Tabuhan genderang pemilihan kepala daerah secara serentak dengan puncaknya, yakni hari pemungutan suara pada 27 Juni 2018, sudah terdengar.

Di seluruh Indonesia, pilkada serentak putaran kali ini  berlangsung di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Di Provinsi Jawa Tengah, selain digelar pemilihan gubernur, juga pemilihan bupati dan wali kota di tujuh daerah, yakni Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kudus, Kabupaten Karanganya, dan Kabupaten Magelang.

Gaung berbagai persiapan pilkada mulai ramai tertangkap. Pada September tahun ini gaung keramaian tersebut berupa pembentukan badan penyelenggara pemilu hingga tingkat kelurahan.

Persiapan tak hanya oleh penyelenggara pesta demokrasi, tetapi juga berbagai partai politik dan para bakal calon kepala daerah, termasuk petahana yang masih berada di arena kerja politik birokrasi.

Penjaringan dan pendaftaran bakal calon telah dibuka. Bahkan, saat ini sebagian besar tahapan di tingkat parpol sudah sampai tataran dewan pimpinan pusat parpol sebagai pengambil keputusan tentang siapa bakal calon yang hendak diusung. Begitu pula, mesin survei elektabilitas kandidat diklaim sudah diputar.

Komunikasi politik antarpartai dengan segala manuvernya menjadi warna tersendiri untuk kemungkinan pembentukan suatu koalisi parpol guna mengajukan pasangan kandidat.

Tentunya sosok-sosok yang hendak bertarung dalam pilkada pun terus melakukan berbagai persiapan. Gambar-gambar bakal calon kepala daerah terpampang di berbagai kota. Mereka yang wajah baru sebagai petarung pilkada menunjukkan "tagline-nya", sedangkan bakal calon petahana memampangkan prestasi kepemimpinan pemerintahan selama lima tahun terakhir.

Sosialisasi pilkada selain telah mulai dilakukan penyelenggara pemilihan, juga sebagian besar direncanakan secara masif untuk menyentuh berbagai lapisan dan kalangan masyarakat. Parpol dan bakal calon pun demikian. Mereka susun strategi meraih suara paling banyak untuk memenangi pemilihan, termasuk gerilya memikat calon pemberi suara.

Sedari dini, masyarakat yang menjadi calon pemberi suara memang harus disiapkan untuk memasuki arena pesta demokrasi.

Sasaran utamanya, supaya masyarakat memberikan suara secara tepat dan cerdas, sesuai pilihan hati, serta pemikiran matang demi kemajuan daerah. Nota bene kehidupan mereka makin sejahtera bila pilihan itu tepat, yakni daerahnya beroleh pemimpin yang mumpuni mengelola pemerintahan dan pembangunan di segala bidang.

Catatan penting untuk calon petahana. Kinerja pemerintahan mereka selama lima tahun terakhir, apakah sukses atau tidak, telah bisa dirasakan warganya.

Peluang mereka memenangi pilkada sering kali dianggap lebih besar ketimbang pesaingnya. Hal itu, bila lima tahun terakhir mereka sungguh-sungguh bekerja saksama dengan bukti nyata saat ini terjadinya perubahan daerah menjadi lebih baik.

Sebaliknya, peluang calon petahana lebih kecil atau bahkan jeblok ketimbang calon lain, bila kiprah memimpin pembangunan daerahnya lima tahun terakhir, dianggap tidak terlihat atau kurang terasa "grengseng". Tentu saja ukuran berhasil dan "grengseng" tidak cukup hanya dalam angka-angka statistik atau setumpuk penghargaan yang dianggap sebagai kebanggaan itu. Tetapi, juga sentuhan tangan kepemimpinan mereka bisa dirasakan sampai hati masyarakat.

Kalau sukses calon dalam pilkada, karena berhasil meyakinkan visi, misi, dan program kerja, didukung karakter pribadi serta mesin politik yang efektif dalam memikat pemberi suara, bagi calon petahana juga karena modal berupa hasil kinerjanya selama periode pertama, apakah dianggap sukses memimpin daerah.

Calon, termasuk petanaha, boleh saja percaya diri maju pilkada, namun masyarakat pun harus titis memberikan suara. Oleh karenanya, sejak saat ini pula mereka harus melangkah jitu masuk arena pesta pilkada.
    
Ada ungkapan dalam bahasa Jawa, "Gela tibane mburi", menyesal datangnya saat akhir.


Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2024