Jakarta, ANTARA JATENG - Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
mengakui ia menerima honor sebagai narasumber saat berlangsungnya proyek
KTP-Elektronik.
"Saya tidak tahu dan tidak pernah terima bagi-bagi uang. Kutuk saya kalau terima uang dunia akhirat. Hukumlah saya seberat-beratnya, saya ridho. Semua orang mengatakan saya menerima dari Andi (Narogong) Rp50 juta. Ada berita Rp50 juta dari Andi saat saya pulang kampung. Saya punya kuitansi, terkait Andi Narogong saya tidak tahu, saya sering terima honor, honor resmi Rp48 juta," kata Gamawan dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Gamawan menjadi saksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang didakwa mendapatkan keuntungan 1,499 juta dolar AS dan Rp1 miliar dalam proyek pengadaan KTP-Elektronik (KTP-E) yang seluruhnya merugikan keuangan negara senilai Rp2,3 triliun.
Dalam sidang 2 Oktober 2017 lalu, pensiunan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Pimpinan Ditjen Dukcapil Kemenagri 2002-2013 Suciati mengatakan bahwa Gamawan Fauzi menerima honor sebagai narasumber sebanyak 5 kali, masing-masing berjumlah Rp10 juta sehingga totalnya Rp50 juta.
Menurut Suciati, uang itu berasal dari mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman sebesar 73.500 dolar AS yang ditukarkan ke mata uang rupiah.
"Jadi narsum ada DIPA-nya. Ada Rp7 juta, Rp11 juta, ada pajaknya juga. Di KPK saya tampil juga, saya dikasih honor. Itu sudah disetujui karena proyek itu diaudit, kalau ada kelebihan yang melanggar aturan, itu harus dpulangkan," ungkap Gamawan.
Gamawan pun menunjukkan kuitansi yang ia terima saat menjadi narasumber.
"Saya bawa-bawa (kuitansi) terus karena ditanyakan melulu terima uang dari Andi atau tidak, kutuk saya kalau terima," tambah Gamawan.
Gamawan juga mengakui pernah ke Singapura bersama dengan Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen di Direktorat Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) 2011-2012 Sugiharto. Irman dan Sugiharto sudah divonis dalam perkara ini.
"Peresmian pertama di Batam, ada proses perekaman di Batam, saya hadirkan semua profesi karena kita sudah selesai. Saya diajak liburan ke Singapura 1 malam. Saya bayar uang sendiri, besok pagi kita balik lagi, rekreasi sebentar saja. Sabtu, Minggu kan libur," ungkap Gamawan.
Sementara saksi lain yaitu Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh yang saat pengadaan KTP-E berlangsung menjabat sebagai Kepala Biro Hukum Kemendagri mengaku bahwa ia pernah dimintai pendapatnya terkait perubahan adendum I-IV kontrak KTP E.
"Tapi saat ini data KTP-E dipakai untuk pilkada 2015, 2017 dan alhamdulilah tingkat error rendah. Ada 242 lembaga yang akan mengakses untuk single identity number untuk rekening bank, asuransi, SIM, seleksi CPNS dari data dukcapil," tambah Terhadap perbuatan itu, Andi Agustinus disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
"Saya tidak tahu dan tidak pernah terima bagi-bagi uang. Kutuk saya kalau terima uang dunia akhirat. Hukumlah saya seberat-beratnya, saya ridho. Semua orang mengatakan saya menerima dari Andi (Narogong) Rp50 juta. Ada berita Rp50 juta dari Andi saat saya pulang kampung. Saya punya kuitansi, terkait Andi Narogong saya tidak tahu, saya sering terima honor, honor resmi Rp48 juta," kata Gamawan dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Gamawan menjadi saksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang didakwa mendapatkan keuntungan 1,499 juta dolar AS dan Rp1 miliar dalam proyek pengadaan KTP-Elektronik (KTP-E) yang seluruhnya merugikan keuangan negara senilai Rp2,3 triliun.
Dalam sidang 2 Oktober 2017 lalu, pensiunan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Pimpinan Ditjen Dukcapil Kemenagri 2002-2013 Suciati mengatakan bahwa Gamawan Fauzi menerima honor sebagai narasumber sebanyak 5 kali, masing-masing berjumlah Rp10 juta sehingga totalnya Rp50 juta.
Menurut Suciati, uang itu berasal dari mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman sebesar 73.500 dolar AS yang ditukarkan ke mata uang rupiah.
"Jadi narsum ada DIPA-nya. Ada Rp7 juta, Rp11 juta, ada pajaknya juga. Di KPK saya tampil juga, saya dikasih honor. Itu sudah disetujui karena proyek itu diaudit, kalau ada kelebihan yang melanggar aturan, itu harus dpulangkan," ungkap Gamawan.
Gamawan pun menunjukkan kuitansi yang ia terima saat menjadi narasumber.
"Saya bawa-bawa (kuitansi) terus karena ditanyakan melulu terima uang dari Andi atau tidak, kutuk saya kalau terima," tambah Gamawan.
Gamawan juga mengakui pernah ke Singapura bersama dengan Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen di Direktorat Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) 2011-2012 Sugiharto. Irman dan Sugiharto sudah divonis dalam perkara ini.
"Peresmian pertama di Batam, ada proses perekaman di Batam, saya hadirkan semua profesi karena kita sudah selesai. Saya diajak liburan ke Singapura 1 malam. Saya bayar uang sendiri, besok pagi kita balik lagi, rekreasi sebentar saja. Sabtu, Minggu kan libur," ungkap Gamawan.
Sementara saksi lain yaitu Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh yang saat pengadaan KTP-E berlangsung menjabat sebagai Kepala Biro Hukum Kemendagri mengaku bahwa ia pernah dimintai pendapatnya terkait perubahan adendum I-IV kontrak KTP E.
"Tapi saat ini data KTP-E dipakai untuk pilkada 2015, 2017 dan alhamdulilah tingkat error rendah. Ada 242 lembaga yang akan mengakses untuk single identity number untuk rekening bank, asuransi, SIM, seleksi CPNS dari data dukcapil," tambah Terhadap perbuatan itu, Andi Agustinus disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.