Wacana Polri membentuk Datasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi yang setara dengan Komisi Pemberantasan Korupsi menuai polemik dari kalangan masyarakat.

        Wacana ini muncul ketika dalam rapat antara Kapolri dan Komisi III DPR RI. Sejumlah anggota Komisi III mempertanyakan peranan Polri yang melempem dalam pemberantasan korupsi.

        Sikap mental koruptif sudah hampir merata dan menyebabkan kesenjangan sosial serta akan menghambat pembangunan.

        Segala kebijakan akan berpihak pada pemegang kekuasaan formal maupun informal, termasuk kekuasaan legislator yang sangat kuat ingin mencampuri KPK, sehingga akan berpengaruh pada independensi KPK.

        Oleh karena itu, bisa dimaklumi Kapolri punya inisiatif dirikan Datasemen Khusus Antikorupsi Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang dianggap akan lebih cepat dan efektif berantas korupsi, kemudian gagasan ini didukung oleh DPR RI.

        Kepala Divisi Humas Polri Irjen Polisi Setyo Wasisto memandang perlu segera merealisasikan pembentukan Densus Tipikor di Kepolisian RI. Apalagi, selama ini banyak kasus korupsi di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri yang "mandek" karena sejumlah keterbatasan. Misalnya, Dittipikor Bareskrim terbatas oleh aturan SOTK, jumlah personel, dan anggaran juga terbatas karena bagian dari (anggaran) reserse.

        Oleh sebab itu, Polri perlu membentuk satuan kerja khusus semacam Densus 88 Antiteror. Akan tetapi, khusus menangani kasus korupsi.

        Dengan jumlah personel yang cukup dan anggaran terpisah, Polri berharap lebih leluasa menindak koruptor. Hal ini berarti Komisi III dan Polri ingin memperkuat Dittipikor yang bisa lebih banyak menangani kasus korupsi dengan anggaran berbeda dan personel berbeda.

        Mantan Kepala Densus 88 Antiteror ini menegaskan bahwa tugas Densus Antikorupsi ini bakal lebih besar daripada KPK. Jadi, tidak hanya fokus pada kasus-kasus besar, Densus juga akan menangani persoalan mafia, seperti mafia sembako bersama dengan kementerian terkait untuk mengawasi gejolak stabilitas sembako dan melakukan tindakan terhadap para pelanggar hukum.

        Barangkali inilah yang kelihatannya lebih efektif dalam pemberantasan korupsi yang sudah membdaya di negeri ini. Akan tetapi, sebenarnya akan menambah rumitnya cara kerja pemberantasan korupsi sebab sistem birokrasi yang berlapis-lapis antarinstansi walaupun terlihat koordinatif.

        Di sisi lain, pendekatan melalui penyadaran yang berarti diharapkan adanya partisipatif masyarakat, justru nantinya masyarakat hanya akan menjadi penonton bagi densus yang bergerak terhadap para koruptor yang sulit tersentuh (untouchables).

        Wacana ini kemudian mendapat reaksi beragam dari berbagai kalangan. Ada pula yang mempertanyakan soal payung hukumnya, struktur organisasi, dan kelembagaannya, anggarannya, dan sebagainya.

        Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dijelaskan bahwa pembentukan KPK karena institusi penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan belum optimal dalam menangani kasus perkara pidana korupsi.

        Dalam undang-undang tersebut, tugas utama KPK adalah melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

        Adapun pihak yang menjadi sasaran utama KPK adalah aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang-orang yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.

    
               Perlu Kajian
   Meskipun Kapolri dan Jaksa Agung sudah 23 kali berganti dan KPK sudah 14 tahun berdiri, kenapa korupsi masih merajalela?

   Rasanya persoalan korupsi tidak selesai tuntas di negeri ini. Dari tahun ke tahun berkembang terus modus dan metode penanganannya, mulai yang sederhana hingga kompleks. Dari soal korupsi uang sampai ke korupsi waktu, berbagai mafia hukum, jual beli kasus, komersialisasi jabatan, dan lain-lain. Begitu pula, dari berbagai keilmuan dan teori tentang solusi korupsi politik hingga ekonomi telah dilibatkan.

        Reformasi birokrasi saat ini mendorong perampingan dan mencegah terjadinya fragmentasi antarlembaga. Polri sedang melakukan pembenahan di internalnya untuk lebih meningkatkan efektivitas. Janganlah kemudian menarik diri ke arah politik.

        Jika hal ini dibiarkan, negara ini bisa mengalami kemunduran dalam penegakan hukum. Jadi, pemerintahan Jokowi-JK tidak perlu diwarnai oleh kepentingan fragmentasi birokrasi yang dampaknya tidak positif terhadap efisiensi dan efektivitas birokrasi dan regulasi yang produktif.

        Konteks penegakan hukum harus membangun kualitas hukum itu sendiri melalui pendekatan rasa keadilan. Ini menjadi program yang didengungkan Jokowi melalui Nawacita, yang salah satunya penegakan hukum dan membangun demokrasi.

        Membangun hukum seperti itu diharapkan institusi penegak hukum harus betul-betul memberikan citra rasa keadilan, jangan sampai tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Inilah menjadi taruhan dari pemerintahan Jokowi.

        Keberadaan KPK yang diharapkan konstribusinya dalam membantu institusi Polri dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi telah jauh melangkah meninggalkan Polri dan kejaksaan dalam hal koordinasi dan pemberian supervisi. Hal inilah yang mendorong terjadinya miscommunication antara ketiga lembaga, yakni KPK, Polri, dan kejaksaan. Hal ini justru mendorong potensi benturan antara ketiga lembaga tersebut.

        Sebuah catatan dan pekerjaan rumah yang terpenting bagi pemerintahan saat ini adalah bagaimana membangun sebuah institusi hukum berjalan efektif tanpa tendensi sebagai alat penguasa maupun kepentingan politik tertentu, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat. Institusi seperti Polri, KPK, kejaksaan harus tetap mengedepankan asas keadilan yang sama kepada semua warga negara di mata hukum, tidak boleh ada upaya tebang pilih dalam menyelesaikan persoalan hukum.

        Masih rendah pula putusan hakim terhadap terdakwa perkara korupsi menunjukkan kesadaran hakim bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan dapat menghancurkan kehidupan berbangsa. Hal itu dapat terjadi karena para hakim juga "dibesarkan" atau "dibentuk" di lingkungan peradilan yang banyak terjadi praktik korupsi sehingga cenderung permisif terhadap praktik korupsi.

        Belum lagi, soal bagaimana mewahnya penjara yang dihuni oleh para koruptor. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa narapidana di LP ada dugaan memiliki "ruang khusus" menerima tamu atau keluarga narapidana yang berkunjung dengan bebas atau mengadakan kegiatan. Tempat itu konon dilengkapi sejumlah fasilitas mewah untuk lembaga pemasyarakatan, seperti sofa empuk, kulkas, pemanas air minum, dan sound system.

        Tidak adanya efek jera dalam diri koruptor disebabkan karena hukuman yang dikenakan kepada mereka masih terbilang amat sangat ringan, malah terkesan menyenangkan.

        Selama ini, kita sering saksikan para koruptor mendapat hukuman sangat ringan. Selain itu, mereka juga mendapat perlakuan khusus selama di penjara, serta hak istimewa, seperti remisi atau dengan bebas keluar dari tahanan tanpa pengawalan.

        Oleh karena itu, untuk menimbulkan efek jera, para koruptor mestinya harus diberi sanksi sangat berat. Beratnya hukuman itu bukan hanya dilihat dari lamanya masa tahanan, atau bukan cuma menyentuh fisiknya, melainkan juga psikis karena efek jera itu berkaitan dengan masalah psikologi. Misalnya, pemiskinan bagi para pelaku korupsi, dangan merampas seluruh asset kekayaannya, dan menjadikan mereka sebagai pekerja sosial.

        Untuk melaksanakan program itu, harus ada political will dari parleman dengan membuat payung hukum bagi pelaksanaan hukuman memiskinkan koruptor tersebut.

        Oleh sebab itu, jika Densus Tipikor Polri jadi dibentuk sudah barang tentu terikat pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam UU itu, disebutkan bahwa Polri berada di bawah Presiden.

        Jadi, perbedaan Polri sangat jelas dengan KPK sebagai lembaga negara bantu (auxiliary state organ) yang bersifat independen.

        Besar harapan rakyat menunggu sinergisitas pemberantasan korupsi dilakukan oleh seluruh lembaga penegak hukum. Di samping itu, para penegak hukum tersebut menyadari bahwa untuk pemberantasan tipikor, KPK adalah leading sector.

*) Penulis adalah pengajar Komunikasi Politik pada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang.

Pewarta : Suryanto, S.Sos., M.Si. *)
Editor :
Copyright © ANTARA 2024