Hari-hari terakhir menjelang Idulfitri setiap tahun, termasuk tahun ini, kesibukan yang luar biasa terjadi di kota-kota besar, baik yang ada di Pulau Jawa maupun luar Jawa, berbondong- bondong mudik ke kampung halamannya masing-masing.

        Pemerintah pun setiap tahun menjelang akhir bulan puasa menyiapkan sarana dan prasarana guna melancarkan aktivitas ritual rakyat Indonesia tersebut.

        Berbagai sarana, baik jalan, kendaraan, maupun prasarana lainnya disiapkan. Ribuan kilometer jalan diperbaiki, termasuk tol pun dimanfaatkan semaksimal mungkin meski beberapa di antaranya baru difungsikan secara fungsional karena belum selesai secara sempurna.

        Tak ketinggalan pihak swasta pun melalui program Customers Social Responsibility (CSR) ikut berpartisipasi, antara lain, melalui program mudik gratis dengan tujuan membantu masyarakat yang ingin mudik yang kemampuannya secara ekonomi terbatas.

        Secara umum, berdasarkan pengamatan dan hasil evaluasi berbagai pihak, kegiatan mudik tahun ini makin lancar. Peristiwa di Brexit, misalnya, pada tahun lalu menimbulkan musibah, saat ini dengan berbagai perbaikan prasarana jalan serta rekayasa lalu lintas dari pantauan berbagai media, tampak sangat lancar.

        Jutaan manusia yang menurut berbagai data ke luar dari wilayah Jabodetabek serta wilayah-wilayah lainnya seolah sedang berpesta ria, serta dalam suasana riang gembira, mudik ke wilayahnya masing-masing untuk bertemu handai tolan serta sanak keluarga.

        Pertanyaannya, mengapa hingga saat ini meski sarana dan prasarana komunikasi berkembang sangat pesat hingga secara psikologis hampir tiada lagi jarak antarwilayah, tetap saja tidak bisa mengurangi minat masyarakat untuk mudik? Mungkinkah satu saat nanti kemajuan teknologi komunikasi tersebut (mulai telepon, internet, hingga video call), akan mampu mengurangi, bahkan meniadakan tradisi mudik yang khas Indonesia tersebut?

Komunikasi dan Jumpa Fisik

   Meski sarana komunikasi, terutama melalui media sosial (medsos) sangat intens, keinginan mudik tetap tinggi. Berbagai grup, baik WA, BBM, maupun Facebook, membuat kita seolah secara psikologis setiap saat bisa ketemu melalui komunikasi, bahkan bergembira bersama dari berbagai wilayah, misalnya menggunakan smule. Namun, toh, tidak menyurutkan niat mereka untuk bertemu secara fisik.

        Tradisi sungkeman (Jawa Tengah) yang merupakan "komunikasi ketakziman", rupanya belum tergantikan oleh komunikasi melalui media apa pun. Pepatah yang mengatakan bahwa bertemu fisik dengan orang tua serta kerabat sepuh tidak mungkin digantikan dengan sejumlah uang serta sarana fisik lainnya yang telah mereka kirimkan.

        Makna komunikasi dari mulut ke mulut dengan melibatkan berbagai macam ekspresi kesungguhan serta ketulusan serta sentuhan fisik melalui peristiwa sungkeman/ujung (Jawa Tengah), jauh akan dirasakan orang tua serta para pinisepuh sebagai bentuk nyata yang belum tergantikan dengan sarana komunikasi apa pun, termasuk video call bagi yang mampu memiliki serta menggunakannya.

        Dari sisi komunikasi secara luas pun, penampilan yang ditunjukkan ketika mudik, baik berupa mobil, motor, maupun hal lain, seperti pakaian dan perhiasan pun, hakikatnya adalah pesan komunikasi yang secara nyata mereka tunjukkan, baik terhadap orang tua, pinisepuh, maupun handai tolan lainnya. "Work says laugdher than words", itulah salah satu prinsip komunikasi yang berlaku.

        Selain itu, komunikasi nyata melalui penampilan fisik yang mereka tunjukkan, juga terkait dengan kepercayaan diri mereka. Oleh karena itu, hingga saat ini, mudik menggunakan sepeda motor tidak makin berkurang karena bagi mereka yang berkemampuan menengah tersebut, selain sarana mobile, juga merupakan sarana fisik yang menurut mereka mungkin cukup meyakinkan penampilan.

           Oleh karena itu mencegah mereka mudik bersepeda motor hampir tidak mungkin. Selain hanya mengurangi risiko, seperti yang dilakukan pemerintah saat ini dengan mengangkut sepeda motor secara gratis, meski program tersebut belum mampu meniadakan model touring dengan risiko yang cukup tinggi.
   
Jumpa Kerabat

   Temu kangen dengan para sahabat, alumni sekolah, kuliah, bahkan akhir-akhir ini teman-teman sepermainan di kampung atau tempat kelahiran juga jadi tren yang menarik. Pada kegiatan semacam ini, bukan penampilan fisik yang dipentingkan, melainkan sekadar komunikasi nostalgia, mengenang masa silam. Osgood melalui Learning Theory-nya menyebut pengalaman manis merupakan pembelajaran yang efektif sekaligus sarana komunikasi guna memangkas kesenjangan serta perbedaan-perbedaan fisik hingga keyakinan di antara mereka.  Melalui teori pembelajarannya tersebut Osgood juga menyebut sebagai sarana efektif untuk menghilangkan perbedaan pandangan serta pengertian (konotatif) yang akhir-akhir ini sering dimanfaatkan para elite untuk kepentingan mereka, tanpa memperhatikan dampak yang terjadi secara luas.

        Kinerja elite  di DPR RI, baik terkait dengan UU Pemilu yang tak kunjung usai maupun persoalan mereka dengan KPK, bahkan Polri yang mereka tunjukkan pada bulan puasa yang mestinya saling menahan diri, seolah lenyap atau setidaknya terlupakan melalui kegiatan mudik yang menggembirakan.

        Berbagai pertemuan persiapan guna mempersiapkan acara halalbihalal, baik kerabat maupun keluarga, terjadi di mana-mana, ditambah makin menggembirakan tatkala mereka bermusik ria, baik melalui kegiatan solo organ, karaoke, atau kegiatan sejenis lainnya.

        Intinya, kegiatan komunikasi secara fisik yang mereka lakukan melalui mudik merupakan sarana komunikasi fisik sekaligus komunikasi budaya khas Indonesia yang akan sulit tergantikan oleh pesatnya teknologi komunikasi.

        Yang perlu dilakukan, baik oleh Pemerintah maupun pemangku kepentingan adalah menyediakan sarana dan prasarana, termasuk rasa aman yang semaksimal mungkin, karena mudik itu hakikatnya adalah sarana komunikasi budaya, bahkan politik kebinekaan yang saat ini sedang dirajut kembali secara intens oleh Pemerintah  karena adanya persoalan-persoalan sempit sesaat yang bila tidak segera diatasi akan fatal dampaknya. Demikian pula, mudik bisa menjadi solusi sekaligus implementasi budaya sekaligus komunikasi politik sesuai dengan dasar negara serta pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

    
*) Dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Pewarta : Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. *)
Editor :
Copyright © ANTARA 2024