Kudus, ANTARA JATENG - Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menolak hasil kesepakatan antara Perum Bulog dengan Asosiasi Pedagang Gula (APGI) karena gula tani tetap dihargai Rp9.700 per kilogram, kata Sekretaris Jenderal DPN APTRI M. Nur Khabsyin.

"Kesepakatan yang dicapai antara Perum Bulog dengan APGI pada tanggal 2 Oktober 2017 di Kantor Kementerian Perdagangan tersebut, dijelaskan bahwa pedagang hanya bisa membeli gula tani melalui Bulog dengan harga Rp11.000/kg," ujarnya di Kudus, Selasa.

Seharusnya, kata dia, pedagang diperbolehkan membeli gula secara langsung ke petani dengan harga Rp11.000/kg, bukannya melalui Bulog dengan harga Rp9.700/kg.

Padahal, lanjut Khabsyin, harga tersebut di bawah biaya produksi gula tani sebesar RP10.600/kg.

Menurut dia, pemerintah perlu meninjau kebijakan tersebut, karena petani tebu sebagai pihak yang paling dirugikan karena gula tani dipaksa dijual dengan harga murah kepada Bulog.

"Sementara Bulog menjual gula kepada pedagang mencapai Rp11.000/kg," ujarnya.

Ia menganggap, kebijakan tersebut menimbulkan tanda tanya, kenapa harus melalui Perum Bulog, bukannya langsung dibeli pedagang agar petani diuntungkan.

"Kami menganggap, kebijakan tersebut merupakan bentuk tekanan kepada petani," ujarnya.

Permasalahan tersebut, katanya, akan dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

APTRI juga menyayangkan ada petani tebu yang mengaku dari APTRI turut menyetujui kesepakatan antara Perum Bulog dengan APGI tersebut.

Ia menduga, mereka bukan pengurus atau anggota APTRI, karena tidak mungkin ada petani yang menyetujui gulanya dibeli dengan harga lebih rendah.

Sebelumnya, APTRI juga melaporkan dugaan monopoli Perum Bulog di bidang jual beli gula ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Praktik monopoli penjualan gula pasir dianggap bertentangan dengan Undang-undang nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pada pasal 17, dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Selain itu, pada ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya.

Akibatnya, pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama.

Pewarta : Akhmad Nazaruddin Lathif
Editor :
Copyright © ANTARA 2024