka kerugian tersebut harus ditutup sendiri oleh Pertamina, yang artinya biaya tersebut tidak masuk dalam anggaran subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah.


Mencontoh PLN

Menyikapi kondisi tersebut, Ketua Lembaga Pembinaan dan Pengawasan Konsumen (LP2K) Provinsi Jawa Tengah Ngargono mengatakan Pertamina harus segera mencontoh PLN yang berani memutus subsidi listrik bagi sebagian konsumen yang dianggap tidak lagi berhak memperoleh subsidi.

Menurut dia, saat ini subsidi listrik sudah sangat tepat sasaran karena subsidi melekat kepada penerimanya dan bukan kepada komoditasnya.

Ia mengatakan saat ini pengguna listrik golongan 900 VA sudah harus membayar listrik dengan tarif keekonomian. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi hanya mengandalkan subsidi.

"Saya menunggu kapan Pertamina melakukan hal serupa," katanya.

Sementara itu Anggota Komisi B DPRD Jateng Riyono berpendapat seharusnya penyaluran elpiji subsidi menggunakan sistem tertutup dan harus konsisten.

Ia menilai selama ini penyaluran subsidi tidak tepat sasaran karena sudah menjadi budaya konsumsi di masyarakat bahwa jika ada yang murah, konsumen tidak akan memilih yang mahal.

Selain itu, seharusnya ada regulasi dari pemerintah pusat agar pemprov juga diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan. Riyono mengatakan jika tidak ada mandat maka pemprov tidak bisa melakukan pengawasan secara maksimal.

"Pada dasarnya perlu ada partisipasi dengan pemda, bagaimanapun juga perannya cukup penting untuk melakukan pengendalian," katanya.

Pewarta : Aris Wasita Widiastuti
Editor :
Copyright © ANTARA 2024