Semarang, ANTARA JATENG - Wali Kota Semarang, Jawa Tengah, Hendrar Prihadi mengajak jajarannya untuk tidak membudayakan birokrasi asal bapak senang (ABS) karena sudah bukan zamannya lagi melaporkan sesuatu yang hanya menyenangkan pimpinan.
"Pada era sekarang ini sudah bukan waktunya atau zamannya lagi, birokrasi, institusi dan organisasi menggunakan budaya ABS," kata Hendrar Pribadi di Semarang, Kamis.
Hal itu diungkapkannya usai Bimbingan Teknis Ke-4 Implementasi Gerakan Menuju 100 Smart City dan Nota Kesepahaman (MoU) Organisasi Perangkat Daerah Kota Semarang terkait Pelaksanaan Pembangunan Kota Pintar.
Hendi, sapaan akrab orang nomor satu di Kota Semarang itu mengakui budaya ABS masih sering terjadi di beberapa organisasi, institusi, termasuk jajaran birokrasi Pemerintah Kota Semarang yang dipimpinnya sekarang.
"Sering, ya, di jajaran organisasi, institusi. Bahkan, di tempat saya bekerja saat ini, birokrasi. Kadang-kadang supaya tidak ada perdebatan lama, supaya pimpinannya tidak mencecar terus," katanya.
Akhirnya, kata dia, jajaran birokrasinya menyampaikan kesiapannya kepada pimpinannya agar senang, tetapi begitu dikontrol ternyata mereka tidak melakukan aktivitas sebagaimana yang sudah disanggupinya.
Ketimbang budaya ABS yang dikembangkan, politikus PDI Perjuangan itu meminta pejabat OPD lebih baik jujur dan berterus terang, serta aktif berkomunikasi dan berkoordinasi dalam menyelesaikan persoalan.
Hendi kembali menegaskan jajarannya untuk tidak lagi membudayakan ABS hanya demi kepentingan mengamankan kedudukan dan jabatannya, sebab kinerja setiap OPD akan dinilai secara objektif dan transparan.
"Dalam setiap kegiatan selalu saya sampaikan kepada kawan-kawan di jajaran birokrasi. Ini sudah bukan waktunya ABS. Sekarang ini waktunya melayani masyarakat dengan cepat," tegasnya.
Untuk mengevaluasi kinerja OPD, kata dia, setiap bulan, bahkan seminggu sekali dilakukan rapat evaluasi terhadap program yang dijalankan seluruh OPD, mulai dari kepala dinas hingga kecamatan dan kelurahan.
"Kalau memang ada yang belum paham maksud `smart city` ini, lebih baik enggak usah ditandatangani. Misalnya begitu. Jadi, kami ngerti, OPD ini belum ngerti. Kami carikan solusi agar bisa menjalankan tugas secara baik," katanya.
Menurut dia, keterusterangan semacam itu lebih baik ketimbang mereka takut dibilang tidak paham kemudian menyatakan kesiapannya, padahal nantinya mereka tidak menjalankan program yang membuat rugi masyarakat.
"Di tempat kami ada yang namanya Rakor Tepra yang diadakan sebulan sekali. Tetapi, setiap minggu saya selalu kumpulkan teman-teman tim teknis di ruangan saya untuk memantau progres pekerjaan," katanya.
Dengan evaluasi secara berkala, Hendi berharap jika ada tantangan, hambatan dan kesulitan yang dihadapi OPD dalam pelayanan kepada masyarakat bisa dicarikan solusi dan pemecahan secara cepat dan efektif.
"Pada era sekarang ini sudah bukan waktunya atau zamannya lagi, birokrasi, institusi dan organisasi menggunakan budaya ABS," kata Hendrar Pribadi di Semarang, Kamis.
Hal itu diungkapkannya usai Bimbingan Teknis Ke-4 Implementasi Gerakan Menuju 100 Smart City dan Nota Kesepahaman (MoU) Organisasi Perangkat Daerah Kota Semarang terkait Pelaksanaan Pembangunan Kota Pintar.
Hendi, sapaan akrab orang nomor satu di Kota Semarang itu mengakui budaya ABS masih sering terjadi di beberapa organisasi, institusi, termasuk jajaran birokrasi Pemerintah Kota Semarang yang dipimpinnya sekarang.
"Sering, ya, di jajaran organisasi, institusi. Bahkan, di tempat saya bekerja saat ini, birokrasi. Kadang-kadang supaya tidak ada perdebatan lama, supaya pimpinannya tidak mencecar terus," katanya.
Akhirnya, kata dia, jajaran birokrasinya menyampaikan kesiapannya kepada pimpinannya agar senang, tetapi begitu dikontrol ternyata mereka tidak melakukan aktivitas sebagaimana yang sudah disanggupinya.
Ketimbang budaya ABS yang dikembangkan, politikus PDI Perjuangan itu meminta pejabat OPD lebih baik jujur dan berterus terang, serta aktif berkomunikasi dan berkoordinasi dalam menyelesaikan persoalan.
Hendi kembali menegaskan jajarannya untuk tidak lagi membudayakan ABS hanya demi kepentingan mengamankan kedudukan dan jabatannya, sebab kinerja setiap OPD akan dinilai secara objektif dan transparan.
"Dalam setiap kegiatan selalu saya sampaikan kepada kawan-kawan di jajaran birokrasi. Ini sudah bukan waktunya ABS. Sekarang ini waktunya melayani masyarakat dengan cepat," tegasnya.
Untuk mengevaluasi kinerja OPD, kata dia, setiap bulan, bahkan seminggu sekali dilakukan rapat evaluasi terhadap program yang dijalankan seluruh OPD, mulai dari kepala dinas hingga kecamatan dan kelurahan.
"Kalau memang ada yang belum paham maksud `smart city` ini, lebih baik enggak usah ditandatangani. Misalnya begitu. Jadi, kami ngerti, OPD ini belum ngerti. Kami carikan solusi agar bisa menjalankan tugas secara baik," katanya.
Menurut dia, keterusterangan semacam itu lebih baik ketimbang mereka takut dibilang tidak paham kemudian menyatakan kesiapannya, padahal nantinya mereka tidak menjalankan program yang membuat rugi masyarakat.
"Di tempat kami ada yang namanya Rakor Tepra yang diadakan sebulan sekali. Tetapi, setiap minggu saya selalu kumpulkan teman-teman tim teknis di ruangan saya untuk memantau progres pekerjaan," katanya.
Dengan evaluasi secara berkala, Hendi berharap jika ada tantangan, hambatan dan kesulitan yang dihadapi OPD dalam pelayanan kepada masyarakat bisa dicarikan solusi dan pemecahan secara cepat dan efektif.