Budayawan Sutanto Mendut di Panggung Garuda Festival Lima Gunung XVI/2017 bercerita tentang rombongan tamu dari Jakarta yang akan datang ke dusun lokasi festival seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Mereka yang akan menggunakan tiga bus itu berencana menginap di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. Dusun di kawasan Gunung Merbabu tersebut pada tahun ini menjadi lokasi festival tahunan komunitas itu.
Festival Lima Gunung sebagai penyelenggaraan untuk tahun ke-16 berlangsung selama 3 hari, 28 s.d. 30 Juli 2017. Praacara telah digelar pada hari Sabtu (22/7), antara lain, berupa rangkaian ritual doa warga Gejayan, peluncuran antologi puisi karya Eka Pradhaning, berjudul "Menari Bersama Hujan", pembacaan puisi, performa seni, dan pelepasan 16 ekor burung merpati oleh warga setempat.
Rombongan dari ibu kota tersebut, dikatakannya, akan membayar biaya selama menginap di rumah-rumah warga Dusun Gejayan, yang seniman petaninya bernaung di bawah Padepokan Warga Budaya Gejayan.
Para seniman petani padepokan itu bagian dari Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) dengan inspirator utama budayawan Sutanto Mendut.
"Kata Pak Riyadi, siapa pun yang menginap, tidak membayar. Ini berbeda dengan pemikiran pariwisata. Ini desa dengan kekayaan kearifan," ujar Tanto.
Riyadi yang Sabtu (22/7) sore itu duduk berdampingan Sih Agung Prasetyo, pemandu pra-acara Festival Lima Gunung dengan judul "Pekan Swafoto Panggung Garuda" di dekat perangkat tata suara itu, mengangguk-angguk sebagai tanda membenarkan ihwal yang disampaikan Sutanto.
Biasanya, Riyadi kalau berbicara panjang lebar selalu bersemangat. Gesturnya mengutamakan gerakan kedua tangan yang variatif untuk penekanan kalimat atas pandangannya tentang apa saja. Keselarasan antara ungkapan, gestur, dan mimiknya ketika berbicara atau menyampaikan pikirannya selalu memancing kawan-kawannya di Komunitas Lima Gunung untuk mengejek dan bersendau gurau.
Akan tetapi, kali ini, Riyadi yang salah satu pemimpin komunitas itu, hanya singkat berujar dengan tegas, "Ya, begitu."
Riyadi adalah mantan Kepala Desa Banyusidi yang sekarang memimpin Padepokan Warga Budaya Gejayan.
Dusun Gejayan di ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan air laut dengan udaranya yang selalu sejuk, berpenduduk sekitar 140 keluarga atau antara 400 dan 500 jiwa, meliputi delapan rukun tetangga. Hampir semua warga hidup dari pertanian subur untuk hortikultura dan menghidupi tradisi berkesenian tradisional maupun kontemporer desa.
Sedikitnya 40 rumah warga disiapkan untuk menginap maupun transit para tamu Festival Lima Gunung XVI/2017. Tentunya, mereka tidak menawarkan penginapan bak "homestay" dalam konsep ekonomi pariwisata. Mereka sajikan apa adanya suasana rumah desa dengan kehidupan rumah tangga warganya setiap hari.
Festival Lima Gunung tahun ini akan diikuti sedikitnya 60 grup kesenian, baik berasal dari berbagai kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung maupun jejaringnya dari beberapa kota.
Berbagai pementasan, antara lain, tarian tradisional dan kontemporer, performa seni, pentas musik, kirab budaya, dan prosesi ritual doa, pameran lukisan dan batik, serta pidato kebudayaan. Pemukulan gong oleh para tokoh Komunitas Lima Gunung bakal menjadi penanda puncak festival mereka.
Panitia bersama warga Dusun Gejayan saat ini memasuki fase akhir persiapan mereka untuk penyelenggaraan Festival Lima Gunung. Pada 2017, dusun itu untuk keempat kalinya menjadi tuan rumah festival tersebut.
Persiapan awal sudah mereka mulai sejak sekitar 6 bulan lalu dan saat ini berbagai instalasi seni telah terpasang di jalan-jalan dusun dan sepenggal ruas jalan beraspal di kawasan hutan pinus menuju dusun setempat.
Begitu pula, panggung pementasan ukuran luas di halaman rumah warga setempat dengan instalasi burung garuda dan naga ukuran raksasa, telah terpasang di arena festival.
Berbagai instalasi dari bahan baku, seperti jerami, bambu, bunga pinus, "janggel" jagung, ranting pohon cabai, dan daun pakis itu, dikerjakan masyarakat secara gotong-royong dengan kreator utamanya seniman Padepokan Warga Budaya Gejayan, Parmadi dan Suparman.
Petujuk arah ke lokasi festival berupa sejumlah instalasi gunungan sudah dipasang dari Banaran, Kecamatan Pakis, di ruas Jalan Raya Magelang-Kopeng, Salatiga menuju Dusun Gejayan.
Di media sosial, selain sudah beredar jadwal pementasan yang dikeluarkan panitia, juga telah dikabarkan tentang peta petujuk arah secara digital ke lokasi festival.
Pengaturan jadwal pementasan dan pengelolaan informasi melalui media sosial tentang festival ditangani secara khusus oleh duet pegiat Komunitas Lima Gunung, Ari Kusuma dan Endah Pertiwi.
"Kalau untuk keperluan makan dan minum, itu sudah pasti. Orang desa akan menjamu tamunya dengan apa saja yang dianggapnya terbaik," ujar Riyadi.
Ada kearifan desa tentang "gupuh, lungguh, dan suguh", yang kira-kira maksudnya setiap orang yang datang bertamu akan diterima pemilik rumah dengan sikap ramah, disilakan duduk, dan mendapatkan suguhan selayaknya.
Kegembiraan warga desa menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung, bukan karena terletak pada kesempatan mereka meraih keuntungan materiil dalam wujud uang, yang biasa menjadi pernyataan latah, sebagai ukuran peningkatan kesejahteraan.
"Karena festivallah, desa kami didatangi banyak orang, kedatangan orang kota itu melipatgandakan kegembiraan desa. Saudara-saudara dan kerabat dari desa sekitar bisa dipastikan datang. Di situlah silaturahmi. Maka, di rumah-rumah warga disiapkan suguhan, ungkapan terima kasih karena kami dihormati, didatangi," ucapnya.
Festival Lima Gunung menempatkan kehormatan bagi desa yang menjadi lokasi pergelaran tahunan dengan rapat-rapat panitianya yang hingga saat ini tidak pernah membicarakan persoalan anggaran.
Mungkin, festival tanpa berbicara biaya, hingga saat ini tidak mudah dipahami khalayak.
Akan tetapi, menurut Sutanto, hal itu terjadi justru karena mereka sesungguhnya sudah "kaya", sehingga persoalan duit festival bukan lagi bahan rembukan.
"Bukan berarti tidak mau uang, tidak senang uang. Untuk festival, kami sudah sumpah, tidak bicara uang," ujarnya.
Siapa saja diajaknya untuk menggali suara batin masing-masing, jika tamu dari luar kota dalam festival itu harus membayar biaya penginapan di rumah-rumah warga.
Para tetangga dan kerabat dari desa sekitar besar kemungkinan segan atau tidak enak hati untuk singgah ke rumah warga Gejayan karena sedang dipakai menginap tamu dari luar kota yang sedang ikut menonton Festival Lima Gunung.
Usaha berkelanjutan untuk menjaga relasi antardesa, kiranya itulah modal sosial yang saling digenggam guna menghidupi keseharian masyarakat, termasuk merambah kepada aspek kehidupan lainnya.
Sutanto menyebut relasi antardesa sebagai kekuatan masyarakat untuk saling "mbatheni" (memberi untung, red.).
"Itu kearifan dan kebijakan yang terus menerus dijaga," katanya.
Oleh karena itu, siapa saja silakan datang ke Festival Lima Gunung dengan riang dan ringan hati!
Mereka yang akan menggunakan tiga bus itu berencana menginap di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. Dusun di kawasan Gunung Merbabu tersebut pada tahun ini menjadi lokasi festival tahunan komunitas itu.
Festival Lima Gunung sebagai penyelenggaraan untuk tahun ke-16 berlangsung selama 3 hari, 28 s.d. 30 Juli 2017. Praacara telah digelar pada hari Sabtu (22/7), antara lain, berupa rangkaian ritual doa warga Gejayan, peluncuran antologi puisi karya Eka Pradhaning, berjudul "Menari Bersama Hujan", pembacaan puisi, performa seni, dan pelepasan 16 ekor burung merpati oleh warga setempat.
Rombongan dari ibu kota tersebut, dikatakannya, akan membayar biaya selama menginap di rumah-rumah warga Dusun Gejayan, yang seniman petaninya bernaung di bawah Padepokan Warga Budaya Gejayan.
Para seniman petani padepokan itu bagian dari Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) dengan inspirator utama budayawan Sutanto Mendut.
"Kata Pak Riyadi, siapa pun yang menginap, tidak membayar. Ini berbeda dengan pemikiran pariwisata. Ini desa dengan kekayaan kearifan," ujar Tanto.
Riyadi yang Sabtu (22/7) sore itu duduk berdampingan Sih Agung Prasetyo, pemandu pra-acara Festival Lima Gunung dengan judul "Pekan Swafoto Panggung Garuda" di dekat perangkat tata suara itu, mengangguk-angguk sebagai tanda membenarkan ihwal yang disampaikan Sutanto.
Biasanya, Riyadi kalau berbicara panjang lebar selalu bersemangat. Gesturnya mengutamakan gerakan kedua tangan yang variatif untuk penekanan kalimat atas pandangannya tentang apa saja. Keselarasan antara ungkapan, gestur, dan mimiknya ketika berbicara atau menyampaikan pikirannya selalu memancing kawan-kawannya di Komunitas Lima Gunung untuk mengejek dan bersendau gurau.
Akan tetapi, kali ini, Riyadi yang salah satu pemimpin komunitas itu, hanya singkat berujar dengan tegas, "Ya, begitu."
Riyadi adalah mantan Kepala Desa Banyusidi yang sekarang memimpin Padepokan Warga Budaya Gejayan.
Dusun Gejayan di ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan air laut dengan udaranya yang selalu sejuk, berpenduduk sekitar 140 keluarga atau antara 400 dan 500 jiwa, meliputi delapan rukun tetangga. Hampir semua warga hidup dari pertanian subur untuk hortikultura dan menghidupi tradisi berkesenian tradisional maupun kontemporer desa.
Sedikitnya 40 rumah warga disiapkan untuk menginap maupun transit para tamu Festival Lima Gunung XVI/2017. Tentunya, mereka tidak menawarkan penginapan bak "homestay" dalam konsep ekonomi pariwisata. Mereka sajikan apa adanya suasana rumah desa dengan kehidupan rumah tangga warganya setiap hari.
Festival Lima Gunung tahun ini akan diikuti sedikitnya 60 grup kesenian, baik berasal dari berbagai kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung maupun jejaringnya dari beberapa kota.
Berbagai pementasan, antara lain, tarian tradisional dan kontemporer, performa seni, pentas musik, kirab budaya, dan prosesi ritual doa, pameran lukisan dan batik, serta pidato kebudayaan. Pemukulan gong oleh para tokoh Komunitas Lima Gunung bakal menjadi penanda puncak festival mereka.
Panitia bersama warga Dusun Gejayan saat ini memasuki fase akhir persiapan mereka untuk penyelenggaraan Festival Lima Gunung. Pada 2017, dusun itu untuk keempat kalinya menjadi tuan rumah festival tersebut.
Persiapan awal sudah mereka mulai sejak sekitar 6 bulan lalu dan saat ini berbagai instalasi seni telah terpasang di jalan-jalan dusun dan sepenggal ruas jalan beraspal di kawasan hutan pinus menuju dusun setempat.
Begitu pula, panggung pementasan ukuran luas di halaman rumah warga setempat dengan instalasi burung garuda dan naga ukuran raksasa, telah terpasang di arena festival.
Berbagai instalasi dari bahan baku, seperti jerami, bambu, bunga pinus, "janggel" jagung, ranting pohon cabai, dan daun pakis itu, dikerjakan masyarakat secara gotong-royong dengan kreator utamanya seniman Padepokan Warga Budaya Gejayan, Parmadi dan Suparman.
Petujuk arah ke lokasi festival berupa sejumlah instalasi gunungan sudah dipasang dari Banaran, Kecamatan Pakis, di ruas Jalan Raya Magelang-Kopeng, Salatiga menuju Dusun Gejayan.
Di media sosial, selain sudah beredar jadwal pementasan yang dikeluarkan panitia, juga telah dikabarkan tentang peta petujuk arah secara digital ke lokasi festival.
Pengaturan jadwal pementasan dan pengelolaan informasi melalui media sosial tentang festival ditangani secara khusus oleh duet pegiat Komunitas Lima Gunung, Ari Kusuma dan Endah Pertiwi.
"Kalau untuk keperluan makan dan minum, itu sudah pasti. Orang desa akan menjamu tamunya dengan apa saja yang dianggapnya terbaik," ujar Riyadi.
Ada kearifan desa tentang "gupuh, lungguh, dan suguh", yang kira-kira maksudnya setiap orang yang datang bertamu akan diterima pemilik rumah dengan sikap ramah, disilakan duduk, dan mendapatkan suguhan selayaknya.
Kegembiraan warga desa menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung, bukan karena terletak pada kesempatan mereka meraih keuntungan materiil dalam wujud uang, yang biasa menjadi pernyataan latah, sebagai ukuran peningkatan kesejahteraan.
"Karena festivallah, desa kami didatangi banyak orang, kedatangan orang kota itu melipatgandakan kegembiraan desa. Saudara-saudara dan kerabat dari desa sekitar bisa dipastikan datang. Di situlah silaturahmi. Maka, di rumah-rumah warga disiapkan suguhan, ungkapan terima kasih karena kami dihormati, didatangi," ucapnya.
Festival Lima Gunung menempatkan kehormatan bagi desa yang menjadi lokasi pergelaran tahunan dengan rapat-rapat panitianya yang hingga saat ini tidak pernah membicarakan persoalan anggaran.
Mungkin, festival tanpa berbicara biaya, hingga saat ini tidak mudah dipahami khalayak.
Akan tetapi, menurut Sutanto, hal itu terjadi justru karena mereka sesungguhnya sudah "kaya", sehingga persoalan duit festival bukan lagi bahan rembukan.
"Bukan berarti tidak mau uang, tidak senang uang. Untuk festival, kami sudah sumpah, tidak bicara uang," ujarnya.
Siapa saja diajaknya untuk menggali suara batin masing-masing, jika tamu dari luar kota dalam festival itu harus membayar biaya penginapan di rumah-rumah warga.
Para tetangga dan kerabat dari desa sekitar besar kemungkinan segan atau tidak enak hati untuk singgah ke rumah warga Gejayan karena sedang dipakai menginap tamu dari luar kota yang sedang ikut menonton Festival Lima Gunung.
Usaha berkelanjutan untuk menjaga relasi antardesa, kiranya itulah modal sosial yang saling digenggam guna menghidupi keseharian masyarakat, termasuk merambah kepada aspek kehidupan lainnya.
Sutanto menyebut relasi antardesa sebagai kekuatan masyarakat untuk saling "mbatheni" (memberi untung, red.).
"Itu kearifan dan kebijakan yang terus menerus dijaga," katanya.
Oleh karena itu, siapa saja silakan datang ke Festival Lima Gunung dengan riang dan ringan hati!