Semarang, ANTARA JATENG - Pengamat transportasi Universitas Negeri Semarang Alfa Narendra mengingatkan pentingnya penataan ulang sistem transportasi umum di Kota Semarang, seiring hadirnya "Bus Rapid Trnsit TransJateng".
"Sesuai konsepnya sebagai angkutan aglomerasi, TransJateng hanya melalui jalan nasional dan provinsi. Jangka panjang nanti akan ada 5-10 koridor baru," katanya, saat dihubungi dari Semarang, Senin.
Saat ini, kata dia, TransJateng sudah membuka satu koridor, yakni Koridor I yang melayani Stasiun Tawang-Terminal Bawen, Kabupaten Semarang yang diluncurkan sejak 7 Juli 2017 atau sudah satu bulan beroperasi.
Di sisi lain, BRT TransSemarang yang dioperasikan Pemerintah Kota Semarang sudah memiliki Koridor II yang melayani Terminal Terboyo-Sisemut, Kabupaten Semarang, sehingga memang ada rute yang saling berhimpitan.
"Ya, memang harus diatur ulang. Ingat, konsepnya menggeser, bukan menggusur. Misalnya, TransSemarang tidak lagi melewati jalan nasional atau provinsi, tetapi melayani jalur-jalur perkotaan," katanya.
Meski ada rute saling berhimpitan yang dilayani operator yang berbeda, kata dia, semestinya TransJateng dan TransSemarang tidak akan bergesekan karena dua moda itu sama-sama mementingkan pelayanan, bukan omzet.
"Makanya, kedua moda transportasi massal itu masih disubsidi," kata Alfa yang tengah menyelesaikan program doktoralnya di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan konsentrasi bidang transportasi itu.
Akan tetapi, diakuinya, penataan sistem transportasi, terutama dua moda transportasi massal itu, yakni TransJateng dan TransSemarang harus dilakukan, termasuk dengan angkutan umum lainnya, seperti angkutan kota.
"Kalau sistemnya ditata baik, pasti baik. Misalnya, TransJateng lewat jalan nasional dan provinsi, TransSemarang melayani perkotaan, sementara angkot hanya melayani jalur-jalur ranting," katanya.
Yang jelas, ia mengatakan sampai sekarang ini masih banyak wilayah di Kota Semarang yang belum terlayani angkutan umum sehingga menjadi kesempatan bagi angkot untuk masuk di kawasan-kawasan permukiman.
Untuk angkot, kata dia, memang harus lebih fleksibel pengaturannya, yakni tidak didasarkan jalur-jalur tertentu, tetapi berdasarkan kebutuhan transportasi masyarakat di kawasan-kawasan permukiman padat penduduk.
"Jadi, pengaturannya harus menyeluruh. Mulai TransJateng, TransSemarang, hingga angkutan umum lainnya. Tidak bisa hanya diatur parsial. Sekarang ini, kawasan permukiman di Kota Semarang kan berkembang pesat," pungkasnya.
"Sesuai konsepnya sebagai angkutan aglomerasi, TransJateng hanya melalui jalan nasional dan provinsi. Jangka panjang nanti akan ada 5-10 koridor baru," katanya, saat dihubungi dari Semarang, Senin.
Saat ini, kata dia, TransJateng sudah membuka satu koridor, yakni Koridor I yang melayani Stasiun Tawang-Terminal Bawen, Kabupaten Semarang yang diluncurkan sejak 7 Juli 2017 atau sudah satu bulan beroperasi.
Di sisi lain, BRT TransSemarang yang dioperasikan Pemerintah Kota Semarang sudah memiliki Koridor II yang melayani Terminal Terboyo-Sisemut, Kabupaten Semarang, sehingga memang ada rute yang saling berhimpitan.
"Ya, memang harus diatur ulang. Ingat, konsepnya menggeser, bukan menggusur. Misalnya, TransSemarang tidak lagi melewati jalan nasional atau provinsi, tetapi melayani jalur-jalur perkotaan," katanya.
Meski ada rute saling berhimpitan yang dilayani operator yang berbeda, kata dia, semestinya TransJateng dan TransSemarang tidak akan bergesekan karena dua moda itu sama-sama mementingkan pelayanan, bukan omzet.
"Makanya, kedua moda transportasi massal itu masih disubsidi," kata Alfa yang tengah menyelesaikan program doktoralnya di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan konsentrasi bidang transportasi itu.
Akan tetapi, diakuinya, penataan sistem transportasi, terutama dua moda transportasi massal itu, yakni TransJateng dan TransSemarang harus dilakukan, termasuk dengan angkutan umum lainnya, seperti angkutan kota.
"Kalau sistemnya ditata baik, pasti baik. Misalnya, TransJateng lewat jalan nasional dan provinsi, TransSemarang melayani perkotaan, sementara angkot hanya melayani jalur-jalur ranting," katanya.
Yang jelas, ia mengatakan sampai sekarang ini masih banyak wilayah di Kota Semarang yang belum terlayani angkutan umum sehingga menjadi kesempatan bagi angkot untuk masuk di kawasan-kawasan permukiman.
Untuk angkot, kata dia, memang harus lebih fleksibel pengaturannya, yakni tidak didasarkan jalur-jalur tertentu, tetapi berdasarkan kebutuhan transportasi masyarakat di kawasan-kawasan permukiman padat penduduk.
"Jadi, pengaturannya harus menyeluruh. Mulai TransJateng, TransSemarang, hingga angkutan umum lainnya. Tidak bisa hanya diatur parsial. Sekarang ini, kawasan permukiman di Kota Semarang kan berkembang pesat," pungkasnya.