Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, merenungkan serta menggali Pancasila selama 16 tahun. Di dalam tahanan Belanda di Banceuy, prinsip-prinsip yang akan menjadi dasar RI, telah mulai ada dalam pikirannya.

         Hal itu seperti dituturkannya kepada Cindy Adams, kemudian ditulis dalam bukunya "Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" (detik.com, 1 Juni 2017).

         Pada tanggal 1 Juni 1945, di hadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sukarno menyebut nama Pancasila, dari lima unsur yang disebutkannya, sehingga 1 Juni ditetapkan pemerintahan Jokowi-JK sebagai Hari Lahir Pancasila.

         Hari lahir Pancasila yang ditetapkan sebagai hari libur nasional dan diperingati dengan berbagai upacara serta kegiatan lainnya di berbagai wilayah mulai tahun ini, setidaknya mengagetkan sebagian besar rakyat Indonesia akan kebesaran Pancasila sebagai dasar negara RI sekaligus alat pemersatu bangsa yang pada era reformasi ini seolah terabaikan.

         Pesatnya perkembangan teknologi informasi, ditambah makin beragamnya penggunaan serta pemanfaatannya, menyebabkan masyarakat kita tergerus oleh alur kebebasan yang kebablasan. Mereka tampak tidak sadar bagaimana sebagian mereka menggunakan media sosial (medsos) untuk saling mengolok-olok, menyampaikan ujaran kebencian, bahkan saling mengancam dan meneror.

         Adanya sanksi yang berupa ancaman kurungan yang dikeluarkan oleh lembaga terkait, bahkan adanya cyber police pun seolah tetap mereka acuhkan. Tidak kalah mengkhawatirkan media arus utama pun, terutama televisi, dengan kebijakan komodofikasinya, menayangkan berbagai peristiwa saling hujat, saling merundung (bully), bahkan saling ancam serta beradu kekerasan fisik semata hanya demi segepok iklan yang saling mereka perebutkan karena makin tidak sehatnya persaingan di antara mereka.

         Teknologi informasi pun ternyata untuk mempropagandakan paham-paham yang cenderung kurang cocok dengan budaya kita yang adiluhung. Melalui cara menyesatkan, mereka dengan menggunakan berbagai pesan, termasuk pengutipan ayat suci secara sepotong-sepotong, kemudian memanfaatkan kesenjangan sosial serta suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk memecah belah persatuan Indonesia, seperti yang diamanatkan sila ketiga Pancasila.

         Belum lagi, sikap serta perilaku para elite yang tidak jarang baik secara verbal, bahkan perilaku konkret, misalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang terliput serta tertayangkan berbagai media, yang makin sulit dijadikan teladan. Puncaknya, ada sebagian kalangan mulai mengusik serta mempertanyakan, bahkan ingin mengubah Pancasila sebagai dasar negara yang jelas tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

         Pertanyaannya bagaimana sebaiknya sikap seluruh rakyat Indonesia dalam upaya mempertahankan, bahkan makin membumikan Pancasila sebagai dasar serta falsafah hidup bangsa Indonesia yang penetapannnya sejak 1945 oleh para pendiri bangsa kita?

                Keteladanan vs Ketidakjelasan
    Sejak 1908, Ki Hadjar Dewantara telah menyampaikan tiga pandangan mulia: hing ngarso sung tulodho, hing madya mangun karso, tut wuri handayani. Pada pandangan yang pertama, beliau jelas mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya para elite, para sesepuh dari tingkat yang paling luas, hingga yang terkecil (keluarga) mampu memberikan contoh baik dalam bersikap serta berperilaku, terutama di hadapan mereka yang lebih muda.

         Sejalan dengan itu seorang pakar bernama Yale mengatakan bahwa kredibilitas seseorang, antara lain, dipengaruhi oleh karakter. Menurut dia, seberapa pun tingkat kepintaran (expertness) seseorang, kalau sikapnya dinilai tidak konsisten, orang cenderung tidak dipercayai. Hal itu sebenarnya suatu harga mahal yang harus dibayarnya karena pada dasarnya membangun kepercayaan itu tidaklah mudah.

         Ada lagi suri teladan verbal yang disampaikan para sesepuh kita, di antaranya sabdo pandhito ratu tan keno wola wali, ajining diri jalaran soko lathi, sak dowo-dowoning lurung, isih dowo gurung. Hal ini sebenarnya mengingatkan kita bagaimana seharusnya bersikap serta berperilaku. Prinsip kehati-hatian sekaligus perhatian serta sikap saling menjaga perasaan pihak lain sebaiknya kita utamakan.

         Namun, bila kita cermati, pada era demokrasi serta kebebasan berekspresi, ditambah dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dengan mengabaikan dampak negatifnya, serta berlindung pada Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan menyampaikan pendapat, sebagian orang cenderung menyampaikan pendapat dengan seolah-olah mengabaikan pihak lain.

         Banyak pernyataan yang disampaikan melalui medsos utamanya yang cenderung tanpa didasari oleh data, fakta, dan sumber yang jelas, kemudian sering diprotes serta dikecam pihak lain. Kecenderungan balas-membalas penyataan yang tidak jarang saling menyakiti dan saling dendam. Kejadian-kejadian persekusi kemungkinan juga disebabkan oleh hal itu.

         Dari sisi komunikasi, ada kecenderungan orang gampang mempercayai informasi yang tidak jelas, terlebih bila mereka tidak memiliki pembandingnya. Bila informasinya menyesatkan, jelas akan muncul opini yang sesat pula.

                    Keteladanan
    Pada era sekarang ini, tampaknya membumikan Pancasila secara dogmatis serta melalui berbagai kegiatan sejenis cenderung kurang tepat. Meski model pemasyarakatan melalui penghafalan lima sila serta pemasyarakatan butir-butirnya tetap perlu dilakukan. Namun, yang lebih konkret melalui contoh sikap serta perilaku konkret perlu ditunjukkan sebagai contoh. Melalui implementasi sila-sila Pancasila dengan sikap serta perilaku konkret, masyarakat cenderung lebih mudah memahaminya.

         Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam implementasinya di Indonesia selalu didasarkan atas kemanusiaan yang adil dan beradab, perlu dicontohkan oleh sikap serta perilaku para elite agama apa pun, baik dalam berkhotbah, bersikap, maupun berperilaku terhadap pemeluk agama lain. Kebenaran secara hakiki sesuai dengan akidah serta keyakinannya masing-masing perlu saling dipegang teguh .

         Namun, di dalam berhubungan dengan sesama, terlebih dalam suasana berbangsa dan bernegara, prinsip saling menghormati dan saling menghargai harus dilakukan. Bukankah para nabi serta Rasul telah memberikan berbagai contoh konkret dalam melakukan hubungan dengan orang lain, terlebih prinsip kebinekaan telah menjadi kesepakatan sejak NKRI berdiri.

         Sila Persatuan Indonesia sebagai sila ketiga, dalam implementasi sederhana pun bisa dilakukan, antara lain, dengan menghindari gibah terhadap pihak lain, terutama dari sisi SARA karena sekecil serta sesepele apa pun, sikap serta perilaku kita (terutama perilaku komunikasi), bila menyinggung perasaan pihak lain, tentu akan sangat merugikan. Kita tentu tidak ingin apa yang pernah dilakukan para pemuda dari berbagai elemen pada tahun 1928 melalui momen Sumpah Pemuda terporakporandakan hanya melalui sikap serta perilaku sepele yang mungkin tidak kita sadari.

         Yang cukup rawan serta gampang memicu konflik lainnya adalah sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Berbagai fakta korupsi, keserakahan, serta ketidakadilan sebaiknya segera diakhiri. Kuncinya adalah bagaimana masing-masing individu saling melakukan introspeksi memulai kembali bersikap jujur dan adil terhadap diri serta keluarganya masing-masing. Itulah tantangan sekaligus harapan terhadap terbumikannya Pancasila, selain tetap harus melalui sosialisasi secara intens.
  
*) Dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Pewarta : Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. *)
Editor :
Copyright © ANTARA 2024