Pati, ANTARA JATENG - Penghasilan petani dari usaha tambak garam di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, selama ini masih minim sehingga belum mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi pengelolaannya juga masih tradisional dan bergantung cuaca.

Salah seorang petambak garam di Desa Raci, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati, Yabu Paidi, di Pati, Kamis, mengakui, penghasilan dari tambak garam memang belum menjamin karena harga jual garam selama ini sangat murah.

Tahun lalu, kata dia, harga jual garam di tingkat pengepul hanya Rp300-Rp400 per kilogram sehingga belum sebanding dengan jerih payahnya selama ini.

Selain itu, dirinya masih menanggung biaya sewa lahan setiap dua tahun sebesar Rp20 juta.

"Artinya, setiap bulannya harus bisa menghasilkan pemasukan lebih dari Rp800.000 untuk membayar sewa lahan," ujarnya.

Sementara masa produksi garam, kata Paidi, dalam setahun hanya berlangsung empat bulan, karena selebihnya biasanya bertepatan dengan musim hujan.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari setelah tidak memproduksi garam, dia beralih menanam tanaman padi serta mengelola ternak kambing.

"Jika hanya mengandalkan penghasilan dari tambak garam, tentu tidak mencukupi karena ada jeda waktu selama musim hujan yang membuat petani tidak bisa berproduksi," ujarnya.

Kalaupun saat ini harga garam melonjak hingga Rp3.000 per kilogramnya, dia memprediksi, hanya bertahan sebentar karena saat ini petani garam mulai mempersiapkan lahannya untuk memproduksi garam.

"Biasanya, saat musim panen stok garam akan melimpah sehingga harga jual akan kembali turun," ujarnya.

Terkait dengan penggunaan media geoisolator atau plastik pelapis tambak garam, kata dia, memang sudah ada petani yang mencoba dan hasilnya memang bagus ketika cuacanya tidak menentu seperti sekarang.

Ia mengaku, hendak mencoba menggunakan media tersebut, karena dalam waktu tiga hari bisa dipanen, sedangkan dengan media tanah menunggu sepekan.

Jono, petani garam lainnya menambahkan, dirinya belum berniat menggunakan geoisolator karena harganya mencapai Rp2 juta untuk satu petak tambak berukuran 16x10 meteran.

Kebetulan, kata dia, dirinya tidak termasuk petani yang mendapatkan bantuan geoisolator, seperti halnya petani lain yang sudah mencoba.

Lahan satu petak, kata dia, biasanya bisa menghasilkan garam hingga 1 ton lebih, sesuai dengan kondisi cuaca.

"Jika harga jualnya Rp500 per kilogramnya, maka baru menghasilkan Rp500.000. Sedangkan harga jual sekarang penghasilannya bisa mencapai Rp3 juta," ujarnya.

Apabila harga jual garam seperti sekarang tetap bertahan, dia memastikan, tingkat kesejahteraan petani garam akan meningkat, karena penghasilannya selama musim panenh bisa digunakan untuk hidup setahun.

Permasalahannya, lanjut dia, sebagian besar petani garam tidak memiliki lahan, termasuk dirinya hanya sebagai petani penggarap dengan sistem bagi hasil.

Ketua Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beryodium (Aprogakob) Pati Budi Satriyono menganggap, peluang petani garam semakin sejahtera sangat terbuka, mengingat kebutuhan bahan baku garam untuk dibuat garam konsumsi sangat tinggi dan petani Pati juga belum mampu mencukupinya.

Adanya teknologi geoisolator, kata dia, patut dicoba, karena diklaim mampu meningkatkan produktivitas hasil panenan garam.

"Kualitasnya juga lebih bagus, dibandingkan dengan media tanah karena lebih bersih dan lebih putih, sehingga sangat diminati produsen garam konsumsi," ujarnya.

Selain perlu ada teknologi baru dalam pengolahan garam, kata dia, sarana dan prasarana lainnya juga perlu dipersiapkan, seperti saluran air di kawasan tambak garam agar pasokan air juga terpenuhi, sehingga tidak perlu menggunakan mesin penyedot air karena biaya produksinya semakin mahal.

"Pemerintah juga perlu membantu dalam bentuk penentuan harga eceran minimal serta diikuti dengan tindakan enyerapan garam petani sebagai stok cadangan atau `buffer stock`," ujarnya.

Adanya penentuan harga eceran minimal tanpa diikuti penyerapan, kata dia, harga garam akan ditentukan oleh mekanisme pasar, sehingga petani garam berpotensi mendapatkan tawaran harga yang rendah.

Pewarta : Akhmad Nazaruddin Lathif
Editor :
Copyright © ANTARA 2024