Solo, ANTARA JATENG - Sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono menyatakan keberadaan naskah kuno di Indonesia banyak dipengaruhi sejumlah negara asing yang pernah berkunjung ke Indonesia.

"Pertama kali India, baru kemudian Arab Saudi yang membawa budaya Islam, dan selanjutnya Amerika Latin. Jadi kalau sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh negara barat itu memang benar," katanya pada acara talkshow "Naskah Kuno Dalam Perspektif Pustakawan, Pegiat Literasi, Seniman, dan Penyair" di Auditorium Universitas Sebelas Maret, Solo, Rabu.

Ia mengatakan sebelum menjadi naskah, sejarah Indonesia diceritakan secara lisan atau disebut juga dengan dongeng. Selanjutnya, seiring dengan perkembangan waktu sejarah tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan.

"Seperti misalnya tulisan yang terpengaruh budaya India, yaitu dongeng Ramayana dan Mahabarata. Sampai sekarang dongeng tersebut masih diceritakan meskipun tidak sama persis," katanya.

Menurut dia, karena banyaknya negara asing yang membawa pengaruh bagi naskah kuno di Indonesia, sampai saat ini sastra klasik tersebut kaya akan khasanah. Bahkan, dikatakannya, peninggalan di masa lalu yang tertuang dalam naskah kuno tersebut bisa dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini.

"Karena apapun yang terjadi pada saat itu kan dituangkan dalam naskah kuno, sehingga ajaran pada saat itu bisa dimanfaatkan untuk menghadapi segala situasi pada saat ini," katanya.

Meski demikian, diakuinya, jumlah penerjemah naskah kuno yang ada saat ini belum sebanding dengan keberadaan naskah kuno itu sendiri sehingga isi dari naskah kuno tersebut tidak banyak diketahui oleh masyarakat.

"Seharusnya yang menerjemahkan ya kita kita ini, dengan begitu isi naskah akan diketahui oleh masyarakat luas," katanya.

Sementara itu, mengenai penulisan ulang sejarah yang tertuang dalam naskah kuno, menurut dia, hal itu tidak menyalahi aturan. Bahkan, jika penulisan ulang tersebut menggunakan bahasa kekinian.

"Hak kita untuk mengubah segala sesuatu yang telah terjadi, itu kan tafsir. Kalau mau mengingat, sejarah kita sudah berapa kali diganti. Banyak peristiwa yang sama tetapi cara penulisannya berbeda. Memang tugas sastra adalah menyampaikan tafsir terhadap peristiwa yang ada di sekitarnya," katanya.

Meski demikian, menurut dia, isi dari tafsir tersebut tetap menjadi tanggung jawab masing-masing penulis.

"Tetapi pada prinsipnya, hal itu bukan sesuatu yang aneh atau harus dihindari," katanya.


Pewarta : Aris Wasita Widiastuti
Editor :
Copyright © ANTARA 2024